Menjadi Gereja yang Ramah

220
Mgr Yustinus Harjosusanto MSF.
[HIDUP/Y. Prayogo]
1/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Gereja yang ramah, menyapa, dan memasyakat menjadi gerak bersama Keuskupan Tanjung Selor sejak 2018.

Tanjung Selor sebenarnya tidak sepenuhnya baru bagi Mgr Paulinus Yan Olla MSF. Ia pernah merasakan beberapa saat bermisi di daerah ini. Apa saja tantangan pastoral yang mungkin akan dihadapi Mgr Yan Olla di keuskupan ini, berikut wawancara dengan mantan Administrator Apostolik Keuskupan Tanjung Selor Mgr Yustinus Harjosusanto MSF.

Berkaitan dengan penunjukkan Mgr Yan Olla sebagai Uskup Tanjung Selor, bagaimana Bapak Uskup melihat peristiwa ini?

Sebagai administrator apostolik sejak awal 2015, saya merasa gembira bahwa pada akhirnya terpilih uskup baru Tanjung Selor. Ada beberapa keuskupan lain yang juga menantikan uskup baru, setelah uskup pindah atau meninggal pada waktu kemudian, malah sudah mendapatkan uskup baru lebih dahulu. Sempat ada pertanyaan dalam hati, mengapa untuk Keuskupan Tanjung Selor membutuhkan waktu lebih panjang? Tentu saja jawaban atas pertanyaan itu jelas, yaitu tergantung pada kehendak Allah dalam Roh-Nya yang akan memilih siapa orangnya dan kapan waktunya.

Atas terpilihnya Mgr Paulinus Yan Olla MSF itu saya merasa lega, bahwa akhirnya umat Keuskupan Tanjung Selor yang telah lama menantikan uskup baru, akhirnya dikabulkan. Saya sendiri merasa, beban tanggung jawab berkurang, dengan tidak lagi mengemban tugas sebagai Administrator Keuskupan Tanjung Selor.

Apa prioritas pastoral bagi Mgr Parelinus yang harus menjadi perhatian utama?

Sebagai administrator apostolik yang juga mantan Uskup Tanjung Selor saya tidak berhak untuk menentukan prioritas pastoral bagi uskup baru. Biarlah uskup baru bersama dengan umat menentukan prioritas pastoral itu.

Namun demikian dalam Musyawarah Pastoral (Muspas) Keuskupan Tanjung Selor pada tahun 2014 ditemukan tujuh masalah pokok yang mesti ditanggapai. Pertama, masih rendahnya tingkat keterlibatan umat dalam hidup menggereja. Kedua, tingkat hidup ekonomi umat yang masih tergolong rendah, termasuk kurangnya pemahaman mengelola ekonomi rumah tangga dengan baik.

Ketiga, masih banyaknya keluarga bermasalah. Keempat, kurangnya pendampingan bagi kaum muda. Kelima, kualitas pendidikan formal masih rendah. Keenam, iman yang belum mengakar dalam budaya, sehingga memerlukan inkulturasi. Dan, ketujuh, buruh migran yang terus bertambah dan banyak permasalahan di dalamnya.

Karena dinilai terlalu banyak untuk ditangani selama enam tahun, maka masalah buruh migran itu terpaksa tidak dimasukkan dalam cakupan rencana fokus pastoral selama enam tahun. Ini terhitung dari tahun 2014.

Seperti apa langkah pastoral yang dapat dikembangkan?

Berangkat dari pengalaman pastoral selama ini, tidak mudah merumuskan langkah konkret itu. Usaha yang telah dilakukan adalah dengan menentukan fokus pastoral tahunan yang menjadi pokok layanan pastoral selama setahun berjalan, dimulai pada bulan Ferbuari hingga Januari tahun berikut. Di tegah perjalanan diadakan evaluasi bersama untuk melihat sejauh mana fokus pastoral. Misalnya, pada tahun 2017 disepakati sebagai Tahun Ekaristi untuk menjawab kekurang-aktifan dan kekurang terlibatan umat dalam liturgi, khususnya Ekaristi.

Untuk itu diusahakan agar dalam Ekaristi atau ibadat sabda, khususnya hari Minggu, ada jadwal yang jelas, persiapan lebih intensif, petugas lebih siap, dan penyelenggaraan liturgi lebih menarik. Dengan begitu umat tertarik mengikuti Ekaristi dan ibadat. Gerakan ini disertai dengan katekese tentang liturgi, khususnya tentang Ekaristi.

Tahun 2018 disepakati sebagai “Tahun Persahabatan” dengan fokus pastoral membangun Gereja yang ramah, menyapa, dan memasyakat dengan tujuan menampilkan wajah Gereja, sebagai umat Allah, mampu terbuka, berani berdialog dan bersaudara dengan siapapun di tengah pelbagai perbedaan. Untuk itu ditetapkan kriteria pencapaian, yaitu terjadinya silaturahmi dengan masyarakat, hadir, dan terlibat dalam acara kemasyarakatan.

Apa harapan untuk Gereja di Tanjung Selor?

Seperti pernah saya tulis dalam sebuah artikel dalam rangka lustrum kedua tahun 2012. Semoga Gereja di Tanjung Selor menjadi Gereja yang hidup, bergerak terus, dan dinamis, serta terus berkembang. Gereja yang mengakar dalam Kristus dan budaya setempat. Sehingga setia mengalaskan hidup pada Kitab Suci, Tradisi, dan Ajaran Gereja, dari satu sisi dan hidup iman mengakar dalam budaya setempat. Selain itu, perlu terus dikembangkan sifat Gereja yang misioner.

Antonius E. Sugiyanto

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here