“Slamet” Agar Selamat

520
Slamet Riyadi mewakili tentara Indonesia saat serah terima wilayah Solo dan Pacitan di Stadion Solo tahun 1949.
[hobbymiliter.com]
2.5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Ketika balita kondisi tubuhnya melemah dan sakit-sakitan. Oleh karena alasan itu, ia akhirnya harus “dijual”.

Sebuah rumah tua bergaya Jawa berdiri di tengah Kelurahan Danukusuman, Serengan, Surakarta, Jawa Tengah. Tiang penyangga dari kayu jati masih kokoh berdiri. Bubungan atapnya terbuat dari anyaman rotan, sedangkan daun pintu dan jendelanya dihiasi ukiran khas Jawa. Sebagian furnitur yang ada di rumah ini sudah ada sejak puluhan tahun lalu.

Di rumah sederhana inilah, Ignatius Slamet Riyadi dilahirkan pada 26 Juli 1927. Kedua orang tuanya, Idris Prawiropralebdo dan Soetati bekerja sebagai abdi dalem di Keraton Kasunanan Surakarta. Idris adalah seorang Perwira Rendahan Legium Kasunanan (Keraton Surakarta). Pada masa itu, bekerja di Keraton Surakarta bukan semata-mata mencari penghasilan, melainkan pengabdian yang diutamakan. Sedangkan Soetati membantu mencukupi kebutuhan keluarga dengan berdagang buah-buahan di pasar.

Mulanya, Slamet Riyadi diberi nama Soekamto oleh kedua orang tua. Namun, ketika berusia satu tahun, tanpa sengaja ia terjatuh dari gendongan sang ibu. Semenjak itu, kondisi tubuhnya melemah dan sakit-sakitan. Menurut kepercayaan Jawa saat itu, ia harus “dijual” kepada orang lain. Dipilihlah Keluarga Warnenhardjo yang merupakan paman Soekamto sebagai “pembelinya”.

Melalui serangkaian upacara adat Jawa, sang paman mengubah nama Soekamto dengan Slamet. Meski telah “dibeli”, Slamet tetap dalam pemeliharaan ibu kandungnya. Hingga saat ia akan dikhitankan, Idris membeli kembali sang putra.

Siswa Cerdas
Saat usianya cukup untuk masuk sekolah, Slamet dimasukkan di Hollands Inlandse School (HIS) Arjuna Solo. HIS adalah pendidikan setara SD yang diperuntukkan bagi golongan penduduk pribumi. Di sini umumnya untuk anak-anak dari golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, atau pegawai negeri menempuh pendidikan dasar. Sebagai anak prajurit
Kasunanan, kemampuan Slamet di bidang olah krida (olahraga) yang bersifat kemiliteran sangat menonjol. Darah prajurit sang ayah rupanya mengalir dalam tubuhnya. Ia gemar baris-berbaris, bermain watangan (menusuk sasaran dengan tangan),dan perang-perangan. Meski begitu, prestasi akademik Slamet juga tak kalah cemerlang.

Tamat HIS, Slamet melanjutkan pendidikan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) -sekolah setara SMP- Katolik, atau yang lebih dikenal sebagai MULO Broederan Solo. MULO Broederan ketika itu diasuh oleh Bruder-bruder Kongregasi Santa Perawan Maria Yang Dikandung Tak Bernoda (Fratrum Immaculatae Conceptionis/FIC) dan terletak di Jl Purbayan, Solo. Sekolah ini terletak persis di samping Gereja St Antonius Purbayan.

Sekolah ini tergolong elit pada zamannya. Murid-murid di sekolah ini umumnya merupakan para sinyo Belanda. Murid sekolah ini sebagian besar lulusan Europeesche Lagere School (ELS), – sekolah setara SD yang diperuntukkan bagi keturunan peranakan Eropa. Untuk calon siswa MULO Broederan yang tidak berasal dari ELS harus terlebih dahulu mengikuti Voorklasse (kelas persiapan/pendahuluan).

Namun, Voorklasse tidak berlaku bagi Slamet. Kepandaiannya dan bahasa Belanda yang sudah cukup fasih, membuatnya berhasil diterima tanpa melalui kelas persiapan. Di sekolah ini, penguasaan bahasa Belandanya menjadi semakin baik, demikian pula perkembangan jiwa religiusnya.

Selain dikenal pendiam, santun, dan pandai, bakat memimpin dan semangat kebangsaan yang kuat telah tumbuh dalam diri Slamet kecil. Mana kala ada sinyo Belanda yang menghina atau melecehkan bangsa Indonesia, Slamet akan mengumpulkan kawan-kawan pribuminya dan memimpin mereka melakukan aksi-aksi perlawanan. Tak jarang, perkelahian pecah antara kedua belah pihak.

Meski sering menunjukkan sikap menentang para sinyo Belanda, Slamet tetap dihargai oleh para gurunya. Ia adalah anak yang cerdas dan sering berdiskusi bersama para guru dan bruder-bruder Belanda tentang masalah kebangsaan.

Nilai Slamet selama di MULO memang mumpuni. Untuk pelajaran eksakta misalnya, nilau yang ia peroleh tak pernah lebih rendah dari delapan. Ketika kelas I, dalam aljabar ia memperoleh angka 8, 8, dan 9. Sedangkan saat di kelas II kwartal pertama, ia juga mendapat nilai delapan. Angkanya untuk ilmu pasti pun baik, demikian pula untuk ilmu bumi, seperti ditulisa dalam Majalah Intisari edisi November 1964.

Selama setahun di kelas I, ia hanya tercatat sakit sebanyak dua kali dan tidak masuk karena alasan lain satu kali. Oleh karenanya, angka kerajinannya pun baik, yakni “8”. Ia juga mendapat angka “8” untuk kelakuan.

Dalam buku pokoknya (raport), ayah Slamet ditulis sebagai “gepensioneerde hospitani-soldaat”, dengan penghasilan sebesar £342 setahun. Berdasarkan penghasilan tersebut, Slamet dibebankan uang sekolah sebesar £4,80 sebulan. Nama “Riyadi” tidak terdapat di belakang nama “Slamet” dalam buku pokok itu. Di sana hanya tertulis singkat “Rd. Slamet”.

Slamet Riyadi
Awal tahun 1942, dalam Perang Asia Timur Raya, Jepang mengalahkan Belanda dan memulai penjajahan di Indonesia. Para bruder Belanda yang mengasuh MULO Broederan ditahan di interniran. Praktis sekolah tidak berjalan dan nyaris punah.

Jepang mendirikan SMP I di Manahan, SMP II di Mangkunegaran, dan SMP Putri di Pasar Legi. Hal ini menyebabkan banyak siswa MULO Broederan pindah ke sekolah negeri, termasuk Slamet yang saat itu duduk di kelas 2.

MULO Bruderan berubah nama menjadi SMP Katolik dan diambilalih oleh para awam Katolik yang kemudian memindahkannya ke daerah Gemblegan. Sempat pindah beberapa kali, SMP Katolik itu akhirnya kembali ke Purbayan, berlokasi di belakang gereja dan diasuh oleh Yayasan Kanisius. Kini sekolah itu menjadi SMP Kanisius 1.

Di SMP II Mangkunegaran, banyak siswa yang bernama Slamet. Untuk membedakannya dengan teman-temannya, Slamet putra Idris Prawiropralebdo dikenal dengan nama Slamet Riyadi.

Pada masa remaja ini, Slamet Riyadi kehilangan ibunya yang meninggal karena sakit setelah mengalami cedera saat terjatuh. Slamet lebih dekat dan manja dengan ibunya, karena sang ayah sibuk di Kasunanan. Kehilangan ini dikatakan sangat membuatnya terpukul.

Slamet pun tinggal bersama ayah dan satu-satunya kakak perempuan yang bernama Soekati. Ia dan kakaknya hanya terpaut tiga tahun. Soekati menikah dan menempati rumah masa kecilnya itu. Ia memiliki dua anak. Salah satunya, Siti Sumarti, yang kini mendiami rumah peninggalan Idris Prawiropralebdo tersebut. Hingga kini, kedua anak dan cucu-cicit Soekati adalah keluarga Slamet Riyadi yang masih hidup.

Meski belum pernah berjumpa dengan sang paman, Sumarti menuturkan, Slamet Riyadi adalah sosok pemberani dan suka menolong. Seperti yang Sumarti dengar dari ibunya, sang paman adalah sosok yang sederhana. “Ketika dibelikan sepeda oleh Mbah (kakek), bukan dia yang pakai, malah dikasihkan orang lain. Orangnya tidak suka hidup mewah,” kisah Sumarti saat ditemui, 30/10 lalu.

Sumarti juga menuturkan, Slamet Riyadi sering bertirakat puasa. Kadang, Slamet berpuasa dengan tidak makan nasi, hanya buah-buahan yang dimakannya. Slamet juga sering menyepi atau bersemedi, kadang ketika dicari Belanda, ia kembali ke rumah dan menyendiri. Pada zaman itu, rumah Slamet pun nyaris akan dibakar tentara Belanda. Mereka mencari rumah itu namun tidak menemukan. “Pernah kompeni cari-cari: ‘Mana rumah Slamet Riyadi? Mana rumah Slamet Riyadi?’ Mau dibakar kalau ketemu. Untung ndak terjadi,” ungkapnya.

Idris mengatakan bahwa ia adalah pensiunan kompeni. Hal itu yang mengurungkan niat tentara Belanda untuk membakar rumah mereka. Hingga kini, rumah itu masih bertahan. Saat ini, rumah itu didiami Sumarti bersama anak-anaknya. Bentuk rumah itu pun nyaris tanpa perubahan. “Mau renovasi rumah sebesar ini biayanya pasti besar sekali. Pak Slamet orangnya ikhlas, ia pergi tanpa peninggalan apapun tapi namanya harum.”

Siti Sumarti juga mengisahkan keberanian Slamet Riyadi sampai pada apa yang ia sebut nekat. Waktu berangkat untuk operasi penumpasan pemberontak Republik Maluku Selatan (RMS), Slamet bahkan tidak pamit kepada orang tuanya. Ia nekat pergi tanpa restu orang tua. “Tapi ya, kalau pun pamit pasti tidak dibolehkan, karena anak laki-laki hanya Pak Slamet sendiri,” katanya sambil tertawa.

Meski tak pamit pada ayahnya, tambah Sumarti, Slamet justru pamit kepada ibunya di pemakaman. Salah seorang tetangga menceritakan kepada keluarga, malam sebelum keberangkatannya tentara itu melihat jeep yang singgah di makam Soetati. “Sepertinya Pak Slamet Riyadi pamit pada ibu sebelum ia berangkat ke Maluku.”

Pergi tanpa kabar, memang bukan hal baru bagi keluarga. Sumarti mengatakan, Slamet lebih banyak bersama rekan-rekan seperjuangannya semenjak Slamet lulus SMP II. “Cerita Pak Slamet lebih banyak ada bersama teman-teman seperjuangannya. Bahkan kabar ia gugur di Ambon, keluarga mendengarnya pertama kali dari siaran radio.”

Menjadi Pelindung
Menamatkan sekolah di SMP II Mangkunegaran, Slamet lalu mengikuti ujian masuk beberapa sekolah. Saat mendaftar di Sekolah Pelayaran Tinggi atau Kootoo Seinen Yoseisho, ia lulus dan mulai belajar di sekolah yang didirikan Jepang tersebut. Saat itu, ia harus menjalani pendidikannya di Cilacap. Selama pendidikan ini, Slamet memilih mendalami bagian dek atau navigasi. Menurut cerita seorang temannya, di sekolah itu para remaja tak tertarik pada masalah politik, mereka gandrung pada cita-cita heroik.

Slamet dengan jiwa dan bakat kepemimpinan, selalu menjadi pelindung, membela kawannya yang dihukum oleh para pengajar. Guru-guru mengakui Slamet sebagai murid yang disiplin sekaligus pandai. Ia sering mengisi waktu dengan bermain gitar. Ia juga mempelajari masalah spiritual dan politik dari koleksi buku-bukunya.

Sebanarnya Jepang mendirikan Sekolah Perkapalan itu agar lulusannya kelak dapat ditempatkan sebagai awak kapal pada armada perangnya. Jepang akan memilih tujuh siswa terbaik dari masing-masing bagian untuk melanjutkan pendidikannya di Kooto Shosen Gakkoo, di Kyoto, Jepang. Slamet tentu termasuk di dalamnya. Sayang, posisi Jepang semakin terdesak oleh tentara Sekutu ketika itu. Komunikasi antara Jakarta-Tokyo terganggu sehingga rencana pendidikan lanjutan ini dibatalkan.

Slamet dan lulusan terpilih lainnya ditampung di sebuah asrama di kawasan Pejambon, Gambir, Jakarta. Gedung itu terletak di belakang Lyceum (sekarang GPIB Immanuel Jakarta). Di asrama tersebut, disiplin tentara Jepang diterapkan dengan ketat. Tak jarang timbul percekcokan antara pemuda lulusan Kootoo Seinen Yoseisho dan prajurit Jepang.

Di sinilah, Slamet menggunakan waktu luangnya untuk berdiskusi dan berkonsultasi dengan para politisi Indonesia yang bergerak di bawah tanah. Ia bertemu di antaranya Sutan Achmad Simawang dan Sutan Syahrir. Mereka kerap berjumpa di kawasan Matraman yang kini dikenal sebagai Jalan Slamet Riyadi, Jakarta Timur.

Hermina Wulohering (Solo)

HIDUP NO.45 2018, 11 November 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here