Surat Sakti dari Takhta Suci

2476
Michael Utama Purnama.
[HIDUP/Yanuari Marwanto]
3/5 - (4 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Ada banyak persoalan para imam “menanggalkan jubah”. Mayoritas karena tersandung persoalan selibat. Ayo bangkit.

Michael Utama Purnama tiba pukul 13.00, sesuai kesepakatan. Di sebuah kedai kopi, lokasi pertemuan, dia memesan segelas teh. “Kamu pesan minuman dulu yah baru kita ngobrol. Kalau mau makan, silakan,” ungkap Michael dengan logat Jawa Timur nan kental, saat ditemui di Pondok Indah Mall 2, Jakarta Selatan, Senin, 23/7.

Selang beberapa menit, pria kelahiran Surabaya, Jawa Timur itu mengambil dan membuka tas di sisi kanannya. Dari dalam kemasan berkelir hitam itu, dia mengeluarkan tiga lembar kertas: surat tahbisan; surat Uskup Surabaya waktu itu, Mgr Jan Antonius Klooster CM yang menerangkan bahwa dirinya adalah imam Kongregasi Misi (Congregatio Missionis/CM) dari Keuskupan Surabaya (Latin: celebret); dan surat dispensasi selibat dari Bapa Suci Yohanes Paulus II melalui Kongregasi Ajaran Iman.

Di dalam tas tangan itu juga terdapat selembar stola dengan dua warna: ungu dan putih. “Ini (stola) selalu saya bawa ke mana-mana. Kalau-kalau ada umat dalam bahaya kematian, saya masih memiliki kewenangan untuk menerima pengakuan, mengampuni secara sah dan halal,” ujar mantan imam, yang telah memiliki tiga anak, seraya tersenyum.

Menegur Pimpinan
Latar belakang keluarga Michael adalah Buddha. Meski demikian, dia mengenal Katolik sejak bocah. Rumahnya dekat dengan Gereja Katedral Hati Kudus Yesus Surabaya. Para romo dari berbagai paroki di Keuskupan Surabaya juga kerap datang ke kediamannya. Sebab, sang ayah membuka studio foto di rumah.

Michael juga mengenyam pendidikan di lembaga Katolik. Micahel menerima Sakramen Baptis pada usia sepuluh tahun, mengikuti dua kakak perempuannya. Jarak rumah dengan gereja yang hanya berjarak beberapa ratus meter, mendorong dia aktif dalam berbagai kegiatan dan pelayanan di sana.

Ketertarikannya menjadi biarawan terinspirasi dari kepala sekolah SMP dan SMA, Bruder Aquino Max Helling CSA. Biarawan asal Filipina itu menurut Michael amat ramah, tegas, wibawa, dan penuh kasih. Namun, motivasinya menjadi imam tumbuh berkat teladan hidup sang kakek, Suhu Tan Tik Sioe San. Kakeknya adalah pertapa Buddha. “Kakek saya bisa menyembuhkan orang sakit, banyak mendoakan orang. Sudah seperti Yesus saja. Saya ingin seperti dia,” pujinya, mengenang.

Usai menuntaskan pendidikan di seminari tinggi dan menengah, Michael menerima tahbisan imamat pada 8 Juli 1972 di Katedral Surabaya. Umat memanggilnya Pastor Utama. Sebagai imam muda, dia menjalani berbagai karya, antara lain pengurus Yayasan St Yohanes Gabriel Kediri dan Kepala Sekolah SMA St Louis Surabaya.

Mgr Klooster juga mendapuknya sebagai Koordinator Wilayah Pastoral (kini, Vikep) Surabaya Selatan. Selain itu, uskup juga mempercayai Pastor Utama sebagai moderator berbagai komunitas di Regio Surabaya, seperti Legio Mariae, Ikatan Sarjana Katolik (ISKA), Khalwat Sebulan dan Retas. Pastor Utama juga salah satu inisiator komunitas kharismatik di Keuskupan Surabaya.

Persoalan mulai muncul kala Mgr Klooster meminta Pastor Utama untuk menegur dua imam seniornya yang ketahuan melanggar janji selibat. Pastor Utama semula keberatan dengan permintaan uskup. Dia merasa tak pantas menegur seniornya. “Kamu adalah koordinator, oleh karenanya berwenang (untuk menegur),” ujarnya, mengutip alasan Mgr Klooster.

Tak lama setelah menegur dua seniornya, Pastor Utama menerima surat dari uskup. Dia dipindahtugaskan ke Pacitan, Jawa Timur. Sementara Pastor Utama tahu wilayah tersebut belum membutuhkan tenaga imam tambahan. Dia menghadap uskup dan menanyakan ikhwal kepindahannya. Mgr Klooster mengakui, perpindahannya atas rekomendasi imam senior yang dia tegur. Kedua imam itu punya posisi penting dalam tarekat.

Pastor Utama marah sekaligus kecewa perihal tersebut. “Daripada terbuang, lebih baik saya ke Amerika saja, tempat saya belajar dulu,” ujar jebolan Magister Psikologi Universitas Chicago Illinois, Amerika Serikat ini.

Pastor Utama mengajukan permohonan untuk pindah ke Amerika kepada pimpinan tarekat. Namun referensi untuknya tak kunjung datang. “Saya dibuang ke Pacitan dan tidak diberi referensi ke mana-mana. Jadi saya harus apa? Saya putuskan untuk keluar,” bebernya. “Saya katakan kepada imam tersebut, ‘sebenarnya kamu yang harus keluar’,” ungkap Pastor Utama kepada imam senior yang pernah ditegurnya.

Keputusan itu terasa begitu berat bagi Pastor Utama. Sebab, dia merasa, aneka tanggung jawab yang diberikan kepadanya dilakukannya secara baik. Selain itu, dia juga masih merekam amat jelas, sebelum orangtuanya meninggal, dialah yang membaptis mereka.

Dalam keadaan emosional, Pastor Utama mengundurkan diri. Dia juga tak menampik dirinya sempat marah kepada Tuhan. “Mau Gusti Allah apa sih? Saya sudah memberikan diri, tidak merasakan kenikmatan-kenikmatan duniawi, tapi malah dibuang oleh komunitas saya sendiri,” keluhnya.

Dia datang dan meminta doa kepada pembimbing rohaninya, Pastor Yohanes Indra Kusuma CSE. Pastor Utama menumpahkan air mata di sana. Surat pengunduran diri baru dia terima setelah tiga tahun. Proses laikalisasi yang semula dipikirnya rumit dan menelan banyak waktu ternyata rampung kurang dari setahun. Dia merasa lega begitu permohonannya dikabulkan oleh Takhta Suci.

Begitu menerima surat dispensasi, dia memberkati pernikahannya di gereja pada 15 April 1987. Kendati telah menanggalkan jubah, perhatian dan dedikasinya untuk Gereja tak padam. Dia terjun di Yayasan Tri Asih yang mendidik para penyandang tunagrahita.

Michael juga terjun di Lembaga Daya Dharma Keuskupan Agung Jakarta, Raptim, Bhumiksara, serta di Konferensi Waligereja Indonesia, antara lain Komisi Kerasulan Awam, Komisi Keadilan dan Perdamaian, Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan. “Saya bersyukur kepada Tuhan karena masih memakai saya, justru dalam lingkup yang kian luas; lintas keuskupan dan keyakinan,” kata salah satu pendiri Perhimpunan Indonesia Tionghoa dan Indonesian Conference on Religion and Peace ini.

Investasi Besar
Bila Michael mundur karena konflik dengan atasan, seorang imam Keuskupan Agung Makassar hengkang lantaran konflik dengan diri sendiri. Lulus dari Universitas Sanata Dharma, Paulus Tasik Galle ditahbiskan pada 1995. Dia ditugaskan sebagai pamong Seminari Menengah St Petrus Klaver Makassar, almamaternya.

Tiga tahun kemudian, Paul terbang ke Munchen, Jerman, untuk mempelajari Hukum Gereja. Sembari menimba ilmu di Ludwig-Maximillians-Universitat, dia ikut praktik tribunal dan melayani sejumlah paroki sana. Kembali ke Tanah Air pada 2004, Uskup Agung Makassar mendapuknya sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Kitab Suci, Liturgi dan Katekese, serta hakim tribunal.

Baru sekitar setahun berkarya, imam asal Sangala, Toraja Sulawesi Selatan ini tiba-tiba mengajukan pengunduran diri. Rupanya ada banyak pergumulan yang bergejolak dalam batinnya yang tak cukup diselami selama di Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta. Dia mulai ragu dengan kehidupan imamat. “Hidup kok tidak mendatangkan suatu rasa kemerdekaan? Semakin hari saya sema kin mencari kebebasan esensial itu,” ujarnya

“Yang pasti saya lelah. Saya sangat lelah setelah berada di luar selama bertahun-tahun dan belajar,” ungkap Paul. “Pulang studi dari Jerman, tanpa jeda istirahat, saya langsung bekerja dengan berbagai tantang an.”

Dia meninggalkan Kota Makassar dan tinggal bersama saudaranya di Jakarta. “Saya pergi untuk istirahat.”

Merasa masih ada beban yang mengganjal, dia memutuskan untuk menepi, tinggal di pertapaan Rawaseneng, Jawa Tengah. Selama tiga bulan para rahib mendampinginya. Dia mencoba untuk merenungkan kembali keputusannya. Di satu sisi dia mengaku menemukan kekuatan untuk bangkit dan kembali pada jalan hidup yang telah dipilih. Namun, di sisi lain masih ada keraguan yang membayangi. “Hidup dalam keraguan itu tidak bisa saya bayangkan. Harus jelas dan pasti, karena kalau hidup dalam dua sisi akan merenggut kebahagiaan seseorang,” katanya.

Lahir dan besar dalam lingkungan Katolik, Paul tahu pasti bakal muncul berbagai pertanyaan dari orang dekat terkait keputusannya itu. Dia mencontohkan, tiap kali orang bertanya perihal dirinya kepada sang ibu, orangtuannya itu selalu menjawab, “Tanyakan saja langsung kepada Paul. Saya tidak mampu memahami apa yang dia pikirkan.”

Paul bisa menebak perasaan mereka, namun tak pernah seorangpun yang mengungkapkan secara langsung kepadanya. Setelah hampir dua tahun meninggalkan imamat, Paul berpikir dirinya takkan kembali. Dia harus bekerja demi mempertahankan hidupnya.

Keinginan untuk berkeluarga pun tumbuh sebagai salah satu ruang komunitas hidupnya. Beberapa waktu kemudian, Paul memutuskan untuk meminang seorang gadis dari kampungnya. Mereka melangsungkan pernikahan adat dan sipil pada April 2007.

Tak ada umat yang mempersoalkan status barunya secara langsung. Paul kerap membesarkan hati sang istri bahwa segala persoalan dalam kehidupan mereka akan dia tanggung secara pribadi. “Saya katakan kepadanya, ‘Kamu tak boleh terbebani oleh perkara atau keputusan pribadi saya pada masa lalu. Saya sendiri yang bertanggung jawab penuh kepada Allah, kepada Gereja, dan takkan pernah saya bagikan kepada orang lain.”

Sejak tahun 2008, Paul bekerja di Pusat Kerukunan Antarumat Beragama Kementerian Agama. Dalam unit yang merancang dan melakukan dialog antarumat beragama ini, dia menjadi koordinator dan komunikator para tokoh agama. “Saya bahagia dan puas bahwa saya bisa berada dalam isu yang saya sukai, dan terutama ini menjadi bentuk pelayanan dan pengabdian kembali saya,” ungkapnya.

Sebagai satu-satunya orang Katolik dalam unit tersebut, dia terus berupaya memberi yang terbaik dan menyediakan tempat yang layak bagi Gereja. Tahun 2013, Paul baru mengurus permohonan laikalisasinya. Dua tahun berselang, surat dispensasi dari Takhta Suci sampai ke Keuskupan Agung Makassar. Dia dan sang istri meresmikan pernikahannya secara Katolik.

Menurut Paul, Gereja di Indonesia adalah kawanan kecil yang harus saling mendukung dan berjalan bersama. “Bila ada yang jatuh, kita rangkul dan tuntun. Bila yang di depan sudah kelelahan, disengat sinar matahari, mari gantikan,” tutur Dosen Multikultural di di Unika Atma Jaya, Jakarta.

Ayah dengan dua anak ini mengakui, tak sedikit rekan-rekannya yang “tenggelam” setelah menanggalkan jubah. Dia berharap, mereka mau dan dibantu untuk menemukan jalan lain ke tujuan yang sama. “Sayang bila tenggelam begitu saja. Gereja telah berinvestasi besar kepada para imam dalam bentuk materi dan doa,” katanya.

Perkara Sulit
Sekretaris Provinsial Misionaris Hati Kudus Yesus (Missionarii Sacratissimi Cordis Jesu, MSC) Indonesia, Pastor Johanis Mangkey MSC, mengatakan, kebanyakan para imam yang mengundurkan diri karena tersandung masalah selibat. Sejak 2009, setelah setahun terpilih menjadi Provinsial MSC Indonesia, Pastor Yance, sapaannya, membantu para mantan imam mendapatkan dispensasi dari Vatikan.

Dia mengenang, ketika belum lama menjadi provinsial, seorang mantan imam MSC menemuinya. Dia meminta bantuan kepada Pastor Yance agar permohonannya dikabulkan oleh Takhta Suci. Dia mengaku ingin hidup tenang, lepas dari ikatan-ikatan imamat, dan membereskan perkawinannya secara gerejani.

Terdorong rasa belas kasihan, Pastor Yance bertekad untuk menolong rekannya. Dia bukan kanonis atau ahli Hukum Gereja. Studinya dulu tentang spiritualitas. Demi mengetahui prosedur pengurusan dispensasi, jebolan Catholic Theological Union Chicago, Amerika Serikat itu belajar secara autodidak. “Saya hanya punya hati untuk membantu mereka agar (mereka) memperoleh ketenangan dan kedamaian hidup,” ujar kelahiran Tataaran II, Tondano, Sulawesi Utara.

Menurut mantan Asisten III Pemimpin Umum sekaligus Sekretaris Jenderal MSC ini, mengurus dispensasi bukan perkara mudah. Semua surat atau dokumen wajib harus lengkap, jelas, dan tidak multitafsir. “Kalau ada satu saja dokumen wajib, misal votum uskup di mana yang bersangkutan sekarang berdomisili tak ada, maka proses di Vatikan akan terhenti sampai surat atau dokumen tersebut ada,” bebernya.

Dia mempelajari dan mempersiapkan segala dokumen serta proses secara cermat. Begitu lengkap, Pastor Yance akan mengirim berkas tersebut. Tak dinyana, proses pertama yang ditanganinya berjalan mulus. Vatikan mengabulkan permohonan hanya dalam kurun waktu sepuluh bulan.

Para mantan imam, menurut mantan Rektor Universitas Katolik De La Salle Manado itu, mengalami penderitaan batin luar biasa. Selama belum dibebaskan dari ikatan-ikatan imamat, perkawinan mereka tak bisa diberkati. Mereka juga tak bisa menerima Komuni. Dengan dispensasi, beban menahun yang mereka tanggung akan terangkat dan memberikan sukacita luar biasa.

Pengalaman kedua yang ditangani Pastor Yance juga terantuk kasus selibat. Sepuluh tahun mantan imam tersebut mengajukan permohonan laikalisasi, namun tak kunjung menerima balasan dari Vatikan. Usia sang imam itu sudah 60 tahun. Dulu, saat Pastor Yance di Seminari Menengah Kakaskasen, imam itu adalah frater pembimbingnya.

Lepas jubah, mantan imam itu menjadi petani. Di tangan Pastor Yance, surat dispensasinya turun hanya dalam waktu 10 bulan. Sepekan setelah yang bersangkutan menandatangani surat dari Takhta Suci, dia langsung memberkati penikahannya di gereja. Dia juga menyambut Komuni setelah lebih dari 20 tahun “puasa”.

Kurang dari sepekan, dia terkena serangan jantung di kebun. Tubuhnya doyong lalu jatuh di atas tanah. Nyawanya tak tertolong. “Sepertinya dia hanya menunggu semua urusannya di dunia ini beres dan berangkat selama-lamanya,” ujar Pastor Yance.

Komitmen, Teliti
Pastor Yance bersyukur semua berkas dan dokumen-dokumen permohonan dispensasi yang dilayangkannya selalu lengkap. Bahkan dokumen yang dia siapkan selalu melebihi minimal persyaratan untuk semakin memperkuat permohonan.

Sembilan tahun mengurus soal tersebut, dia tak pernah menemui persoalan pada kata, kalimat, dan dokumen. Dia mengerjakan segalanya secara teliti, bahagia, dan tuntas. Hingga Juli lalu, Pastor Yance sudah membantu sekitar 16 mantan imam mendapatkan “surat sakti”. Dia membantu tak hanya imam MSC, tapi juga para mantan imam dari sejumlah keuskupan, seperti Manado, Amboina, dan Ketapang.

Lantaran sering berhadapan dengan persoalan para imam, imam yang ditahbiskan pada 37 tahun silam berharap rumah pembinaan para calon imam lebih selektif dalam memilih dan menahbiskan imam. Jangan semata-mata berburu kuantitas tapi abai terhadap kualitas. “Berbagai aspek harus dipertimbangkan, bukan hanya intelekktualitas. Para imam membutuhkan pendampingan hidup rohani yang kuat. Mereka juga jangan dibiarkan berjalan sendirian,” harapnya.

Hermina Wulohering, Yanuari Marwanto

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here