Clara Yono Yatini : Bumi Hanya Butiran Sangat Kecil

464
Clara Yono Yatini.
[NN/Dok.Pribadi]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Memandang langit di malam hari adalah aktivitas yang sangat menyenangkan. Kesukaannya pada langit malam membersitkan rasa penasaran pada benda-benda langit.

Bumi adalah bagian dari tata surya, sedangkan tata surya itu sendiri bagian dari milyaran bintang yang ada di Galaxy Bima Sakti. Bima Sakti adalah bagian dari di alam semesta. Bumi hanyalah butiran sangat kecil dan sangat sangat tidak berarti dibandingkan dengan ukuran alam semesta.

Namun, Tuhan menempatkan bumi pada posisi yang pas. Di sini, kehidupan manusia bisa berlangsung. Bumi juga punya magnetosfer untuk melindungi dirinya dari serbuan partikel kosmik energi tinggi. Manusia yang sangat tidak berarti di alam semesta diangkat sedemikian rupa oleh Allah. Ini menunjukkan betapa Allah mencintai manusia. Demikian diungkapkan Clara Yono Yatini.

Sebagai peneliti bidang astronomi, Clara memahami alam semesta sebagai tempat di mana bumi berada. Ia juga harus bisa menjelaskan bagaimana Tuhan dapat dipahami sebagai pencipta, sebuah tugas yang tak mudah.

Bidang Matahari
Di bangku SMA, Clara Yono Yatini bergabung dalam kelompok pecinta alam. Bersama teman-temannya, ia sering camping di alam terbuka. Dalam kesempatan ini, saat malam tiba, memandang kerlip-kerlip bintang di langit menjadi aktivitas yang sangat menyenangkan. Kesukaannya pada langit malam membersitkan rasa penasaran pada benda-benda langit.

Clara pun mulai mencari tahu. Ia mulai membaca buku-buku astronomi. Karena cintanya pada dunia astronomi ini, ia lalu melanjutkan pendidikan dengan kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB), Jawa Barat. Hanya ada ITB di benak Clara ketika ia ingin mendalami dunia astronomi ini. Saat itu, ITB adalah satu-satunya perguruan tinggi di Indonesia yang mempunyai Program Studi Astronomi.

Clara menyelesaikan studi sarjana pada 1989. Saat itu, lowongan kerja yang menerima lulusan astronomi terbilang sangat sedikit. Salah satu yang menerima adalah Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Lembaga pemerintah non kementerian ini menjadi tempat pertama Clara mengabdikan diri.

Dua tahun berselang, ia mendapat beasiswa S2 di Tahoku University di Jepang. Masih dalam bidang astronomi. Jepang memang terkenal akan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal itulah yang membuat ia tertarik belajar di sana. Ia mengakui orang Jepang sangat menghargai dan menghormati seniornya. Ia mengingat, dosen dan teman-temannya orang Jepang memperlakukan siswa asing dengan sangat baik. “Mereka mempunyai etos kerja dan disiplin yang tinggi, serta fokus pada pekerjaan,” ujarnya.

Setelah menyelesaikan S2 di Jepang, Clara kembali ke LAPAN. Sejak itu, ia mengambil spesialisasi sebagai peneliti di bidang fisika matahari. Dalam bidang ini, segala penelitian tentang matahari menjadi kesehariannya. Tahun 2012-2015, ia terlibat saat LAPAN memprediksi munculnya badai matahari. Ia mengingat, saat itu di masyarakat merebak isu kiamat terkait badai matahari. Kemunculan film berjudul 2012 semakin membuat bingung masyarakat tentang apa sebenarnya badai matahari. “Film itu sepertinya ilmiah, namun sebenarnya hanya hiburan saja,” ujar Clara.

Saat itu, LAPAN berupaya menjelaskan secara ilmiah fenomena badai matahari kepada masyarakat. Clara menjelaskan, berdasarkan hasil penelitian, badai matahari tidak akan langsung menghancurkan peradaban dunia. Efek langsungnya akan berdampak pada beberapa hal misalnya pada satelit dan komunikasi radio.

Clara melanjutkan, LAPAN perlu mengadakan penelitian dalam hal ini karena badai matahari juga berkontribusi terhadap perubahan iklim. Pada saat badai ini, lanjutnya, suhu bumi akan meningkat tajam dan iklim akan berubah. Dampak ekstremnya dapat menyebabkan kemarau panjang. “Akibat-akibat inilah yang perlu diketahui oleh masyarakat,” ujarnya.

Clara mengaku, setiap pengamatan yang dilakukannya memiliki kesan masing-masing. Menurutnya, pengalaman paling berkesan adalah ketika melakukan pengamatan gerhana matahari pada 26 Januari 2009 di Anyer, Banten. “Antusiasme masyarakat sekitar sangat tinggi saat itu. Saya jadi tahu, ternyata banyak masyarakat yang tertarik dengan astronomi, namun mungkin sosialisasi bidang astronomi itu sendiri masih kurang,” ungkap umat Paroki Santo Martinus, Keuskupan Bandung ini.

Impian Masa Muda
Clara lahir di Trenggalek, Jawa Timur, 9 Maret 1964. Ayahnya adalah seorang anggota TNI Angkatan Darat. Hal ini kadang mengharuskan Clara kerap berpindah-pindah tempat tinggal. Baru setelah sang ayah pensiun, ketika ia duduk di kelas III SD, keluarganya menetap di Jember, Jawa Timur.

Pekerjaan di dunia astronomi yang kini menjadi keseharian Clara memang tak jauh dari mimpi masa mudanya. Tak heran, ia sangat menikmatinya. Terkadang, ia harus sampai menginap di kantor saat pekerjaan menuntut lebih banyak waktunya. Ia mencontohkan, saat melakukan pengamatan langit malam hari, misalnya mengamati gerhana bulan atau meteor, ia harus bermalam di kantor. “Dalam acara edukasi masyarakat tentang benda-benda langit, saya mau tidak mau bermalam di kantor,” ujar bungsu dari sembilan bersaudara ini.

Tugas-tugas ke luar kota dan luar negeri juga membuat Clara sering berada jauh dari keluarga. Beruntung, ia mendapat dukungan penuh dari suami serta anak-anaknya. Clara bercerita, saat anak-anaknya masih kecil, mereka harus ikut ngantor sepulang sekolah sampai jam dinas selesai. “Mereka sangat memahami pekerjaan saya. Pernah ketika saya harus melakukan penelitian malam hari, saya ajak anak-anak saya menginap di kantor,” kenangnya.

Dalam tugasnya, LAPAN bertanggung jawab untuk mengadakan sosialisasi kepada masyarakat berkaitan dengan astronomi. Tentang lokasi “sampah antariksa” misalnya, LAPAN berusaha menjelaskan apa dan bagian mana dari Indonesia yang akan terdampak. Clara mengingat, tahun 2016 diprediksi akan ada bekas roket yang akan jatuh di wilayah Indonesia. di sini, menjadi tugas LAPAN untuk memberi arahan kepada masyarakat, ke mana mereka harus melapor jika ada sampah antariksa yang jatuh. “Masyarakat harus mengetahui penanganan yang tepat terhadap sampah antariksa, karena sampah tersebut berkemungkinan mengan dung radio aktif,” kata Clara.

Menurutnya, wilayah Indonesia memang sering dilalui sampah antariksa. Dengan teknologi yang dimiliki, LAPAN dapat melakukan pemantauan mengenai perlintasan benda asing di angkasa. Namun, LAPAN tidak bisa memprediksi di mana lokasi jatuhnya. “Sosialisasi penting agar masyarakat tau apa yang harus mereka lakukan apabila ada sampah antariksa yang jatuh di sekitar tempat tinggal mereka,” ungkap Clara.

Sosialisasi lain terkait dunia antariksa juga gencar dilakukan LAPAN, bagi pelajar dan mahasiswa. Clara menjelaskan, salah satunya dalam Festival Sains Antariksa yang diselenggarakan LAPAN setiap tahun. Clara menjelaskan, sains antariksa adalah cabang sains yang berurusan dengan daerah di luar atmosfer bumi, termasuk astronomi, astrofisika dan exobiologi. Penelitian yang menjadi fokus LAPAN, kata Clara, menyangkut fisika matahari dan fenomena di matahari yang dapat mempengaruhi cuaca dan lingkungan antariksa.

Clara Yono Yatini

Lahir : Trenggalek, 9 Maret 1964
Suami : Daniel Sumardi Tiyasno
Anak : Vincentia Ratih Gita Swari, Giovanni Binar Radityo

Pendidikan :
– SD Maria Fatima 2 Jember
– SMP Maria Fatima Jember
– SMAN 1 Jember
– S1 Astronomi Institut Teknologi Bandung
– Master Astronomi di Tohoku University

Karier :
– Kepala Bidang Matahari dan Antariksa LAPAN (2003-2010)
– Kepala Bidang Geomagnet dan Magnet Antariksa LAPAN (2010-2011)
– Kepala Pusat Sains Antariksa LAPAN (2011-sekarang)

Fr. BenediktusYogie Wandono SCJ

HIDUP NO.46 2018, 18 November 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here