Ibu Gereja

1277
1.5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Romo, saya sering mendengar istilah Ibu Gereja. Sejak kapan dan mengapa disebut Ibu Gereja?

Ambrosius, Pati

Tradisi Gereja sejak awal menggambarkan Gereja sebagai tubuh Kristus. Dalam kenyataan ini, relasi antara Kristus dengan Gereja tergambar sebagai relasi kemempelaian, dengan Kristus, kepala, sebagai suami dan Gereja sebagai mempelainya, istri. Surat Paulus kepada umat di Efesus menampakkan gambaran ini (lih Ef 5:22-33), demikian pula bisa kita temukan dalam beberapa teks dari Kitab Wahyu (lih Why 19:7; 21:2.9; 22:17) atau juga dari Gal 4:26. Gambaran ini dekat dengan ungkapan Yerusalem surgawi dan mempelai, di mana kesatuan kasih menjadi ciri dasar identitas diri Gereja, sehingga memberikan pelukan kasih kepada para putra-putrinya, agar semakin bersatu dengan Kristus, sebagaimana dituliskan dalam Lumen Gentium (LG 6. 14), dokumen Konsili Vatikan II tentang Gereja.

Gambaran Gereja sebagai ibu tidak dilepaskan pula dengan figur Maria sebagai ibu. Maria adalah teladan dan acuan hidup Gereja, terlebih dalam kesatuan serta keterarahannya kepada Kristus. Dikatakan dalam Konsili Vatikan II bahwa dengan mendasarkan pada peran keibuan Maria, Gereja adalah pula ibu. Gereja lahir pula dari perawan Maria. Acuan kepada Maria ditempatkan konsili dalam tindakan kasihnya untuk mendengarkan serta melaksanakan kehendak Allah. Dalam tindakan kasih seperti itu, Gereja melahirkan hidup baru bagi putra-putrinya, yang berkat pembaptisan dan pewartaan mereka lahir dari Allah dan dikandung dari Roh Kudus. Diharapkan dengan demikian melalui Gereja lahir dan berkembang pula dalam hati umat iman akan Tuhan yang semakin mendalam (LG 63-65).

Akan tetapi betapapun hal ini dinyatakan oleh Vatikan II (1962-1965), namun pengakuan Maria sebagai tatapan Gereja dan langkah Gereja mengikuti jejak keibuan Maria sudah lama tumbuh dalam tradisi Gereja. Berbicara tentang Maria adalah pula berbicara tentang Gereja. Gereja berkat Sakramen Baptis melahirkan pribadi baru di dalam Kristus, memeliharanya dalam perjamuan Ekaristi, meneguhkan, mengampuni dan menyembuhkan mereka, putra-putrinya, dalam sakramen-sakramen. Maria dan Gereja ambil bagian dari peran ibu.

Sebagai ibu Gereja diakui sebagai pengajar, yang mendidik kita terutama dalam hal iman. Gereja adalah ibu dan pengajar kaum beriman, demikian dikatakan. Pertama kali penggambaran ini muncul dalam dokumen Gereja di tahun 374, yang menggembangkannya dari pengakuan iman dari Konsili Nicea (325). Dituliskan oleh Epiphanius bahwa Gereja yang katolik dan apostolik ini adalah ibu kita. Maka Paus Gregorius Agung menyerukan agar mereka yang tersesat kembali kepada Gereja, yang adalah ibu kaum beriman (601). Karena Gereja adalah ibu, karenanya kita diajak untuk mendengarkan dan bahkan mengikuti apa yang ditetapkan serta diajarkannya, sebab sebagai ibu, dia memelihara, menuntun serta menjamin kita.

Dengan demikian ada tiga landasan pokok pengakuan, yang tak terpisahkan satu sama lain. Yang pertama adalah dalam kaitannya dengan Kristus, sebagai kepala, maka Gereja adalah mempelai, yang ambil bagian dalam peran keibuan. Dalam peran keibuan tersebut, Gereja ambil bagian dalam jejak hidup Maria, sebab Maria adalah acuan dan pola hidup Gereja, itulah dasar kedua. Yang ketiga, sebagai ibu Gereja melahirkan kita, kaum beriman, serta menjaga dan memeliharanya, terlebih dengan pelayanan sakramental yang diberikannya. Namun, Gereja sebagai ibu juga mendorong kita untuk menghadirkan wajah keibuan yang menunjukkan ciri belaskasih serta pelayanan murah hati, bukan Gereja yang menghukum dan menodai anak-anaknya. Tidak mengherankanlah kalau Gereja sebagai pelayan kasih menjadi bagian dari kenyataan diri hidup Gereja.

Paus Fransiskus beberapa kali menyinggung tentang wajah Gereja sebagai ibu, dan mengundang kita untuk menghadirkan wajah ibu dalam hidup menggereja. Wajah Gereja yang berbelaskasih, yang menghadirkan Allah yang murah hati, itulah yang dimaksudkannya. Menurutnya, di tengah kenyataan hidup dewasa ini, hal itu merupakan panggilan nyata Gereja dalam memberikan kesaksian akan kepedulian kasih kepada sesama di tengah dunia.

Akan tetapi, Gereja toh tidak sempurna, punya kerapuhan dan kelemahan. Akan hal ini kita bisa belajar dari seorang teolog besar abad 20, Karl Rahner. Dia mengatakan bahwa Gereja adalah ibu kita, yang walaupun semakin keriput dan renta, kita tidak akan menampar ibu kita. Kita diajak untuk mencintai dan membantu Gereja, ibu kita, agar semakin kuat dan sehat, sehingga semakin mampu melaksanakan tugas perutusannya sebagai tubuh Kristus.

T. Krispurwana Cahyadi SJ

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here