Pastor Evensius Dewantoro Boli Daton : Meretakkan Bangunan, Menyatukan Warga

333
Pastor Evensius Dewantoro Boli Daton, Ketua Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Denpasar.
[Dok.HIDUP]
4/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Gempa menelan banyak korban dan merusak beragam bangunan. Di antara kesedihan dan puing-puing bangunan yang runtuh, warga bersatu tanpa memandang identitas.

Lombok merupakan bagian dari wilayah pelayanan Keuskupan Denpasar. Berdasarkan hasil Sinode I Keuskupan Denpasar pada Januari 2001, Pulau Lombok dan juga Sumbawa berada dalam satu dekanat: Nusa Tenggara Barat. Di Pulau Seribu Masjid ini terdapat tiga paroki: St Antonius Padua Ampenan, St Maria Immakulata Mataram, dan St Yohanes Pembaptis Praya.

Pada Juli dan Agustus lalu, gempa mengguncang Lombok. Tiga paroki ini turut terdampak gempa. Bagaimana kondisi umat di sana? Serta bagaimana Gereja ikut meringankan penderitaan dan menyeka air mata para korban? Berikut nukilan wawancara dengan Ketua Komisi PSE Keuskupan Denpasar, Pastor Evensius Dewantoro Boli Daton, melalui surat elektronik, Jumat, pekan lalu. Wawancara ini juga dilengkapi dengan beberapa informasi lain.

Bagaimana dengan kondisi Gereja di sana?

Gempa pertama terjadi di Kabupaten Lombok Utara pada Minggu, 29 Juli 2018, berkekuatan 6,4 SR dengan kedalaman 13 km. Kemudian disusul gempa besar pada 5 Agustus 2018, 9 Agustus, dan 19 Agustus 2018. Gerakan bergelombang pada kulit bumi itu menelan korban jiwa serta merusak rumah dan bangunan lain.

Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana pada 21 Agustus 2018 menunjukkan, ada 555 korban meninggal, 2.182 korban luka-luka, dan 431.416 jiwa mengungsi di Lombok bagian tengah dan barat. Pada 29 Agustus 2018 korban meninggal kembali bertambah menjadi 560 jiwa dan 73.843 rumah rusak.

Seluruh paroki yang berada di Lombok turut terdampak gempa. Tingkat kerusakan paling besar adalah Paroki St Maria Immakulata Mataram. Plafon gereja di paroki ini semua rusak, begitu juga dengan kaca lampu, kipas angin, ornamen, dan perangkat suara. Pastoran pun tak luput dari amuk gempa.

Bersyukur gempa utama dan susulan tidak sampai merusak struktur atau konstruksi gereja. Ornamen gereja paling jelas terlihat rusak maupun retak. Sampai hari ini gereja di paroki tersebut belum bisa digunakan untuk Misa. Umat menggunakan aula milik paroki untuk Perayaan Ekaristi.

Bangunan gereja milik Paroki St Antonius Padua Ampenan tak terlalu mengalami kerusakan seperti Gereja St Immakulata. Di sana lantai keramik gereja retak dan beberapa ornamen gereja ada yang rusak atau hancur karena terjatuh. Umat Paroki St Antonius masih dapat merayakan Misa di bangunan gereja. Sedangkan Gereja St Yohanes Pembaptis Praya tak ada kerusakan.

Selain gereja dan pastoran, bangunan sekolah Katolik di bawah Yayasan Insan Mandiri milik Keuskupan Denpasar juga terdampak gempa. Lantai tiga milik SMA retak sehingga tidak dapat digunakan para peserta didik untuk kegiatan belajar-mengajar. Agar sekolah tetap berjalan, para siswa dan guru menggunakan kantor yayasan.

Berdasarkan data Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, hingga 3 September 2018, total satuan pendidikan yang terdampak gempa Lombok sebanyak 1.235 unit, termasuk di Sumbawa dan Bali. Sebanyak 4.713 ruang kelas rusak, terdiri dari 2.338 ruang rusak berat, 1.151 rusak sedang, dan 1.224 rusak ringan. Total siswa terdampak untuk semua jenjang pendidikan 218.493 orang.

Bagaimana Komisi PSE menggalang bantuan?

Pasca gempa pertama, Komisi PSE Keuskupan Denpasar mengirim tim tanggap bencana ke Lombok. Tim yang sudah dibekali pelatihan kebencanaan oleh Karina turun ke lapangan untuk mendata, mengobservasi situasi, dan merekomendasi kebutuhan warga yang terdampak gempa. Selain menurunkan relawan ke lapangan, Komisi PSE juga mengirim surat himbauan dan ajakan kepada umat di seluruh paroki se-Keuskupan Denpasar untuk ikut membantu sesama yang tertimpa bencana di Lombok.

Di tingkat Keuskupan, Uskup Denpasar Mgr Silvester Tung Kiem San mengeluarkan surat keputusan tentang pembentukan panitia Tim Respon Gempa Bumi di Pulau Lombok. Bapa Uskup juga memberikan mandat kepada Tim Respon Gempa Lombok Keuskupan Denpasar (TRGL-KD) untuk merespon bencana dan melaporkan kepadanya secara berkala.

Sampai berita ini dimuat, TRGL-KD sudah empat kali mendistribusikan logistik ke posko penampungan barang. Bantuan tersebut selanjutnya diberikan kepada seluruh warga, jadi bukan hanya umat Katolik, tapi semua masyarakat yang terdampak gempa.

Mengingat skala bencana yang cukup besar, bantuan berupa sembako selalu saja kurang. Terkait hal itu, TRGL-KD juga membagikan informasi kebencanaan di jaringan karitas dan komunitas Katolik seperti Profesional dan Usahawan Katolik (PUKAT) dan para donatur. Setiap hasil kajian kebutuhan selalu dilaporkan kepada jaringan karitas dan donatur-donatur.

Sejauh ini yang sudah ikut dalam merespons adalah relawan dari Keuskupan Agung Semarang, PUKAT, Karitas Makassar, Karitas Bandung, Komunitas Cinta Kasih Keuskupan Denpasar, dan masih banyak bantuan dari perorangan maupun kelompok. Melalui surat keputusan Bapak Uskup tentang pengangkatan TRGL-KD, bantuan dalam bentuk dana disalurkan ke rekening atas nama Keuskupan Denpasar: BNI 049 378 099 dan BCA 773 057 2888.

Bagaimana langkah keuskupan mendistribusikan bantuan kepada warga terdampak gempa?

Pada awal gempa, kami mendata dan mengkaji, betemu dengan aparat desa serta dusun. Lalu kami membuat rekapan dalam bentuk kajian dan serta laporan situasi. Dari sana kami bisa menemukan jenis kebutuhan serta jumlah bantuan untuk para warga terdampak gempa. Setelah itu, kami mendistribusikan logistik berdasarkan hasil kajian.

Usai distribusi logistik, kami tetap melanjutkan kajian, mencakup: proses dan tanggapan warga serta kesulitan yang mereka hadapi. Dari proses tersebut, kami bisa mengetahui kebutuhan lain warga sesuai dengan situasi yang mereka hadapi. Kami membawa hasil tersebut ke posko untuk didiskusikan serta diambil tindakan lanjut.

Introduksi selalu dilakukan oleh tim sebelum melakukan distribusi. Kami juga menyampaikan identitas sebagai komunitas Katolik. Jika warga menerima, kami melanjutkan distribusi logistik. Untuk konteks Lombok dan Sumbawa ini penting. Sejauh ini, kami diterima secara baik ditingkat akar bawah, tak ada kendala.

Selain tanggap darurat, apakah ada juga langkah rehabilitasi, rekonstruksi, dan mitigasi?

Rencana tim kami, memang untuk rehabilitasi membutuhkan dana besar, sementara akses dana dari Karina menyesuaikan dengan standar prosedur operasional – Karina tidak akan merespons di luar masa darurat. Sehingga kemampuan logistik dan dana akan mengalami kendala.

Terkait hal itu, keterlibatan tim pada tahap rehabilitasi adalah pendampingan psiko-sosial, misal bercerita kepada anak-anak. Pada masa pra rehabilitasi, seperti sekarang, kami sudah mengajukan proposal kepada Karina. Sekali lagi, respons kemanusiaan yang tim berikan tidak difokuskan hanya kepada umat Katolik tapi seluruh warga yang terdampak.

Apa nilai yang bisa Pastor petik dari peristiwa ini?

Kita bisa melihat secara kasat mata kerusakan berat yang ditimbulkan gempa utama (main shock) dan gempa-gempa susulan. Titik pengungsian bisa mencapai ribuan, sementara kerusakan fisik sudah tak terbilang. Rumah, jembatan, rumah sakit, puskesmas, masjid, mushola, gereja, unit-unit perkantoran, restoran dan warung, pertokoan, gedung-gedung sekolah sudah menjadi puing atau tak layak lagi dipakai selain diratakan.

Di tengah rusaknya infrastruktur, warga menyatu, berpilin tangan secara sinergis dan saling membantu dengan segala kelebihan dan kekurangan. Gempa merusakan bangunan, tapi menyatukan warga tanpa diikat oleh identitas apa pun selain merasa bahwa orang lain itu saudara sendiri. Persaudaraan itu semestinya diacukan pada spirit cinta kasih, damai, dan kehendak satu sama lain saling memuliakan. Gempa memang meretakkan bangunan tapi menyatukan warga.

Yanuari Marwanto

HIDUP NO.38 2018, 23 September 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here