Mona Sugianto : Berproses Bersama Klien

1102
Mona Sugianto.
[HIDUP/Elisabeth Chrisandra J.T.D.]
3.6/5 - (8 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Ia membangun pelayanan psikologi Ad Familia Indonesia. Menurutnya, pendampingan harus dimulai dari keluarga.

Mona Sugianto mulai tertarik pada “dunia manusia” saat duduk di kelas tiga SD Yos Sudarso, Bandung, Jawa Barat. Pada saat itu, ia senang memerhatikan orang yang sedang mengantre untuk menyambut Komuni Kudus. Ia bertanya-tanya, apa yang terjadi setelah orang menyambut Komuni. Apakah mereka sedih, senang, takut, atau apa?

Boleh jadi sebab pertanyaan inilah, Mona akhirnya terpanggil menjadi seorang psikolog. Dalam benaknya, dengan profesi ini ia dapat memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam diri manusia, sebab dari apa yang terlihat, belum tentu itu menjadi gambaran manusia seutuh-utuhnya.

Minat itu kemudian mendapat jalan untuk diwujudkan setelah lulus SMA. Ia diterima menjadi mahasiswi di Fakultas Psikologi Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta. Dari situ, ia semakin mantap untuk menjadi penolong kesehatan mental manusia.

Ad Familia
Setelah meraih gelar psikolog, lingkup kerja Mona terutama berhubungan dengan sumber daya manusia. Ia banyak memberi pelatihan mulai dari direktur, pejabat, hingga para tahanan, dan pasien rumah sakit jiwa.

Namun, hal ini ternyata belum memuaskan panggilan hati Mona untuk berbuat lebih banyak bagi manusia. Ia berkeinginan membangun sebuah pusat layanan psikologi. Setelah berdiskusi dengan sang suami, Mikael Candratua, sang suami setuju mendukung Mona untuk mewujudkan impian ini.

Setelah menyelesaikan sarjana, Mona memberi pendampingan bagi anak-anak di Panti Asuhan Vincentius Putri di bilangan Otista, Jakarta Timur. Di sinilah, ia bertemu dengan dua orang baik hati yang bersedia membantunya membangun layanan konseling. Layanan ini pun akhirnya terbentuk dengan nama Ad Familia Indonesia (AFI). “Ad familia” sendiri bermakna ‘menuju keluarga’. Dengan nama ini, Mona ingin mengungkapkan bahwa pendampingan harus dimulai dari keluarga.

Atas bantuan dari salah seorang yang ia jumpai di Panti Asuhan Vincentius Putri itu, Mona dapat menempati sebuah ruko empat lantai di Kelapa Gading, Jakarta Utara, untuk menjadi markas AFI. AFI pun resmi berdiri pada 2012, setahun setelah Mona menyelesaikan program magister.

Dalam perjalanannya, AFI menyediakan lima jenis layanan unggulan, yakni: pertama, Psikolog Sahabat Keluarga atau PSI-Saga yang dikhususkan untuk individu dan keluarga. Kedua, AFI Profesional yang berkaitan dengan organisasi dan dunia kerja. Ketiga, AFI Cendekia untuk sekolah dan universitas. Keempat, AFI Community untuk panti asuhan dan lembaga sosial-kemasyarakatan. Serta kelima, AFI Publik untuk masyarakat.

Mendapatkan tempat pelayanan bukan berarti tantangan pun tidak berhenti seketika. Mona harus memutar otak untuk menutup biaya operasional. Awalnya, ia memakai gaji sang suami untuk menggaji karyawan-karyawan. Pendapatannya sendiri juga dipakai membantu biaya operasional. Butuh waktu lima tahun bagi AFI untuk mandiri.

Terbaik dan Terburuk
Pasien perdana AFI adalah seorang remaja depresi yang putus sekolah saat kelas dua SMA. Mona menceritakan, saat datang ke kantor, anak tersebut selalu menghindari tatapan mata. Remaja itu bahkan tidak mau difoto dan ingin dipanggil dengan nama lain. “Rambutnya menutupi wajah seperti Sadako si hantu Jepang. Persis,” tuturnya.

Mona mendampingi anak tersebut selama berbulan-bulan sampai akhirnya lulus sarjana. Perubahan itu terasa sangat luar biasa bagi Mona. Belakangan, anak itu masih membantu Mona di lembaga Lentera Anak Pelangi. Sebuah tempat pelayanan bagi anak dengan HIV-AIDS yang mengalami depresi. “Dia salah satu orang yang saya andalkan untuk membantu
mendampingi,” ungkapnya.

Di lain kesempatan, Mona didatangi klien yang hendak menggugurkan bayi yang tengah dikandungnya. Mona bermaksud mengantar klien itu kepada Suster-suster Gembala Baik yang mempunyai pelayanan bagi perempuan-perempuan yang hamil di luar nikah. Namun sayang, belum dua minggu setelah pertemuan itu, klien itu menelepon dan memberi tahu Mona, ia mengaku baru saja menggugurkan janinnya. “Saya sangat kaget dan sedih. Saya tidak tahu lagi harus bagaimana,” kenang Mona.

Mona kecewa pada kliennya itu, terlebih terhadap dirinya sendiri. Ia merasa usahanya sia-sia belaka. Namun, pengalaman-pengalaman berjumpa dengan klien-klien seperti itu, memberi kesempatan untuk melihat manusia dalam sisi terbaik dan terkelam. Tak sekadar melihat, ia juga turut berproses bersama klien. Tak jarang, proses tersebut juga menyedot energinya secara emosional.

Pusat Belas Kasih
Saat ini, Mona sedang mengambil program doktoral di Universitas Padjajaran, Bandung. Dalam disertasinya ia meneliti tentang belas kasih. Menurutnya, belas kasih merupakan respons seseorang untuk mengurangi dan menghilangkan penderitaan orang lain. Belas kasih erat kaitannya dengan dunia Mona. Rencananya, ia juga akan bertemu dengan Dalai Lama, pemimpin spiritual Tibet, setelah menyelesaikan program doktoralnya itu.

Berhadapan dengan orang-orang yang memiliki masalah, Mona meyakini, ia harus punya pengertian yang cukup. Untuk itu, ia terus berusaha mengembangkan pemahamannya pada dunia psikologi klinis. “Apa yang bisa saya lakukan untuk mengatasi penderitaan-penderitaan itu. Kenapa itu ada?” kata psikolog klinis yang rutin menjadi pembicara dalam program KLIKMONA Radio Sonora Bandung ini.

Disertasi ini akan bertransformasi menjadi sesuatu yang nyata bentuknya. Mona berencana membangun compassion center, layanan belas kasih yang akan menjadi pelayanan keenam AFI. Pelayanan ini sekaligus menjadi wadah penelitian, pelatihan, penilaian, dan terapi belas kasih di Indonesia.

Dalam aktivitasnya di AFI, Mona juga telah berkorespondensi dengan pemimpin pusat penelitian dan edukasi belas kasih dan altruisme yang menjadi bagian dari Universitas Stanford, Amerika Serikat. Ia membandingkan hasil penelitian yang ia lakukan dengan kajian di lembaga itu. Nantinya, kajian itu akan diterbitkan juga dalam jurnal
internasional.

Belas kasih rasanya menjadi tema yang istimewa bagi Mona. Ia bahkan berencana menulis sebuah buku tentang belas kasih. Dengan ini, ia berharap tema “belas kasih” dapat mudah diakses oleh pembaca Indonesia. “Kalau kita berfokus untuk mengurangi penderitaan orang lain, justru kita lebih sehat, lebih kuat,” tutur umat Paroki Maria Bunda Segala
Bangsa Cileungsi, Jawa Barat ini.

Mona Sugianto

Lahir : Jakarta, 15 Oktober 1978

Pendidikan :
– S1 Psikologi Unika Atma Jaya (1997-2001)
– Magister Profesi Psikologi (Klinis) Unika Atma Jaya Jakarta (2009-2011)
– Kandidat Doktor (S3) di Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran Bandung
(2016-sekarang)

Karier :
– Trainer dan Konsultan Pendidikan
– Founder dan Managing Director Ad Familia Indonesia
– Psikolog Klinis Ad Familia Indonesia

Publikasi :
Heaven on Earth: Potret Kehidupan Manusia Yakin Waras? Potret Ironi Hidup Manusia

Elisabeth Chrisandra J.T.D.

HIDUP NO.48 2018, 2 Desember 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here