Pastor Laurence Freeman OSB : Menciptakan Damai Lewat Meditasi

550
Pastor Laurence Freeman OSB.
[HIDUP/Antonius Bilandoro]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Keutamaan sang guru dan meditasi menuntun langkahnya menjadi rahib. Lewat meditasi, dia membangun jembatan relasi dan komunikasi antariman.

Sama sekali tak ada dalam benak Pastor Laurence bahwa dirinya bakal menjadi rahib. Sejak kecil, pria yang lahir dan besar di Kensington serta Wimbledon itu sudah memiliki beragam cita-cita. Dia ingin menjadi polisi, novelis, astronot, profesor, atau bahkan pengemudi taxi. Mungkin karena punya impian sebagai penulis novel, Laurence mengambil jurusan sastra Inggris. Dia alumnus New College, Oxford.

Soal memilih cita-cita, orangtua Laurence, yang beragama Katolik dan penganut agnostik, tak pernah memaksakan kehendak mereka kepada buah hatinya itu. Kata Laurence, mengutip perkataan orangtuanya, asalkan dia berbuat baik serta gembira dengan pilihannya, mereka merasa bahagia.

Ternyata, dari sejumlah cita-cita masa kecilnya, tak ada satu pun yang terealisasi. Dia sempat bekerja di salah satu lembaga milik Perserikatan Bangsa-Bangsa. Selanjutnya, penyuka dunia fotografi itu bekerja di bidang perbankan dan jurnalistik. Namun, pekerjaan itu dia tanggalkan selang beberapa waktu kemudian setelah mengikuti retret.

Murid Rahib
Khalwat tersebut mengenai meditasi dasar dalam hidup harian. Retret yang diikuti Laurence berlangsung selama enam bulan. Ketertarikan Laurence dengan praktik meditasi tumbuh berkat bimbingan Pastor John Douglas Main OSB (1926-1982). Pastor John merupakan salah satu rahib yang menemukan kembali meditasi menurut tradisi Kristiani dan membawanya ke luar tembok-tembok biara.

Laurence pertama kali berjumpa dengan Pastor John saat di sekolah menengah. Dia adalah siswa di lembaga pendidikan milik Ordo Benediktin. Dan Pastor John adalah salah satu guru di sana. Sejak awal bertemu dengan Pastor John, Laurence sudah terkesan dengan kepribadian gurunya itu. “Apa yang dia (Pastor John) katakan membangkitkan keingintahuan saya akan pengalaman yang lebih dalam tentang Tuhan,” ujarnya, saat ditemui di aula Gereja St Theresia Menteng, Keuskupan Agung Jakarta, pertengahan November lalu.

Laurence tak menampik, dirinya sempat punya pandangan keliru tentang meditasi. Sebelum mengenal meditasi, dia beranggapan, praktik doa tersebut identik dengan pola ibadat agama Buddha atau Hindu. Tapi, pandangan itu berubah sejak Pastor John membimbingnya.

Pada akhirnya dia mengakui, meditasi juga merupakan salah satu cara berdoa Kristiani. “Kita memiliki ajaran yang sangat mendalam dan kaya tentang meditasi. Jika melihat Yesus, Anda dapat mengetahui bahwa Dia adalah guru kontemplasi,” kata penyuka buku Shakespeare dan film The Great Escape ini.

Keteladanan Pastor John serta bimbingan meditasi darinya ternyata membawa perubahan besar bagi hidup dan karya Laurence. Dia terpanggil menjadi rahib. Padahal, saat itu ada beberapa pekerjaan yang digelutinya, antara lain: staf di salah satu lembaga Perserikatan Bangsa-Banga, perbankan, dan jurnalistik. Ia meninggalkan semua itu. “Seorang manusia (Pastor John) yang luar biasa dan bijaksana. Tanpa dia, mungkin saya tak ada di sini (sebagai rahib),” ungkap Pastor Laurence, ketika diwawancarai Financial Times.

Melanjutkan Karya
Sebelum memutuskan pilihan untuk menjadi rahib, sempat terlintas di benak Laurence bahwa dirinya ingin bergabung dengan Serikat Jesus. Tapi, keinginan tersebut dia urungkan. “Saya pikir orientasi sosial terdalam saya adalah hidup doa,” tuturnya, beralasan

Begitu masuk novisiat, Laurence bertemu kembali dengan Pastor John. Mantan gurunya di sekolah menengah adalah pembimbing rohani bagi para novis. Seiring waktu, Laurence turut membantu sang guru mendirikan Pusat Meditasi Kristiani di London. Lembaga yang berdiri pada 1975 merupakan yang pertama berdiri di Negeri Ratu Elisabet.

Laurence juga menemani dan ikut membantu Pastor John mendirikan komunitas kecil Benediktin di Kanada. Komunitas yang terdiri dari para rahib dan awam bertujuan untuk mengembangkan praktik meditasi. Komunitas yang berdiri tahun 1977 itu merupakan respons atas undangan Uskup Agung Montreal, Québec waktu itu, Mgr Paul Grégoire.

Selain ikut menemani sang guru dan membantu perkembangan komunitas meditasi di luar tembok biara, Frater Laurence mengambil studi teologi di Universitas Montreal dan Universitas McGill. Tahun 1979, penyuka karya-karya komponis sekaligus musikus handal Johann Christian Bach itu, mengikrarkan kaul kekal kerahiban. Setahun kemudian, Frater Laurence menerima tahbisan imamat.

Sejak Pastor John meninggal, Pastor Laurence melanjutkan karya mantan guru sekaligus pembimbing rohaninya itu. Dalam wawancara dengan sebuah media Bosnia, Svjetlo Rijeci, Pastor Laurence sempat bertanya kepada Pastor John, apa yang harus dia lakukan? Sambil tersenyum, Pastor John berkata singkat kepadanya, “Kamu melakukan apa yang harus kamu lakukan,” kenang Pastor Laurence.

Dia amat memahami maksud guru dan sahabatnya itu. Pastor Laurence terus mengajar dan membimbing latihan meditasi kepada komunitas-komunitas meditasi Kristiani yang mulai berkembang di seluruh dunia. Salah satu murid bimbingan meditasinya adalah Bapak Pendiri sekaligus Perdana Menteri pertama Singapura, Lee Kuan Yew.

Tahun 1991, Pastor Laurence mendirikan Komunitas Mondial Meditasi Kristiani (The World Community for Christian Meditation/WCCM). Komunitas yang berbasis di Inggris, kini tersebar di 100 negara. Khusus di Indonesia, terdapat 136 komunitas meditasi Kristiani. Komunitas-komunitas tersebut terdapat di Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Flores, Bali, dan Lombok.

Jembatan Dialog
Saat ini, selain menulis dan mengajar meditasi Kristiani kepada komunitas-komunitas di seluruh dunia, Pastor Laurence juga getol membimbing dan mempromosikan meditasi bagi anak-anak.

Selain itu, meditasi juga menjadi sarana bagi Pastor Laurence untuk membangun “jembatan” komunikasi dan relasi antariman, salah satunya dengan Dalai Lama lewat program Jalan Damai. “Kita harus memenuhi panggilan Roh: berdialog, menciptakan jembatan dan persatuan di antara orang-orang di dunia yang terbagi. Kita harus mengetahui persamaan setiap manusia. Meditasi membawa Anda pada kesamaan itu,” ujar Direktur Komunitas Mondial Meditasi Kristiani ini.

Antonius Bilandoro/Yanuari Marwanto

HIDUP NO.49 2018, 9 Desember 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here