Komunitas Pendampingan Anak (Pena) : Bengkel Cinta Anak Jalanan

529
Beberapa anak sedang belajar bersama Komunitas Pena.
[NN/Dok.Pribadi]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Terlibat bersama anak jalanan merupakan panggilan jiwa untuk memulihkan martabat manusia yang perlahan-lahan dilecehkan di pinggiran kota.

Tembang dangdut mengisi sudut-sudut lorong ruangan di Rumah Singgah St. Antonius Padua di Jl. Tanah Tinggi II No. 7B, Johar Baru, Jakarta Pusat. Winna Michelle tidak pernah asing dengan lorong itu. Ia bersama teman-teman kampusnya, hampir sekali seminggu bermain di rumah singgah. Di sana, ia bertemu anak-anak yang mereka asuh.

Ruang depan, tidak pernah lepas dari ingatannya. Ruangan dengan beberapa sofa itu mengukir kenangan yang selalu mendorongnya untuk bercerita. Winna ingat betul, dalam sebuah bimbingan, tiba-tiba seorang anak yang ia bimbing, menjotosnya tepat di pipi kiri. Beruntung ia tak terkapar sementara anak yang menjotosnya itu tertawa terbahak-bahak. “Saat itu saya berusaha agar mengendalikan amarah. Teman-teman saya meminta agar dia meminta maaf kepada saya. Akan tetapi dia enggan melakukannya,” kenang Winna.

Adalah Komunitas Pendampingan Anak (Pena) yang menjadi alasan Winna sering ke rumah singgah. Lewat komunitas ini, ia membagikan talentanya. Di dalam Pena, Winna membagikan cinta bagi anak-anak yang tinggal di rumah singgah.

Fragmen Anak Pinggiran
Indonesia masih menyisihkan fragmen anak pinggiran yang sulit terurai. Menjawab rintihan anak jalanan menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama. Data menunjukkan jumlah anak jalanan hingga Agustus 2017 adalah 16.290 anak. Jumlah tersebut mengalami penurunan dibanding kan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Pada tahun 2006 di seluruh Indonesia terdapat 232.894 anak jalanan. Sedangkan pada tahun 2010, sekitar 159.230 orang. Tahun 2011 mengalami penurunan menjadi 67.607 dan 2015 menjadi 33.400 anak jalanan. Data tersebut dihimpun dari 21 Provinsi di Indonesia.

Di DKI Jakarta mengalami penurunan hingga 45 persen dibandingkan dengan tahun 2016. Pada tahun 2016 ada 14.808 anak jalanan diamankan di jembatan penyeberangan orang (JPO), mal-mal, hingga tempat ibadah. Sedangkan tahun 2017 ada 8.143 anak jalanan.

Ada 276 titik rawan di lima wilayah kota DKI Jakarta yakni Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur. Dari lima wilayah itu, titik paling banyak ditemukan anak gelandangan terdapat di Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Sementara Jakarta Pusat dinyatakan sudah steril dari anak jalanan. Ratna Kusuma Wardani, Penanggung Jawab komunitas Pena mengungkapkan bahwa angka anak jalanan merupakan sesuatu yang miris. Kehidupan mereka sangat kontras dengan keadaan Ibu Kota yang bergelimang pencakar langit.

Ratna, begitu ia disapa menambahkan Komunitas Pena ingin menyeberangi ironi ini. Pena bekerjasama dengan beberapa rumah singgah untuk menangani anak-anak yang kurang beruntung ini. Mereka melakukan berbagai aktivitas termasuk belajar bersama anak-anak ini.

Pendampingan
Pena pada awalnya merupakan perkumpulan biasa sebelum akhirnya resmi menjadi Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas Psikologi Atmajaya (UKM FPUAJ). Bermula dari kunjungan 30 Mahasiswa FPUAJ oleh Yohana Ratrin Hestyanti ke rumah singgah Adhi Sadhana pada tahun 1999. Mereka membantu anak-anak mulai dari belajar membaca, menulis hingga berhitung.

Pada tahun 2002 Pena dicetuskan sebagai sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa. Program-program mulai digodok secara serius. Pada 2002-2003 Pena mendampingi salah satu rumah singgah yang berada di Teluk Gong. Kemudian tahun 2004, kurang lebih minggu terakhir di bulan April, Pena mulai mendampingi salah satu rumah singgah yang bernama Sekam (Setia Kawan Mandiri).

Menurut Ketua Pena, Arantxa Anindya, Pena lebih menyasar anak-anak di kota Jakarta, dimana mereka tidak mendapat perhatian cukup bahkan dari orang tua mereka sendiri. “Pena menilai bahwa anak-anak ini harus mendapat hak sebagai mana anak-anak yang lain yang telah terpenuhi haknya. Mereka harus memiliki hak belajar dan bermain.”

Meskipun demikian imbuhnya, dalam perkembangan, ada upaya pendekatan terhadap orang tua anak. Ada banyak orang tua yang menolak bimbingan yang dilakukan oleh Pena. Menghadapi persoalan tersebut, Pena mulai mengirimkan surat kepada orang tua sebagai bentuk sosialisasi. “Itu sangat sulit, seringkali surat yang kita kirim tidak digubris. Mereka malah menuntut apa yang mereka dapat dari kegiatan ini seperti sembako dan bantuan-bantuan yang lainnya. Padahal kami ingin belajar bersama putra-putri mereka agar menjadi lebih baik,” jelasnya.

Four Magic Words
Pena telah berkomitmen mendampingi anak di tiga tempat yakni, Prolife, Rumah Singgah Komunitas Gumul, dan Rumah Singgah St Antonius Padua. Kegiatan yang dijalankan seperti membantu anak-anak mengerjakan tugas sekolah, kegiatan interaktif seperti menggambar, mewarnai, dan bermain. Selain itu, pendampingan juga dilakukan untuk membantu anak-anak belajar pada beberapa mata pelajaran seperti Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, IPA, IPS, dan PKN.

Menurut Ratna, Pena juga menyasar pembentukan karakter anak-anak yang mereka bimbing. Mereka memiliki karakter yang tempramen, berbicara kasar, susah diatur dan sukar memaafkan. Hal ini ditunjang oleh latar belakang pendidikan, pola asuh dan kurangnya kebiasaan yang baik di lingkungannya.

Lebih lanjut, Ratna mengatakan, Pena juga melakukan pendekatan kepada anak dengan memberi asupan four magic words; yakni terima kasih, maaf, minta tolong dan permisi. Persis empat kata ini sangat sulit dilakukan oleh anak-anak ini. “Kami juga mengajarkan tentang konsekuensi, misalkan bila melakukan sesuatu akan menyebabkab apa dan bagaimanan menyikapinya. Selain itu diberikan pelajaran budi pekerti agar mereka memahami sopan santun,” bebernya.

Panggilan Jiwa
Ratna menjabarkan Pena sejak berdirinya berkomitmen untuk secara profesional terlibat dalam upaya pemberdayaan dan meningkatkan kesejahteraan anak-anak dalam situasi khusus. Pena layaknya sebuah bengkel cinta bagi anak-anak jalanan yang kurang diperhatikan. “Terlibat bersama anak jalanan merupakan panggilan jiwa untuk memulihkan martabat manusia yang perlahan-lahan di lecehkan di pinggiran kota.”

Ratna menambahkan, pendampingan terhadap anak situasi khusus ini juga tanggung jawab iman sebagai mahasiswa yang digembleng di Universitas Katolik. “Bukan melulu profesionalitas kami sebagai mahasiswa psikologi di sini tapi juga sebagai seorang kristiani yang peduli terhadap kehidupan,” pungkasnya.

Willy Matrona

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here