Beata Carmen Elena Rendiles Martinez (1903-1977): Dari Keterbatasan Menuju Kekudusan

267
Carmen Elene Rendiles Martinez (tengah) menerima kunjungan Mgr José Humberto Quintero Parra.
[televen.com]
1/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – “Kau tak akan mengira aku gadis 15 tahun. Kau tak akan mengira aku terlahir dengan tangan buntung. Tetapi Tuhan memilihku menjadi pelayanannya”, tulis Elena suatu hari.

Hidupnya hancur. Sambil memeluk anaknya, Ana Antonia Martínez menangis tak henti. Ia tak rela anak kelimanya lahir tanpa lengan kiri. Ia membayangkan betapa malu keluarganya memiliki seorang anak cacat. Selama 20 tahun Ana dan Ramiro Antonio Rendiles sudah dikarunia tujuh putra. Maka kehadiran seorang putri menjadi dambaan bagi pasutri ini.

Ketika mengetahui anaknya cacat, Ana berniat menyerahkan putrinya ke panti asuhan. Tetapi Ramiro melerainya karena bagi Ramiro, ada suatu kebahagiaan tersendiri bila melihat senyum anaknya. Ramiro lalu menamai putrinya Carmen Elena Rendiles Martinez. Nama ini diberikan dengan harapan Elena kelak bisa memancarkan kebahagiaan tersendiri dalam keluarga Rendiles. “Saya melihat kepolosan Elena. Di balik senyumnya ada keteduhan yang mendalam. Saya percaya Elena akan menjadi orang kudus,” ujar Ramiro.

Kenyataan cacat Elena membuat Ana kadang berdoa penuh keluhan dan marah pada Tuhan. “Saya orang yang taat berdoa. Saya tak pernah melupakan Tuhan tetapi Tuhan melupakan aku dengan kehadiran puteri kami yang cacat. Ini tidak adil bagiku.”

Ramiro pantas disebut pahlawan keluarga. Selalu saja ada cara mendekatkan Ana dan Elena. Ia setia merawat dan mengajarkan Elena cara makan, menjabat tangan, belajar memberi ciuman, bahkan cara memeluk orang. Butuh waktu setahun bagi Ana mengakui kehadiran darah dagingnya.

Pada suatu saat tanpa diperintah, Elena berjalan menghampiri Ana dan memeluk serta menciumnya. Saat itu mukjizat Tuhan terjadi. Ana berlutuh dihadapan putrinya lalu memeluk dengan kasih. Saat itu pula Ana bernazar untuk tetap setia merawat dan membesarkan Ana dengan tangannya sendiri.

Putri Kesayangan
Dalam keluarga Elena menjadi putri kesayangan. Ramiro bahkan berjanji dalam hati untuk mengabulkan apa saja keinginan Elena. Bukan karena Elena menjadi putri satu-satunya tetapi tabiatnya yang penurut, mandiri, dan mau berjuang sendiri. Ia tidak rendah diri bila teman-teman sebaya memanggilnya Elena buntung. Ia bahkan membiarkan teman-temannya memegang tangannya. Semuanya dijalani dengan senyum.

Sebagai ibu, Ana benar-benar merasakan kepahitan akibat olokan teman-teman sebayanya. Tetapi Elena bahkan menasihati sang ibu untuk jangan peduli terhadap olok-olokan tersebut. Saking cintanya pada Ana, ia lalu membeli prosthesis-lengan palsu kepada Elena. Tujuannya agar Elena bisa bertumbuh menjadi gadis tanpa tekanan dan trauma. Secara fisik Elena harus tampil sempurna seperti para gadis lainnya. Prosthesisi itu melekat seumur hidup di lengan kiri Elena.

Kelahiran Caracas, Venezuela, 11 Agustus 1903 ini tumbuh menjadi gadis yang saleh. Ana selalu mengajarkan disiplin hidup rohani kepada Elena. Setiap hari gadis periang ini selalu berdoa dan mendaraskan rosario. Kadang pula ia terbangun tengah malam untuk berlutut di depan patung Bunda Maria, Elena berdoa. Ia mencoba memastikan bahwa cacatnya bukan penghalang meraih keinginannya.

Suatu hari Elena mengungkapkan keinginannya untuk menjadi biarawati. Permintaan ini ditanggapi dengan berbagai pertimbangan. Ana bahkan menolak keinginan putrinya masuk biara. Ia tak mau putri satu-satunya menghabiskan hidup dalam biara yang dikelilingi tembok kaku dengan jadwal yang serba ketat. Ana mau Elena bisa terus di rumah merawat keduanya ketika tiba masa senja.

Tetapi Tuhan punya rencana lain. Saat usia 15 tahun Elena secara sembunyi-sembunyi mendaftarkan diri menjadi biarawati. Tahun 1918 Elena diterima sebagai suster. Tetapi saat itu, Ramiro sedang sakit keras dan Elena terpaksa harus membagi tugas dengan sang ibu untuk merawat Ramiro. Takdir berkata lain. Tahun 1920 Ramiro dipanggil Tuhan. Peristiwa ini tidak membuat Elena bergeming dalam panggilan. Ia bahkan dengan mantap memutuskan menjadi biarawati.

Dengan bantuan Pater José Rafael Lovera Elena memutuskan ke Caracas, Venezuela, untuk bergabung dengan suster-suster Pelayan Ekaristi (Servants of the Eucharist) pada 25 Februari 1927. Ketertarikannya masuk kongregasi ini karena pelayanan Ekaristi yang sangat dihidupi para suster. “Ekaristi menjadi puncak dan hidup setiap orang. Bila anda bimbang dalam hidup bertemulah dengan Tuhan dalam Ekaristi,” ungkapnya dalam surat kepada Ana.

Pada 8 September 1932 Suster Elena mengucapkan kaul kekal. Setelah itu pemimpinnya Sr Antonieta Bacconier menugaskannya untuk berkarya sebagai superior rumah induk di Venezuela, menggantikan Sr Novice yang telah purna karya. Di Venezuela Sr Elena menjadi pemimpin kala umurnya 33 tahun.

Saksi Kehidupan
Di rumah induk itu Sr Elena menjadi ibu sejati bagi para yunior. Dia memberi contoh dan saksi hidup bagi para suster melewati keterbatasan hidup menuju kekudusan Ilahi. Dalam kesederhanaan dan dibalut kerendahan hatinya Sr Elena benar-benar memperhatikan panggilan para suster.

Kendati begitu ia tidak sombong dan selalu luwes dalam bergaul. Ia selalu mau mendengar para kolegianya dan memberi pesan yang menguatkan panggilan mereka. “Saya tidak paham mengapa anda percaya pada saya sebagai pimpinan. Tetapi yang saya paham, bahasa kita satu yang bisa menyatukan semua yaitu bahasa kasih,” pesan Sr Elena ketika diangkat menjadi Superior Provinsial Venezuela tahun 1951.

Sr Elena sungguh mempraktikkan semangat Ekaristi, membagikan dirinya untuk orang lain. Banyak orang miskin yang tersapa dalam reksa pastoral di luar biara. Devosinya yang hebat kepada Bunda Maria, memancarkan kebahagiaan kepada setiap orang, yang berjumpa dengannya. Wanita cacat ini telah sempurnah dalam mengamalkan Sabda Yesus, “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan, ketika Aku haus kami memberi Aku minum…” (Mat. 25: 35).

Panggilan itu tak ada arahnya, susah ditebak. Ketika Tuhan memanggil untuk sebuah keinginan, manusia hanya pasrah. Demikian juga yang dialami Sr Elena. Ketika banyak kolegianya menaruh cinta yang mendalam padanya, ia memutuskan untuk keluar dari zona nyaman. Ada suatu karya lebih besar yang telah disiapkan Tuhan. Ketika menyaksikan begitu banyak perempuan miskin yang terlantar, ia lalu keluar tembok biara dan menyapa mereka. Banyak wanita yang tak beruntung tersentuh oleh kasih Sr Elena. Dambaan hati untuk bisa berbagi kesusahan terpenuhi dengan kehadiran biarawati berkharisma ini.

Kelompok wanita tak beruntung inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Kongregasi Hamba-hamba Yesus dari Venezuela. Tarekat ini resmi berdiri pada 25 Maret 1965. Kongregasi ini berdiri atas persetujuan Uskup Agung Caracas Mgr José Humberto Quintero Parra (1960-1980). Sr Elena menjadi pimpinan tarekat baru ini hingga tahun 1969. Misi Hamba Yesus adalah menjadi penyambung lidah Tuhan dengan menceritakan kebenaran-Nya lewat karya nyata bagi kaum marginal. “Hamba berarti alat Tuhan. Di hadapan Yesus kita tak berdaya. Kita hanya bisa membuka hati dan Yesus yang berkarya,” demikian spiritualitas Kongregasi Hamba Yesus.

Sr Elena terus melayani lewat nasihat-nasihat rohaninya hingga tutup usia tahun 1977. Ia meninggal karena Penyakit Influenza akut. Tubuhnya dimakamkan di Kapel Belén, di sebuah sekolah di Los Palos Grandes, Caracas, Venezuela.

Proses beatifikasinya dibuka oleh Keuskupan Agung Caracas dibawah pimpinan Kardinal José Alí Lebrún Moratinos (1980-1995). Setelah kematian Kardinal Lebrún proses ini dilanjutkan oleh Mgr Ignacio Velasco SDB (1995-2003). Mgr Velasco menyertakan 40 saksi dalam proses beatifikasi.

Sepuluh tahun kemudian Paus Fransiskus menggelarinya venerabilis pada 18 Juni 2013. Kardinal Jorge Liberato Urosa Savino mengumumkan berita gembira ini kepada umat Katolik Venezuela. Proses beatifikasinya akan berlangsung di Caracas tanggal 16 Juni 2018 mendatang.

Yusti H. Wuarmanuk