Beda Adorasi dan Tuguran

2079
3/5 - (4 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Apakah Tuguran sesudah Misa Kamis Putih itu sama dengan adorasi Sakramen Mahakudus? Apakah tata cara adorasi Ekaristi boleh digunakan pada saat Tuguran? Bagaimana tabernakel harus dipersiapkan?

Gabriella Lodyanto H, Surabaya

Pertama, memang ada persamaan antara Tuguran (adorasi malam) dengan adorasi Ekaristi, tetapi ada pula perbedaan yang cukup penting. Persamaan dua upacara itu adalah kehadiran Yesus Kristus secara sakramental dalam Sakramen Mahakudus, yang kepada-Nya kita bersembah sujud. Kehadiran nyata Yesus Kristus dalam Sakramen Mahakudus ini menjadi pusat doa, baik dalam adorasi Ekaristi maupun Tuguran Kamis Putih.

Kedua, perbedaan utama terletak pada fokus dari upacara. Fokus adorasi Ekaristi ialah misteri-misteri hidup Yesus, terutama wafat dan kebangkitan-Nya. Sementara fokus Tuguran ialah berjaga-jaga bersama dengan Yesus yang sedang mengalami pergulatan batin. Pada Tuguran, kita mengenangkan saat Yesus mengalami pergulatan batin hingga berpeluh darah di Taman Getsemani (Mat 26:36-46), “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku…. Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku.” (Mat 26: 38.40).

Jadi, dalam Tuguran, kita mau berjaga-jaga menyertai Yesus yang sedang mengalami pergulatan batin dalam mengikuti kehendak Bapa. Suasana tuguran, suasana solider dengan Yesus yang sedang menderita secara hebat, suasana prihatin dan tirakat. Kita bisa merenungkan betapa berat pergulatan batin Yesus yang melihat semua penderitaan dan sengsara, sampai wafat di kayu salib, seperti yang dikehendaki Bapa. Sikap peduli dan solider ini akan membangkitkan kekaguman akan kemantapan Yesus untuk melakukan kehendak Bapa betapapun sulit dan sakit. Kekaguman itu juga akan melahirkan dalam batin kita rasa cinta yang berkobar kepada Yesus, ketika merenungkan beban berat pengorbanan yang ditanggung Yesus demi cinta-Nya kepada kita. Karena itu, bacaan Kitab Suci, doa-doa, nyanyian-nyanyian dan renungan singkat harus mengungkapkan sikap solider dan prihatin ini, karena sudah mulai hari sengsara Tuhan.

Jelaslah bahwa pada Tuguran Kamis Putih tidak digunakan lagu-lagu yang bertemakan kebangkitan atau kemenangan salib. Segala bentuk kemeriahan dan kegembiraan juga dihindari, dan ditekankan suasana prihatin dan tirakat (bdk. Perayaan Paskah dan Persiapannya, Seri Dokumen Gerejani no. 71, art 56). Sikap peduli dan solider pada Yesus yang menderita tentu akan nampak lebih jelas jika ada kesempatan doa hening dan kesempatan untuk merenung. Tuguran yang hanya diisi dengan doa lisan dan nyanyian, tanpa memberi kesempatan hening, memberikan kesan kita sibuk dengan diri kita sendiri (autis), tanpa sikap peduli dan solider, “ada bersama” dengan Yesus yang menderita.

Ketiga, perbedaan lain ialah bahwa pada Tuguran Kamis Putih, Sakramen Mahakudus ditempatkan di sibori, dan bukan ditahtakan dalam monstrans seperti dalam adorasi Ekaristi. Hal ini bertujuan untuk menekankan sikap berjaga dan berdoa kepada Allah di tempat tersembunyi. Pentakhtaan dalam montrans memberikan kesan keagungan kemenangan Kristus yang bangkit. Butir ini baru akan ditekankan saat Hari Raya Paskah.

Keempat, suasana prihatin dan tirakat juga harus nampak dari hiasan tabernakel, tempat menyimpan sibori dengan Sakramen Mahakudus. Surat Edaran Paskah di atas (no. 55) mengingatkan agar tabernakel itu tidak berbentuk “makam suci”. Demikian juga, perlu dihindari penggunaan ungkapan “makam suci” selama Tuguran, karena memang Tuguran ini merujuk pada Taman Getsemani, dan bukan pada makam Yesus. Wafat dan pemakaman Yesus masih akan diperingati keesokan hari, pada Jumat Suci.

RP Petrus Maria Handoko CM

HIDUP NO.15 2014, 13 April 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here