Aku Pelukis Angin Ribut

411
4.5/5 - (6 votes)

Hubunganku dengan Horas, sudah selesai. Aku pulang ke kampungku, ke Samosir. Kepulanganku, bukan untuk menenangkan pikiran, tapi karena aku sangat kangen pada orangtuaku. Rumah tua bertangga sebelas ini, bagiku adalah rumah terindah.

Aku duduk di tangga rumah kami, sambil merasakan indahnya sensasi daun-daun sotul yang bergerak-gerak ditiup angin. Di rumah sebelah, yang kami sebut restoran, Bapak dan Mamak ikut membantu para karyawan melayani tamu-tamu kami yang datang silih berganti.

Arsik sotul dan nanitombur, menu andalan resto kami, aromanya terbang ke udara, membuatku jadi lapar. “Nanitombur sudah masak, Lala. Sini, makan dulu, Inang!” panggil mamak dari sebelah.
“Ya mamakku!”

Teleponku berdering lagi, dari Horas. Ini untuk yang kesekian kalinya dia menelepon,
dan tak pernah kuangkat. Sekali ini, biarlah kuangkat.
“Lala!” serunya girang di telepon.
“Ya….”
“Kami sudah ada di pintu gerbang restoranmu.”
“Kami?”
“Ya, aku sama mami dan papi. Kau jahat, kau bilang orangtuamu petani penggarap, padahal kau anak pemilik restoran terkenal!”
“Itu yang membuat kalian mencariku ke sini?” Ia justru tertawa.

Rasanya aku seperti terlempar lagi ke penjara yang sunyi itu, dan angin ribut kembali kurasakan berkecamuk di hatiku.
Bapak dan mamak menyambut ramah Horas dan kedua orangtuanya. Keramahan yang tidak dibuat-buat, karena keramahan seperti itulah yang sejak dulu dimiliki bapak dan mamak.

“Waduh, restorannya bagus banget!” seru mama Horas.
“Kenapa nggak pernah cerita kalau kamu punya restoran, Lala?” Papi Horas menatapku lembut.
“Ini restoran bapak dan mamak, Amangboru. Tadinya ini hanya lapo kaki lima, lama-lama besar karena mamak pandai masak,” jawabku.

Mereka, makan dengan lahap di restoran kami. Sebentar lagi, aku tahu, pembicaraan akan mengarah ke hal yang serius.
“Maukah kau Lala, kami lamar menjadi istri Horas?” Papi Horas menatapku penuh harap.

Lamaran ini, bagiku sungguh luar biasa. Bagaimana mungkin secepat ini semuanya berubah? Apakah kau ingin aku menerimanya?

Aku, tentu saja menolak dengan mantap! Aku adalah Lala, pelukis angin ribut, yang bebas mengekspresikan jiwa di atas kanvas dan di dunia nyata. Rajaku adalah Yesus!

 

Wita Alamanda Simbolon

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here