Banyak Les, PR, Ulangan, dan Belajar

638
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Pengasuh, saya kadang kasihan melihat keponakan saya seakan “dipaksa” banget untuk mengikuti berbagai les. Keponakan saya sekarang kelas IV SD. Pulang sekolah langsung les, kembali ke rumah sekitar pukul 18.00. Belum lagi buat PR, belajar untuk pelajaran besok. Saya tambah kasihan kalau masa ulangan umum, orangtua menuntut anaknya banyak belajar dan mengurangi hiburan seperti bermain atau menonton. Menurut pengasuh, apakah yang diterapkan oleh kakak saya (orangtua anak itu) baik?

Grace Gayatri, Jakarta

Bu Grace, keprihatinan ibu terhadap kondisi keponakan menjadi keprihatinan kita bersama. Kasus tersebut merupakan gambaran umum mengenai beratnya beban anak menghadapi tuntutan sekolah maupun orangtua, khususnya di kota besar. Kekhawatiran orangtua berlebihan.

David Elkind, psikolog anak dan penulis buku The Hurried Child: Growing Up too Fast too Soon, menggambarkan fenomena the hurried child sebagai anak yang dipercepat perkembangannya dengan berbagai aktivitas ekstrakurikuler tiap minggu dan bertujuan untuk meningkatkan beragam kemampuan anak. Munculnya fenomena ini didasarkan atas tiga sumber: media massa, orangtua, dan guru yang mendorong anak-anaknya untuk berkompetisi.

Hurried child syndrome terjadi ketika orangtua mengharapkan anak untuk bisa berprestasi di atas kapasitas usia mental, kemampuan sosial, dan emosionalnya. Salah satu kemungkinan dampaknya adalah munculnya gejala stres dalam bentuk gejala fisik, kognitif, maupun psikologis.

Anak tetap adalah anak yang memiliki karakteristik dan tugas perkembangan yang khas. Anak membutuhkan waktu untuk bermain dengan teman sebayanya dan cukup beristirahat. Dengan bermain, mereka belajar tentang dirinya (kekuatan maupun kelemahannya), orang lain, maupun lingkungannya. Aktivitas itu juga mengembangkan nilai-nilai hidup serta dasar-dasar pengetahuan untuk keterampilan hidup.

Khawatir berlebihan terhadap penggunaan waktu luang anak menjadi salah satu alasan guru memberikan PR secara rutin untuk siswa di samping untuk meningkatkan keterampilan pemecahan masalah. Namun, bila ditambah dengan beban ulangan
dan tuntutan untuk persiapan belajar materi besok maka merupakan suatu masalah.

Kondisi ini memang dapat mengembangkan kemampuan kognitif namun bagaimana dengan pemenuhan kebutuhan sosial dan emosinya? Kita perlu sepakat bahwa tujuan pendidikan adalah mensejahterakan warganya. Dengan tuntutan yang dibebankan kepada anak, kita perlu refleksi diri apakah langkah tersebut bertujuan untuk mensejahterakan anak atau orangtua?

Terkait pemberian PR, beberapa waktu lalu saya dan tim melakukan penelitian kecil mengenai persepsi siswa kelas V SD dan guru terhadap PR. Hasilnya memang menunjukkan bahwa sekitar 50% (dari 129 siswa) tak mengalami kesulitan mengerjakan PR, namun ada 37% yang mengalami kesulitan. Langkah yang mereka tempuh adalah mencari bantuan kepada guru les (sebagai pilihan pertama) dan ibu (sebagai pilihan kedua).

Hal ini menunjukkan bahwa guru les memegang peranan penting untuk membantu anak mengerjakan PR maupun pendampingan belajar. Mereka pun tampak lebih suka belajar didampingi guru les daripada orangtua di samping faktor orangtua yang sibuk.

Fakta menarik lain adalah ketika guru mengatakan, PR adalah bagian dari tugas dan tanggung jawabnya, namun di sisi lain merekapun mengatakan tak semua PR dikoreksi. Hal ini berarti ada penugasan namun tak selalu sampai pada tahap evaluasi. Ini yang kadang dirasa tidak fair bagi anak.

Menarik pula untuk mengkaji Surat Edaran diterbitkan Dinas Pendidikan Kota Blitar terkait dengan larangan guru memberikan PR untuk siswanya. Siswa diharapkan dapat memiliki lebih banyak waktu untuk belajar soal pendidikan karakter dan lebih punya banyak waktu untuk berbaur dengan keluarga dan masyarakat. Pemberian PR bukan satu-satunya cara untuk menumbuhkan tanggung jawab kepada anak. Anak bukanlah robot yang diciptakan hanya untuk mengikuti perintah namun mereka memiliki kebebasan untuk berekreasi. Dengan demikian, perlu ada kerjasama antara guru dan orangtua untuk memberikan tuntutan dan arahan yang sepadan dengan usia dan kemampuan anak. Apa yang dilakukan oleh saudara Ibu menurut saya terlalu berlebihan karena hanya fokus pada pengembangan sisi kognitif namun mengabaikan pengembangan sisi emosi dan sosial.

Praharesti Eriany

HIDUP NO.41 2018, 14 Oktober 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here