Beato Junipero Serra Ferrer OFM: Misionaris dan Bapa California

283
Beato Junipero Serra Ferrer OFM.
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Niat dan cinta bermisi tumbuh saat ia membaca kisah-kisah heroik para misionaris. Pucuk dicinta ulam tiba. Ia diutus ke Meksiko hingga mengepakkan sayap misinya ke California. Berbagai tantagan ia taklukkan dengan bekal iman dan kegigihan.

Kebahagiaan menghampiri pasangan suami istri Antonio Serra dan Margarita Ferrer. Buah hati mereka hadir ke tengah dunia pada 24 November 1713 di Petra, Majorca, Spanyol. Usai persalinan, pasangan itu langsung membaptiskan anaknya dan menamainya Miguel José.

Keluarga Antonio tergolong sebagai umat Katolik taat. Mereka memiliki tradisi berdevosi pada St Maria Ratu Rosario. Kebiasaan ini pun mereka tularkan pada buah hatinya. Sejak kecil, Miguel senantiasa diajak dan dilibatkan dalam doa bersama orangtuanya.

Seiring bola waktu bergulir, Miguel pun terbiasa berdevosi pada Bunda Maria. Ketika dewasa, ia rutin melakoni devosi ini di Bonany, pegunungan Mallorca. “Terbekatilah Engkau, ya Allah dan terjadilah kehendak-Mu,” demikian doa yang kerap ia rapalkan. Menurut pengakuannya, doa singkat itu diperoleh dari sang ibu. Ia menyadari, ibu-bapaknya selalu mendoakannya agar benih panggilan hidup religius tumbuh subur dalam dirinya.

Selain pembinaan iman, Miguel dididik orangtuanya agar berperilaku baik. Misal, hidup sederhana, rajin dan hormat pada yang lebih tua.

Fransiskan Teladan
Tunas-tunas panggilan religius merekah cerah seiring dengan keharmonisan relasinya dengan para biarawan Fransiskan di Biara St Bernardus. Kebetulan jarak antara biara dengan rumahnya dekat. Ia sering berkunjung atau bermain di sana. “Anakku, jika kelak engkau menjadi seorang Fransiskan, jadilah biarawan yang baik,” pesan sang ayah yang selalu ia dengar.

Kala berusia 17 tahun, Miguel meninggalkan keluarga dan kampung halamannya. Ia memutuskan untuk hidup sebagai Fransiskan. Tiba di Biara St Maria di Gesù, kehadirannya disambut hangat Pastor Antonio Perellò OFM. Di sana, ia mulai menjalani masa novisiat.

Pada 1730, Miguel mengikrarkan triprasetya kebiaraan untuk pertama kalinya: kemurnian, kemiskinan dan ketaatan. Ia menanggalkan nama keluarga dan menyandang nama baru: Junípero, seorang pendamping Patriakh Assisi. Usai berkaul, Junipero pindah ke Biara Stigmata St Fransiskus di Palma. Ia tinggal di sana selama 18 tahun. Hari-hari hidupnya diisi dengan latihan rohani dan membaca berbagai kisah orang kudus.

Refleksi atas pengalaman bacaan rohani itu membulatkan tekadnya untuk meneladani pola hidup para kudus dan mengikuti jejak para misionaris seordo. Junípero pun membenamkan diri dalam berbagai penelitian dan menghasilkan sejumlah karya brilian. Sebelum ditahbiskan sebagai imam dan menyelesaikan program doktoralnya, ia dipercaya menjadi dosen filsafat dan teologi di Universitas Luliana. Pasca tahbisan, ia kerap diundang merayakan Misa di Mallorca. Khotbahnya amat menarik, segar dan mendalam. Banyak orang begitu kagum padanya. Ia pun dikenal sebagai orator handal. Salah satu khotbahnya yang terkenal dalam Bahasa Mallorca, dan hingga kini tersimpan di Biara St Clara berjudul “Allah sangatlah ramah kala mengampuni”.

Misi Meksiko
Pada 1749, saat berusia 35 tahun, Pastor Junípero menerima kabar dari seorang muridnya, Palou. Fransiskan muda ini ditugaskan menjadi misionaris di Meksiko. Di satu sisi, berita ini kian mengobarkan semangat rasulinya untuk menjejakkan kaki di tanah misi. Namun di sisi lain, hal itu juga berbuah kesedihan. Ia harus berpisah dengan saudara-saudara sekomunitas.

Dalam prosesi perpisahan, Minggu, 13 April 1749, Pastor Junípero mencium kaki setiap saudara sekomunitas. Tindakan ini ia maknai sebagai ungkapan permohonan maaf, sekaligus salam perpisahan. Meski berbalut sedih, ia tetap menjalankan perutusannya. Motto yang tak pernah lepas dari hidupnya ialah “selalu maju, pantang mundur”, bahkan untuk merengkuh ‘salib’ sekalipun.

Dengan kapal Nuestra Senora de Guadalupe, Pastor Junípero melintasi samudra selama 99 hari. Pengalaman bergumul dengan gelombang di atas lautan lepas begitu membekas dalam babak baru hidupnya sebagai misionaris. Akhirnya kapal bersandar di Pelabuhan Veracruz, Meksiko. Dari tempat inilah, ia mengawali kisah misinya di Negeri Sombrero.

Gigih Bermisi
Pastor Junípero bermisi dengan berjalan kaki. Tak jarang ia dibekap lelah setelah menempuh perjalanan ratusan kilometer. Kakinya terluka dan bengkak. Kucuran keringat dan bilur-bilur itu bahkan setia menemaninya hingga tutup usia. Kendati begitu, bara misinya tak pernah padam.

Pada suatu hari, ketika tak mampu lagi menahan sakit karena luka di kaki, ia minta obat pada seorang gembala yang kebetulan ditemuinya di jalan. Si gembala bingung dan menjelaskan, dirinya bukan dokter. Ia hanya tahu merawat binatang. Sang misionaris pun menjawab, “Rawatlah saya, karena saya juga seekor binatang.”

Alih-alih menolak, gembala itu segera menempelkan rempah-rempah di atas luka Junípero. Sakitnya perlahan-lahan mulai hilang, hingga ia bisa merayakan Ekaristi. Sang pastor merefleksikan pengalaman ini dengan penuh syukur. Ia yakin, Allah ialah dokter dengan obat-obatan yang mujarab bagi segala jenis penyakit. Berbekal keyakinan itu, ia melanjutkan perjalanannya.

Akhirnya tibalah ia di Biara San Fernando de Vellicita, California. Di sana, Pastor Junípero mulai membangun beberapa kantong misi di San Diego, San Juan Capistrano, San Luis Obispo, Santa Clara, San Francisco, San Antonio de Padua, San Buenaventura dan Los Angeles. Langkah pertamanya ialah membidik California sebagai prioritas dan pusat misi. Ia sempat tertegun melihat kerumunan orang Indian. Mereka pun terkejut dan bersembunyi di balik pegunungan kala melihat bayangan salib dan mendengar suara genta.

Di California dan sekitarnya, Pastor Junípero mendirikan lima gereja bersama umat. Ia tak sungkan berbaur dengan umatnya. Ia tak malu berpakaian lusuh dengan aneka tambalan, memecah dan memikul batu. Kerja keras dan teladan hidupnya membuatnya dijuluki sebagai Bapa California.

Selama bermisi di California, Pastor Junípero menemui berbagai tantangan. Dua kali ia nyaris tenggelam. Anggur Misanya sempat diracuni. Pernah hampir mati saat terjadi pertempuran di Bukit San Diego, St Barbara Channel, Carmel, St Anna dan San Carlos.

Meski diterpa aneka aral melintang, Pastor Junípero tetap bertahan di tanah misi. Kegigihannya bersumber pada iman akan Kristus dan perlindungan Bunda Maria. Devosinya pada Maria yang Dikandung Tanpa Noda tak pernah putus.

Suatu ketika, saat ia bermisi di San Gabriel, orang-orang Indian mulai menyulut permusuhan dengan para misionaris. Kehadiran pelayan misi sering disambut dengan pekikan perang. Namun, saat Pastor Junípero tiba dan memperlihatkan ikon Bunda Maria, hati mereka luluh menatap air muka yang cantik nan teduh.

Akhir Petualangan
Pada 1784, kesehatannya turun drastis. Sesak napas pun menyiksanya. Nyeri dari luka-luka di kaki, seolah menggerogoti tubuhnya yang dimakan usia. Pada Pesta St Augustinus, 28 Agustus 1784, sang misionaris wafat. Pastor Junípero menghembuskan nafas terakhir sembari memeluk salib, usai mendaraskan brevir dan mengaku dosa. Orang-orang Indian yang mengenalnya meletakkan rangkaian bunga di depan jenazah imam yang murah hati dan pekerja keras itu.

Pada September 1987, Bapa Suci Yohanes Paulus II bertandang dan berdoa di makamnya di Carmel, California. Akhirnya, Takhta Suci mengakui secara resmi keutamaan hidupnya. Ia digelari Beato pada 25 September 1988. Gereja mengenang misionaris California ini tiap 1 Juli.

Steven Lalu Pr

HIDUP NO.31, 3 Agustus 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here