“Tak Bisa Menolak, Saya Sudah Buktikan”

326
Bersama rekan angkatan semasa studi di Kairo, Mesir.
[NN/Dok.Pribadi]
3.2/5 - (4 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Tak terselami rancangan Tuhan. Kejutan itupun datang di saat yang tidak disangka-sangka. Kegundahan sontak merayap. Beranikah mengatakan ya kepada kehendak Tuhan yang lebih besar?

Udara kamar terasa sesak. Malam itu, Pastor Christophorus Tri Harsono tak dapat memenjamkan mata meski bola mata terasa berat. Degup jantungnya ikut berpacu kian cepat melebihi gerak jarum detik jam dinding kamarnya. Pastor yang lahir di Bogor itu hanya bisa memandang salib yang terpajang di atas kamarnya. Dalam kegelapan dan keheningan malam, ia menaruh pengharapannya di dalam Kristus.

Selama dua hari itu pula, Pastor Tri tidak menghidupkan ponsel pintarnya. Ia sedang tidak ingin menerima telepon dari siapapun. Ketika membuka telepon genggam hitamnya itu, di layar ponsel tertera beberapa nomor asing yang mengontaknya. Sudah menjadi kebiasaannya, ia tidak pernah menerima panggilan dari nomor yang tidak dikenal terutama dari wilayah Jakarta. “Telepon yang tidak jelas identitasnya dan berkode 021 tidak saya angkat,” ungkapnya.

“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu” (Yes 55:8-9). Kutipan ini mungkin saja pas untuk menggambarkan pengalaman Pastor Tri malam itu. Ia tak menyangka bahwa nomor telepon yang konstan menghubunginya selama dua hari itu akan menggiringinya kepada rencana Allah yang lebih besar.

Ditegur Uskup
Jawaban tentang siapa yang mencoba menghubungi Pastor Tri terungkap beberapa hari kemudian saat ia mengikuti pertemuan, Vikaris Jenderal Regio Jawa, di Bandung, Jawa Barat, Selasa, 3/7. Ketika salah satu sesi pertemuan sedang berjalan, entah mengapa, Uskup Bandung Mgr Antonius Subianto Bunjamin OSC selalu saja mondar-mandir di selasar ruang rapat. Sesekali, sang uskup menengok ke ruangan tempat pertemuan di Pusat Pastoral Keuskupan Bandung itu.

Pertemuan yang dijadwalkan akan selesai pukul 10:00 ternyata berjalan lebih lama. Tak sabar, Mgr Anton masuk dan menginterupsi rapat. “Saya mau bertemu Pastor Tri,” ucapnya.

Mendengar namanya dipanggil, seketika perasaan cemas dirasakan Pastor Tri. Ia takut, kalau-kalau ia akan dimarahi karena merokok di kamar. “Waduh ada apa ini? Jangan bilang saya ketahuan merokok,” kata Pastor Tri dalam hati.

Mgr Anton pun memandang Vikjen bertubuh tinggi itu. Kata-kata yang keluar dari sang uskup ternyata sama seperti yang ditakutkannya. “Kamu masih merokok? Mulai sekarang hentikan kebiasaan itu,” kata Mgr Anton. Pastor Tri pun menduga bahwa itu alasan mengapa Mgr Anton memanggilnya. Selama pertemuan, ia memang merokok di dalam kamarnya. Seperti dugaannya, ulahnya ketahuan oleh Mgr Anton.

Namun, dugaannya meleset, Mgr Anton menanyakan mengapa Pastor Tri tidak mengangkat telepon dari Kedutaan Besar Vatikan yang masuk ke telepon genggamnya. Mgr Anton menegur dan memberitahu Pastor Tri bahwa Nunsius, Mgr Piero Pioppo beberapa kali berusaha menghubunginya. “Mengapa kamu tidak mengangkat telepon baik dari Nunsius maupun Nunsiatura?” tanya Mgr Anton.

Seketika, Pastor Tri pun teringat pada sebuah nomor telepon yang beberapa hari sebelumnya sering “menerornya”. Ia tidak menyangka, bahwa telepon itu dari Nunsiatura. Pastor Tri pun menjelaskan kebiasannya tidak mengangkat nomor telepon asing. Setelah itu, Mgr Anton meminta agar Pastor Tri mengangkat telepon itu jika ditelepon kembali.

Tak berselang lama, Pastor Tri lalu menghubungi Nunsiatura. Ketika telepon itu diangkat, petugas Sekretariat Nunsiatura langsung menyambungkannya kepada Mgr Pioppo. Setelah sedikit basa-basi, Pastor Tri pun menanyakan mengapa Nunsius mencarinya. Tanpa basa-basi, Mgr Pioppo pun meminta kesediaan Pastor Tri untuk dapat berkunjung ke Nunsiatura. “Per favore, vieni giovedì alle cuatro del mattino, ‘hari kamis jam empat sore’?” begitu Mgr Pioppo meminta Pastor Tri untuk datang.

Pengalaman Pertama
Dua hari setelah Pastor Tri menelepon Mgr Pioppo, ia pun bertandang ke Nunsiatura, Kamis, 5/7. Diundang langsung oleh Nunsius untuk datang ke Nunsiatura merupakan pengalaman pertama bagi Pastor Tri. Perasaanya semakin campur aduk mendengar permintaan itu. Hanya ada dua kemungkinan ketika seorang imam dipanggil oleh Nunsius, yakni dihukum karena ada masalah atau dipanggil menjadi uskup. Pastor Tri semakin yakin bahwa alasan dipanggilnya ia ke Nunsiatura adalah karena hukuman. Ia menepis mentah mentah ide dan guyonan bahwa ia akan menjadi seorang uskup yang sempat dilontarkan oleh imam lainnya.

Rasa gundah pun mengantarkannya pergi menemui Nunsius. Sejak pukul 11.00, pastor yang besar di lingkungan militer ini sudah pergi menggunakan kereta komuter. Dari Gondangdia Pastor Tri berjalan hingga stasiun Gambir. Ia tiba lebih awal di Nunsiatura. Sembari menunggu bertatap muka dengan Nunsius, Pastor Tri berbincang hangat dengan Satpam kedutaan. Sebelum pukul empat, staf kedutaan sudah mempersilahkan ia menunggu di ruang tamu. Beberapa kali, imam yang senang menyanyi ini membolak-balik beberapa bacaan yang ditawarkan di atas meja ruang tunggu. “Sambil menunggu, saya baca tapi bacaan itu tidak masuk,” tuturnya.

Tak lama, sosok Mgr Pioppo muncul. Ia mengajak Pastor Tri bertandang ke ruang kerjanya. Ia memuji kefasihan bahasa Italia dosen Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan Bandung ini. Tanpa tedeng aling-aling, Pastor Tri bertanya, “Cosa vuoi Eccellenza Nunzio ‘apa yang ada inginkan Yang Mulia’?”

Nunsius pun menghentikan perbincangannya. Menghela nafas seraya memandang mata sang pastor dari balik kacamatanya. “Santo Padre, teman studi saya di Roma memilih kamu sebagai uskup di Purwokerto.”

Mendadak, Pastor Tri terdiam seribu bahasa. Disposisi awalnya ketika itu, ia ingin menolak tugas yang berat itu. Ia merasa tak sanggup memikul tugas yang ketika itu ditawarkan kepadanya. “Saya seumur hidupakan merahasiakan, sampai mati saya akan rahasia, bahwa pernah dipilih sebagai uskup. Bolehkah saya menolak?”

Sejenak Mgr Pioppo terdiam. Namun, ia justru menegur Pastor Tri. Ia mengatakan, dengan penolakan ini, berarti Pastor Tri sedang memposisikan dirinya lebih suci, lebih bijak, lebih baik dari pada Santo Padre? “Kamu dipilih dari yang lain-lain,” kata Mgr Pioppo.

Pastor Tri pun diam. Hal itu membawanya dalam permenungan mendalam. Tak satu kata pun ia keluarkan. Kemampuan berbahasanya seolah-olah hilang tak berbekas. Nunsius bertanya sekali lagi, namun Pastor Tri bergeming. Sadar akan keadaan itu, Nunsius mengajak Pastor Tri berdoa di kapel. “Apapun pendapatmu, apapun hasilnya, berdoalah di kapel 15 menit saja. Merenunglah. Saya akan menunggu hasilnya, tetapi hasilnya harus iya,” pinta Nunsius.

Berani Menjawab
Sesaat kemudian, Mgr Pioppo menjemput Pastor Tri kembali. Mereka lalu keluar lewat sakristi kembali ke ruang kerja Nunsius. Ia hanya terdiam. Tak ada jawaban “ya” atau “tidak” keluar dari mulutnya. Nunsius pun mengambil secarik kertas dan pulpen. Disodorkanlah keduanya ke hadapannya, “Kamu tidak bisa bicara, tapi kamu bisa menulis.”

Di atas kertas setengah halaman itulah kuasa Roh Kudus berkerja. Rahmat ketaatan menuntun Pastor Tri untuk menuliskan kesediaannya menerima tugas menjadi Uskup Purwokerto. Pengalaman itu membuktikan, bahwa saat berhadapan dengan permintaan menjadi uskup, seorang imam tak bisa menolaknya. “Saya sudah buktikan ga bisa, ga bisa menolak (red-permintaan menjadi uskup),” ungkap Mgr Tri saat bercerita di Pusat Pastoral Keuskupan Bogor.

Saat itu pun, Pastor Tri menyadari perkataan Yesus, “Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kau kehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kau kehendaki” (Yoh 21:18). Jawaban ketaatan itu pun disambut oleh gembira Nunsius. Ia pun memakaikan topi soli deo nya kepada Pastor Tri. “Kita telah mempunyai Uskup Purwokerto yang baru,” ujarnya bahagia kepada sekretaris kedutaan.

Pada Sabtu, 14/7, tepat saat Angelus waktu Roma kabar ini diumumkan di Keuskupan Bogor dan Keuskupan Purwokerto. Keuskupan Purwokerto setelah hampir dua tahun mengalami sede vacante (takhta uskup lowong) akhirnya mendapatkan gembala baru. Berita ini dilakukan bersamaan dengan pengumuman terpilihnya Uskup Maumere, Mgr Edwaldus Martinus Sedu.

Saat pengumuman itu, Mgr Tri ingin menitikkan air mata tetapi ia menahannya dan berkata kepada dirinya sendiri bahwa seorang tentara tidak menangis. Perkataan Vikaris Judisial Keuskupan Bogor Pastor Driyanto ikut memantapkannya. Selain itu, Uskup Bogor Mgr Paskalis Bruno Syukur OFM pun memberinya peneguhan. “Taat dan pasrah saja.”

Dalam hati Mgr Tri berujar pasrah, “Kehendak-Mu lah yang terjadi”. Lewat jalan ketaatan, Mgr Tri pun menjawab panggilan mulia itu. Ia merindukan persatuan di Keuskupan Purwokerto yang akan ia pimpin dengan menjalankan sebaik-baiknya tri tugas penting yakni menyucikan, memimpin, dan mengajar.

Felicia Permata Hanggu

HIDUP NO.40 2018, 7 Oktober 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here