Beata Maria Crocifissa Curcio (1877 – 1957) : Misi Mulia Ibu Orang Miskin

467
Sr Maria Crocifissa Curcio bersama anak-anak Brazil.
[karmelites.org]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Hidup kita di dalam biara akan menjadi sia-sia, jika kita tidak memiliki intensi dan tujuan hidup yang sesuai dengan keinginan Tuhan. Pesannya suatu hari.

Di rumahnya, Maria Crocifissa Curcio mengoleksi banyak buku khususnya kisah-kisah heroik orang kudus. Sepanjang hari, selalu ada waktu bagi Maria untuk membaca buku-buku itu. Buah dari hobi itu adalah ungkapan-ungkapan orang kudus yang ia goreskan dalam catatan hariannya.

Disadari oleh Maria, membaca orang-orang kudus itu telah mengubah hidupnya. Tak hanya membaca, ia pun berdevosi kepada orang-orang kudus itu. Saat malam tiba, ketika dunia terlelap, ia bertekun dalam doa. Tak jarang semalaman ia bertahan dalam doa.

Maria terpesona pada St Theresia dari Kanak-kanak Yesus. Baginya, wanita bergelar doktor Gereja ini mampu mengubah kesunyian menjadi berkat. Maria ingin menyusuri “jalan kecil” St Theresia untuk memperdalam hidup rohaninya. Ia ingin masuk biara dan menjadi seperti St Theresia.

Panggilan Ditentang
Bukan perkara gampang menjelaskan keinginannya ini kepada Salvatore Curcio, sang ayah. Salvatore orang yang sangat humanis. Ia tidak terlalu ambil pusing soal kehidupan menggereja. Baginya, membantu orang lain saja sudah cukup ketimbang pergi ke gereja. Tak hanya sekali, Salvatore sering mengungkapkan penolakannya pada keinginan Maria. Salvatore tidak menyukai saat Maria mengotori rumah dengan buku-buku rohani.

Namun, kecintaan Maria pada jalan ini sudah begitu mendalam. Seorang yang mendukung cita-cita ini adalah sang ibu sendiri, Concetta Franzo. Sebagai wanita saleh, Concetta sangat memahami putrinya. Secara sembunyi-sembunyi, Concetta mengajarkan Maria berdoa. Concetta juga mengenalkan Maria kepada para biarawati di parokinya. Concetta yakin kalau panggilan itu dari Tuhan, maka tugasnya hanya memasrahkan cita-cita sang putri kepada-Nya.

Dalam hidup rohani, anak ketujuh dari sepuluh bersaudara ini patut diacungi jempol. Sayang pendidikan Maria kurang mendapat perhatian dari kedua orangtuanya. Meski hidup berkecukupan, Salvatore tidak memperhatikan pendidikan Maria. Salvatore berkeyakinan, perempuan tugasnya hanya menjadi ibu yang baik bagi anak-anak dan melayani suami.

Maria terus mengasah pengetahuannya. Bacaan tentang St Theresia menjadi santapan utamanya. Ia merenungkan, bahwa melakukan hal besar tidak harus lewat pendidikan. Ia meyakini, setiap orang harus berbuat kebaikan bagi sesama. Inilah yang lalu menjadi impiannya. Di atas dasar teladan St Theresia inilah, ia ingin menghabiskan hidupnya.

Akhirnya, Salvatore pun mengetahui “kegilaan rohani” Maria. Fakta yang kemudian membuatnya kehilangan respek terhadap kaum berjubah. Ia lalu melarang Maria pergi ke gereja dan terlibat dalam kehidupan religius.

Walaupun demikian, kecintaan Maria pada Ekaristi tetap tumbuh. Ia memelihara imannya lewat doa-doa pribadi. Ekaristi dan doa-doanya menumbuhkan impian tulus dalam dirinya. Ia ingin melakukan tindakan-tindakan luhur dan suci.

Tetap Bertahan
Kelahiran Ispica, Ragusa, Sisilia, Italia, 30 Januari 1877 ini akhirnya memutuskan menjadi biarawati pada tahun 1890, saat usianya 13 tahun. Ia memilih menjadi anggota Karmelit Awam yang baru saja berkembang di keuskupannya. Karmelit Awam ini tidak pertama-tama menonjolkan karya pelayanannya. Bagi mereka, yang utama adalah esensi dan jati diri Karmelit. Setiap kegiatan menjadi sarana untuk menghayati hidup Yesus Kristus. Bagi Maria model persaudaraan yang ditawarkan Karmelit menjadi inspirasi di tengah aneka kesulitan hidup dunia.

Dalam komunitas ini, Sr Maria hidup dan melayani selama 11 tahun yaitu dari tahun 1897-1908. Sr Maria benar-benar berkomitmen dan peduli pada sesama. Semangat belarasa dan keprihatinan kepada orang miskin membuatnya turun tangan membantu mereka. Ia menjadi ibu muda yang punya hati dan terbuka bagi banyak orang. Rasa peduli dan empati terhadap kaum miskin membawanya untuk terbuka melayani mereka. Sr Maria menjadi ibu kaum miskin zaman itu.

Karya pastoralnya ini menjadi sempurna ketika Salvatore meninggal. Sebuah rumah diwariskan sang ayah kepada Sr Maria. Rumah sederhana inilah yang menjadi cikal bakal komunitas yang dikumpulkannya. Mereka berkumpul dan membacakan Kitab Suci bersama-sama. Kaum Awam Karmelit ini merefleksikan karya pelayanan mereka dalam doa kontemplatif di rumah tersebut. Allah memanggilnya untuk berkarya secara aktif merasul bagi sesama dengan sumber kekuatan dari doa itu sendiri.

Bersama pemudi-pemudi Italia, Sr Maria mendedikasikan diri dalam hidup komunitas, doa, penitensi, dan tugas memberikan katekese bagi anak-anak. Mereka juga memberikan berbagai pelayanan kepada umat setempat, terutama kepada mereka yang lemah dan miskin. Berkat bimbingan Uskup Noto, Sisilia Mgr Giovanni Blandini (1832-1913), ia mengarahkan komunitas kecil ini untuk keluar dan melayani. Namun sayang, ketika Mgr Giovanni meninggal, komunitas ini menghadapi banyak masalah.

Sr Maria bersama dengan suster-suster lain terkatung-katung dalam ketidakpastian. Dalam kondisi yang seperti ini, ia selalu berdoa. Sering ketika malam hari, dia berdiam diri di depan Tabernakel untuk berdoa. Dia percaya bahwa dengan doa itu, ia akan diubah dan disempurnakan seturut kehendak-Nya.

Tuhan mendengarkan doa Maria. Pada Juni 1924, surat yang pernah ia tulis kepada Kongregasi Karmel Provinsi Belanda mendapat jawaban. Delegatus Misi Karmel Provinsi Belanda Pastor Laurentius van den Erenbeent O.Carm ketika itu, Pastor Erenbeent sedang mencari tarekat yang dapat berkarya untuk bidang pendidikan di Indonesia. Pastor Erenbeent menanggapi surat Sr Maria dan berusaha mencari jalan keluar untuk permasalahan internal komunitas itu sekaligus meminta mereka untuk bersedia bermisi di Indonesia. Tetapi berbagai alasan membuat tarekat ini tak kunjung berangkat ke Indonesia.

Pada 17 Mei 1925, Sr Maria menghadiri kanonisasi St Theresia. Dia memutuskan untuk mengambil semangat orang kudus ini sebagai nama sekaligus pelindung komunitasnya.

Akhirnya pada 3 Juli 1925, Sr Maria bersama beberapa suster dari Sisilia mendirikan komunitas baru di Santa Marinella. Kelompok ini pun lalu diakui Gereja menjadi sebuah tarekat Suster Karmelit Misionaris Santa Teresia dari Kanak-kanak Yesus (Carmelitane Missionarie di Santa Teresia di Gesu Bambino).

Seperti St. Teresia dari Kanak-kanak Yesus, Sr Maria sadar bahwa tarekat ini juga dipanggil untuk berdoa dan berkurban bagi para imam. Dengan doa ini, ia ingin para imam tidak memperoleh penderitaan dalam pelayanan mereka. Dia juga menasihati para susternya untuk berpegang pada janji mereka kepada Tuhan. “Hidup kita di dalam biara akan menjadi sia-sia, jika kita tidak memiliki intensi dan tujuan hidup, yang sesuai dengan keinginan Tuhan,” pesannya.

Perlahan tetapi pasti, tarekat ini semakin berkembang. Setelah perang dunia II, pada tahun 1947, Sr Maria mewujudkan impiannya dengan mengirim para suster sebagai misionaris pertama ke Brazil. Tak lama kemudian ke Kerala, India. “Pergilah para pemudi, anak-anak impianku, saya sudah tua dan saya tidak bisa pergi; saya mengutus kalian untuk saya dan jangan melupakan kaum miskin,” ungkap Sr Maria.

Sr Maria meninggal pada 4 Juli 1957 di Santa Marinella dengan meninggalkan tulisan Venite in disparte. Dia disemayamkan di komunitas Jenderalat Tarekat Suster Karmelit Misionaris Santa Teresia dari Kanak-kanak Yesus. Sejak 16 Juni 1991 jazadnya disemayamkan di sebuah kapel di Via del Carmelo, Santa Marinella, Roma. Kehidupan dan pelayanan Maria membawa warna tersendiri bagi Gereja. Keuskupan Portuense ketika dipimpin Mgr. Diego Bona memulai proses beatifikasi Suster Maria Crocifissa Curcio. Pada 13 Novenber 2005, Sr Maria dinyatakan sebagai beata oleh Paus Benediktus XVI.

Fr Marianus Ivo Meidinata, O.Carm/Yusti H.Wuarmanuk

HIDUP NO.39 2018, 30 September 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here