Setyo Budiantoro : Pejuang Kemiskinan Multidimensi

676
Setyo Budiantoro.
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Ia merasa terpanggil menjadi agen pembangunan lewat program pengukuran kemiskinan multidimensi. Ide-idenya telah diadopsi pemerintah.

Kemiskinan menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Pemerintah perlu mempersempit kesenjangan dan mengurangi ketimpangan di antara sesama warga. Pemerataan ekonomi harus menjadi prioritas, bukan hanya bagi pemerintah tetapi juga swasta. Karena saat ini negara tidak saja menghadap masalah ekonomi tetapi juga masalah sosial politik bahkan keagamaan. Semua orang terpanggil untuk menjadi agen pembangunan, termasuk Setyo Budiantoro.

Cita-cita Setyo menjadi agent of devolopment sudah tertanan sejak kuliah di Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta. Setyo dikenal orang yang sangat aktif dalam kehidupan berorganisasi. Menurutnya, menjadi agen pembangunan ini tak lepas dari kualitas Sumber Daya Manusia. Daya saing ini tak hanya dilihat dari segi kuantitas sebagai bangsa yang “bonus demografi” tetapi juga dinilai dari kualitas. Atas dorongan ini Setyo memutuskan menjadi agen pembangunan lewat kehidupan berorganisasi. Perlu take action, aktif berinteraksi dengan orang lain demi mencapai tujuan dimaksud.

Transformasi Organisasi
Tujuan ini membawa Setyo bergabung dengan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Sebagai mahasiswa, Setyo terpanggil untuk belajar dari organisasi mahasiswa Katolik yang berusaha menyuarakan nilai kebangsaan, leadership dalam bingkai Ajaran Sosial Gereja. “Saya belajar memahami makna preferential option for the poor, keadilan, solidaritas serta man for others,” ujarnya.

Setyo menyadari peralihan dari SMA ke masa perkuliahan memang sesuatu yang tidak mudah dijalani. Adaptasi ini terkadang mengharuskan seorang mahasiswa harus ekstra tenaga untuk mengatur kehidupan. Kendati begitu, ia tidak mengeluh karena peralihan ini. Demi memaknai masa-masa kuliahnya, Setyo aktif menulis di berbagai media. Hobi menulis menjadi anak tangga bagi Setyo dalam menggapi mimpinya. “Menulis agar mendapatkan honor untuk bertahan. Tahun pertama kuliah saya dibiayai, setelah itu saya tidak meminta biaya pada orang tua,” kenangnya.

Di PMKRI Cabang Yogyakarta, Setyo menjabat Ketua Presidium dan di tingkat nasional ia menjadi Sekretaris Jenderal. Pada kongres PMKRI tahun 2000 ia bersama beberapa rekannya memperjuangkan konsep transformasi organisasi. Kendati konsep ini adalah semangat perubahan anak zaman. Tepatnya refleksi perjuangan anak muda mendapatkan perubahan dalam pembangunan.

Tetapi sebenarnya konsep ini berangkat dari paham bahwasanya perlu perubahan struktur organisasi dari bentuk lama ke bentuk baru sesuai sistem, prosedur, budaya yang benar. “Konsep ini kami yang usulkan maka harus diselesaikan. Hal inilah membuat saya menerima permintaan menjadi Sekjen Pengurus Pusat PMKRI di Jakarta,” tuturnya,

Ketika di Jakarta mantan anggota Kelompok Kerja bagi Kantor Staf Presiden untuk anggaran dan pembangunan ini terlibat dalam berbagai bidang kehidupan. Selain aktif di PMKRI, ia juga mulai mencium aroma politik, mengenal ormas-ormas lainnya. Sayang Setyo tidak terlalu tertarik dengan politik. Ia ingin fokus menggapai apa yang diinginkannya. Politik dilupakan tidak membuat Setyo kelabakan. Ia malahan bergabung dengan Yayasan Bina Swadaya sebagai asisten Ketua Yayasan yang kala itu dipimpin Bambang Ismawan. Di tempat ini juga Setyo merasakan betapa ketimpangan pembangunan terjadi karena kemiskinan. “Saya bertekad agar pembangunan ekonomi Indonesia dapat memberdayakan ekonomi rakyat kecil.”

Partisipasinya dalam ekonomi pembangunan membuat ia berkesempatan kuliah ekonomi pembangunan di Erasmus University Rotterdam, Belanda. Beasiswa yang diperoleh dari pemerintah Belanda ini membuat dirinya semakin yakin bahwa ia terpanggil untuk belajar kebijakan pembangunan bagi negara berkembang. Setelah selesai kuliah di Belanda, ia pulang ke Indonesia dan bekerja lagi di Bina Swadaya. Kemudian, ia memutuskan untuk bekerja di wilayah kajian kebijakan.

Kebijakan Pembangunan
Dari Bina Swadaya, suami AJ Budi Darmawati ini bergabung dengan Perkumpulan Prakarsa yang berfokus pada gagasan besar tentang negara kesejahteraan. Perkumpulan ini didirikan karena ada kekosongan ide setelah jatuhnya Presiden Soeharto. Negara Indonesia seakan gagap dengan perubahan yang cepat, sehingga reformasi dan pembangunan berjalan lambat. Cukup banyak buku yang dihasilkan Perkumpulan Prakarsa tentang gagasan negara sejahtera. Setyo bergabung sebagai Associate Director, beberapa bulan kemudian ia menjadi Direktur Eksekutif.

Pada awal tahun 2011, Perkumpulan Prakarsa menerbitkan Prakarsa Policy Review tentang kemiskinan dan kesenjangan. Kajian tentang kemiskinan itu direspons pemerintah dan dibahas pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional. Setelah itu, Setyo juga memperjuangkan pengukuran kemiskinan multidimensi agar bisa diadopsi oleh pemerintah. “Pengukuran kemiskinan selama ini hanya dari sisi ekonomi (uang), namun kurang memperhatikan kondisi lebih luas misalnya pendidikan, kesehatan dan standar hidup. Padahal, hal-hal dasar itu yang membuat manusia tidak kuasa mengembangkan diri dan martabat,” ujar umat Paroki St Mikhael Kranji, Bekasi ini.

Riset soal pengukuran kemiskinan multidimensi ini mendapat tanggapan positif juga dari Universitas Oxford. Setyo mendapat kesempatan untuk belajar di George Washington University yang bekerjasama dengan Universitas Oxford. Ia belajar secara khusus tentang kemiskinan multidimensi di Washington. Setelah pulang, ia membuat kajian bekerjasama
dengan Litbang Kompas untuk menghitung indeks kemiskinan multidimensi dalam kurun waktu tiga tahun di 34 provinsi Indonesia. Selain melakukan kajian, ia berkali-kali ke Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Badan Pusat Statistik untuk meyakinkan agar konsep kemiskinan multidimensi bisa diadopsi pemerintah.

Setelah itu, Setyo diminta United Nations Development Programme menjadi national advisor untuk studi kemiskinan multidimensi. Ia diusulkan menjadi Manajer Pilar Pembangunan Ekonomi di Sekretariat SDGs Bappenas oleh UNDP. SDGs adalah kesepakatan global pembangunan dunia dengan dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan. Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan adalah kesepakatan pembangunan baru yang mendorong perubahan-perubahan yang bergeser ke arah pembangunan berkelanjutan yang berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan untuk mendorong pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup. SDGs diberlakukan dengan prinsip-prinsip universal, integrasi dan inklusif untuk meyakinkan bahwa tidak akan ada seorang pun yang terlewatkan atau “No-one left behind”.

SDGs terdiri dari 17 tujuan dan 169 target dalam rangka melanjutkan upaya dan pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) yang berakhir pada tahun 2015 lalu. Setyo menerangkan, tahun 2050 penduduk dunia mencapai 10 miliar manusia. “Bagaimana miliaran manusia itu memenuhi kebutuhan esensial seperti air, energi dan pangan bila masih berperilaku seperti sekarang? Krisis pasti terjadi dan konflik merajalela. SDGs mendorong pemenuhan kebutuhan pembangunan masa kini tanpa mengorbankan generasi masa depan secara lebih terukur,” tutur Setyo.

Tugasnya di Sekretariat SDGs adalah menjadi think tank (memberikan masukan konsep, strategi dan kebijakan). Ia juga menjadi hub (penghubung para stakeholder), clearing house (rujukan informasi), clinic (mendorong SDGs menjadi bagian pembangunan daerah), catalyst (mempercepat proses transformasi SDGs pada stakeholder) dan communicator
(menyampaikan pesan SDGs pada stakeholder dan masyarakat).

Mantan Koordinator Aliansi Keadilan Pajak Asia Tenggara mengakui, ada tantangan untuk mentransformasi masyarakat menuju sustainable behavior and culture. Ia mencontohkan Jakarta sebagai megacity pertama di dunia yang terancam tenggelam karena penggunaan air tanah yang kurang bertanggungjawab oleh masyarakat. Indonesia juga merupakan pencemar plastik di laut terbesar kedua di dunia. Empat sungai di Indonesia adalah bagian dari 20 sungai paling tercemar plastik di dunia. Indonesia juga pembuang makanan terbesar di dunia, rata-rata 300 kilogram makanan per orang per tahun.

Setyo Budiantoro

Lahir : Semarang, 6 September 1973
Istri : AJ Budi Darmawati

Pendidikan :
. Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta(2001)
. Economics of Development, International Institute of Social Studies of Erasmus University Rotterdam(2006)
. Universitas Oxford, Multidimensional Poverty Analysis (2013)

Pengalaman Pekerjaan :
. Asisten Ketua Yayasan Bina Swadaya 2002-2007
. Manager riset dan program ekonomi kesehatan di Indonesian Public Health Association (IPHA) 2007-2010
. Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa 2010-2015
. National Advisor United Nations Development Programme (UNDP) 2015-2016
. Manajer Pilar Pembangunan Ekonomi Sekretariat SDGs Bappenas, 2016 – sekarang

Fr. BenediktusYogieWandono SCJ

HIDUP NO.36 2018, 9 September 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here