Beata Clelia Merloni (1861 – 1930) : Mukjizat Cadar Ibu Saleh

497
Beata Clelia Merloni bersama anak-anak panti asuhan.
[Oaspjfloresta.blogspot.com]
3.7/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Salib yang dipikul karena cibiran dari rekan-rekannya tak menyurutkan semangat Clelia Merloni mengikuti Hati Kudus Yesus.

Hal aneh tiba-tiba saja datang di hidup Pedro Ângelo de Oliveira Filho pada14 Maret 1951. Tanpa tau sebabnya, ia merasakan sakit sekujur tubuhnya. Ia tidak bisa berjalan dan seluruh anggota tubuhnya tak dapat digerakkan. Kedua orang tuanya pun tak bisa menerka, apa gerangan penyakit yang diderita sang buah hati.

Angelina Oliva, sang ibu, lantas membawanya ke Rumah Sakit Santa Casa Misericordia, de Ribeirao Preto, Sao Paolo. Setelah dilakukan pemeriksaan, dokter mendiagnosa Pedro menderita Sindrom Guillain-Barré atau radang polineuropati demielinasi. Penyakit peradangan ini menyebabkan kerusakan sel saraf di tubuh Petro. Harapan bagi Pedro untuk sembuh semakin kecil, ketika diketahui terjadi kenaikan sel darah putih pada cairan otaknya. Alhasil, ia pun mengalami kelumpuhan. Di sinilah, para dokter angkat tangan atas hidup Pedro.

Di dalam situasi ini, Olivia tergerak mendatangi sebuah biara yang terletak di dekat rumah sakit. Oliva ingin meminta seseorang berdoa demi kesembuhan putranya. Ia pun pergi ke biara itu dan bertemu Sr Adelina Alves Barbos ASCJ. Melihat air mata yang keluar dari mata seorang ibu, Sr Alves pun segera pergi ke rumah sakit untuk melihat apa yang dialami Pedro. Di sana, ia berdoa dan mencelupkan selembar kain cadar ke dalam air. Meski kesulitan membuka mulut, Pedro akhirnya dapat menelan air itu. Setelah itu, Sr Alves memberi secangkir susu. Pedro pun meminumnya tanpa masalah. Saat itu, Pedro benar-benar sembuh dari sakitnya

Rasa Heran
Oliva yang menyaksikan anaknya selama dua minggu tidak bisa berjalan lalu mengalami mukjizat kesembuhan berkat cadar itu pun bersaksi ke mana-mana. “Semua orang kagum dengan kesembuhan ini. Dokter pada pagi hari pun merasa heran dengan penyakit Pedro. Ia terus membaik dan dalam tiga minggu dapat berjalan dengan normal tanpa sakit sedikitpun.”

Cerita soal kesembuhan Pedro tersebar di seluruh daratan Brazil khususnya wilayah Sao Paolo. Orang mulai bertanya-tanya tetang “cadar” yang mampu menyembuhkan. Cadar itu ternyata biasa dipakai Sr Clelia Merloni selama hidupnya. Tak lama berselang banyak orang sakit pun menyemut di depan biara itu untuk bisa meneguk air celupan cadar milik pendiri Kongregasi Murid-murid Hati Kudus Yesus (The Congregation of the Apostles of the Sacred Heart of Jesus/ASCJ) itu. Mereka berharap bisa mendapatkan anugerah kesembuhan.

Sayang, otoritas Kongregasi Murid-murid Hati Kudus Yesus tak membuka kemungkinan untuk mukjizat lain terjadi. Ada pertimbangan lain untuk tidak mengkultuskan “cadar” peninggalan berharga itu. Mukjizat kesembuhan Pedro menjadi rahmat tersendiri bagi komunitas ASCJ, sekaligus pembukaan gerbang proses penggelaran kudus bagi Sr Clelia.

Wanita Hebat
Clelia adalah satu dari sekian wanita di Forlì, Italia yang beruntung dalam pendidikan. Sebab di zaman itu, banyak wanita Italia yang tidak punya akses di bidang pendidikan. Perang Kemerdekaan Italia (1848-1866) telah menghancurkan negeri ini. Dalam dekade ketiga perang banyak sekolah hancur dan tak ada yang tersisa.

Pasca perang, banyak orang berjuang mendapatkan pemulihan psikologis dan material. Bagi Gioacchino Merloni dan Teresa Brandinelli, kedua orangtua Clelia, pendidikan anak menjadi prioritas. Mereka memasukan Clelia di sebuah sekolah di Savona. Kelahiran Forlì 10 Maret 1861 ini terdidik dengan baik sejak kecil. Pendidikan karakter sebagai keturunan bangsawan membuat Clelia bertumbuh menjadi gadis yang ramah, tegas dalam sikap dan mencintai kesalehan.

Sedangkan dalam hidup rohaninya, Clelia belajar daru Uskup Forlì-Bertinoro Mgr Pietro Paolo Trucchi CM (1807-1887). Mgr Paolo sangat memperhatikan kehidupan rohani umat Forlì, lebih-lebih pendidikan iman anak-anak. Salah satu reksa pastoral unggulannya adalah pendampingan anak usia dini. Banyak sekolah setara Paud dibangun untuk menunjang mutu pendidikan di Forlì.

Di tahun 1864, sang ibu meninggal dunia lalu sang ayah menikah lagi dengan Maria Giovanna Boeri. Karena kesibukan pekerjaan, Gioachhino hampir tidak punya waktu bersama Clelia. Peran orang tua dialihkan kepada kedua nenek dari ibu kandung dan ibu tirinya. Dalam didikan dua wanita paruh baya ini, Clelia menemukan panggilannya. Kematangan intelektual ditunjang hidup rohani yang baik membuat ia ingin menjadi biarawati. Kedua nenek Clelia terus memberikan pendampingan kepada Clelia. Mereka berjuang agar Clelia mendapatkan pengetahuan agama yang seimbang.

Di saat panggilan biarawati menggorogoti batinnya, sang ayah terus mendewakan kekayaan. Ia tidak lagi peduli pada panggilan Clelia. Ia bahkan bergabung dalam kelompok anti-klerikal yaitu kelompok di Italia.

Bukannya bersyukur, Gioachhino malah menyalahkan kedua nenek yang merawar Clelia. Ibarat air susu dibalas air tuba, kedua mertuanya diusir dari kediaman Gioachhino. Situasi ini lebih buruk ketika Maria memilih hidup dengan orang lain dan bercerai dengan Gioachhino. Bersama sang ayah, Clelia kerap kali disiksa. Clelia akan dipaksa berlutut berjam-jam di atas kerikil ketika ketahuan membaca Alkitab. Sang ayah menyingkirkan segala sesuatu yang berhubungan dengan iman Kristen.

Jalan Panggilan
Clelia tak putus asa. Ia terus berdoa agar suatu ketika sang ayah bertobat, dan itu terjadi. Menjelang kematiannya, sang ayah bertobat dan berdamai dengan Tuhan. Tahun 1865, Gioachhino meninggal dunia dan mewariskan seluruh harta kepada Clelia. Dalam kebebasan spiritual itu, Clelia memutuskan bergabung dengan Kongregasi Suster Santa Maria della Divina Provvidenza-sebuah tarekat yang didirikan oleh Santo Luigi Guanella di Como. Dalam masa pembinaan itu, Clelia sangat tertarik dengan spiritualitas Hati Yesus. Ia menemukan bahwa darah Yesus adalah simbol pembaruan hidup manusia.

Ragam pembaruan ini diartikan Clelia sebagai salah satu cara membuka diri pada pelayanan. Kekakuan biara yang sarat aturan tidak menjadi alasan bagi Suster Clelia untuk ingin mendirikan kongregasi baru. Tarekat ini berangkat dari semangat Hati Yesus yang Maha Kudus. Pada 30 Mei 1894, bersama tiga sahabatnya termasuk Sr Giuseppina D’Ingenheim mereka mendirikan Tarekat ASCJ. Setelah itu mereka juga membuka sekolah untuk anak-anak kecil, panti jompo, panti asuhan. Pembangunan ini dengan dana dari warisan Gioachhino.

Lambat laun karya ini terus berkembang meski mengalami banyak tantangan. Pada awal berdirinya, mereka pernah ditipu seorang imam di Piacenza. Ketika itu, Uskup Piacenza Mgr Giovanni Battista Scalabrini membantu dengan menyuntik sejumlah dana bagi perkembangan tarekan yang baru “seumur jagung” ini. Mgr Battista jugalah yang mengizinkan komunitas yang baru didirikan ini.

Hanya butuh waktu enam tahun, Tarekat ASCJ mampu mengirim enam suster untuk memulai karya di Sao Paolo, Brazil pada 10 Agustus 1900. Sekitar tahun 1903, sedikitnya sudah ada 30 biara dan 200 anggota yang terdaftar. Sr Clelia terus berkonsultasi dengan berbagai pihak. Ia tidak lagi menuduh dan menyalahkan siapa saja yang ambil andil di masa lalu biara ini. Ia terus merancang konstitusi untuk tarekatnya. Pada 28 Februari 1904, dengan keputusan Vatikan, Sr Clelia diturunkan dari jabatannya sebagai Superior General. Tahta Suci lalu mengangkat Sr Marcelline Vigano menggantikannya. Kendati begitu ia tetap dikenang sebagai pendiri tarekat ini.

Sr Clelia meninggal dunia pada 21 November1930. Ia dimakamkan di Campo. Jazadnya lalu dipindahkan ke rumah induk tahun 1945. Pada 25 Oktober 2015, Komisi Penggelaran Kudus mengkonfirmasi mukjizat dengan yang berkaitan dengan Sr Clelia. Pada 1 Desember 2016, Paus Fransiskus menandatangani dekrit beatifikasi Sr Clelia. Tanggal 27 Januari 2018 keluar keputusan untuk beatifikasi Beata Clelia di Basilika Santo Yohanes Lateran, 3 November 2018 lalu.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.46 2018, 18 November 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here