Natal di Hati Kaum Transpuan

365
Mami Yulie (mengenakan blazer berwarna hijau army) bersama komunitas transpuan di depan rumah singgah.
[HIDUP/Hermina Wulohering]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – “Natal tetap terasa menyenangkan meski tak bersama keluarga. Sebab, banyak teman (transpuan) yang datang (ke rumah singgah),” ujar Oma Yotie.

Hari Raya Kelahiran Sang Juru Selamat tinggal menghitung hari. Sejak pagi, Yopie Uktolseya terlihat sibuk di kediamannya, yang berada di Gang Golf, Cinere, Depok, Jawa Barat. Ia menyapu lantai, membersihkan sarang laba-laba, melap jendela dan perabotan rumah, hingga mengganti kain korden. Karena Natal akan segera tiba, ia memasang pohon dan pernak-pernik Natal di sana.

Oma Yotie, sapaannya, tak sendiri di sana. Pada hari itu, Jumat, 7/12, ada sekitar tiga puluh orang berada di dalam rumah berkelir biru itu. Sementara, pada hari lain, hanya belasan orang saja di sana. Jumlah orang yang datang dan tinggal di tempat itu selalu berubah-ubah. Karena itu bangunan tersebut dinamakan rumah singgah. Mereka yang berada di sana adalah kaum transpuan (waria).

Suasana rumah singgah menjadi lebih meriah pada bulan Desember. Biasanya dua atau tiga hari setelah Natal (25 Desember), Ketua Forum Komunikasi Waria se-Indonesia (FKWI), Yulianus Rettoblaut, menggelar open house bagi seluruh anggota komunitasnya maupun warga sekitar. “Biasanya kami mengadakan open house setelah 25 Desember. Sebab, pada hari itu, saya dan teman-teman transpuan pergi ke gereja dan ada kegiatan di sana,” ujar Mami Yulie, sapaannya, saat ditemui di wilayah Jakarta Barat, Kamis, 29/11.

Menu Berbeda
Menjelang acara open house Natal, Oma Yotie bersama seorang rekan transpuan, Beni Oetomo, akan beroperasi di dapur. Mereka berbagi peran. Oma Yotie akan mengolah ayam, memasak capcay, mie, dan aneka masakan “berat” lain. Sementara Beni akan membuat aneka jenis kue. “Menu Natal harus ada beda dong. Kalau setiap hari kami makan tempe dan ikan asin. Hari raya kami makan ayam atau daging,” ujar kepala rumah tangga di rumah singgah itu.

Menurut transpuan berdarah Ambon kelahiran Bogor, 14 Juli 1943 itu, uang belanja untuk berbagai kebutuhan pokok didapat dari Mami Yulie. Jadi, beberapa hari sebelum acara tersebut berlangsung, Mami Yulie akan datang dan memberikan uang kepada Oma Yotie. “Saya tak tahu dari mana Mami Yulie mendapatkan uang, silakan tanya langsung kepadanya. Tugas saya hanya memasak,” ungkapnya.

Natal senantiasa membawa kedamaian dan kebahagian bagi Oma Yotie. Pada saat seperti itu, ia bisa berkumpul bersama rekan-rekan transpuan lain, berbagi cerita, suka, dan duka. Susasana seperti itu, boleh jadi untuk merawat kenangan masa lalunya. Saat ia masih bisa berkumpul dan merayakan Natal bersama keluarga.

Kegiatan wajib lain keluarga, lanjut Oma Yotie, adalah pergi ke gereja bersama. Kebetulan ayah Oma Yotie merupakan pengurus gereja. Namun, tahun 1963, merupakan Natal terakhir Oma Yotie bersama keluarga. “Aku pergi dari rumah karena diusir,” kenang anak polisi ini.

Yotie sama sekali tak tahu bakal menjadi transpuan. Namun, ia merasa memiliki hasrat menjadi seorang perempuan sejak kecil. Ia mengatakan sering digoda oleh bawahan ayahnya. “Aku kalau lewat bawahan atau teman ayah, suka dicolek atau digoda,” kata Yotie.

Suatu hari, ia tertangkap basah oleh sang ibu saat sedang tidur dengan seorang lelaki, anak buah ayahnya. Setelah kejadian, seluruh keluarga berkumpul. Yopie disidang. Hari itu juga, keluarga mengusirnya dari rumah. Ia hanya membawa baju yang menempel di badan. Semenjak itu Yopie mulai menggunakan nama Yotie. Ia pun mulai mencari cara untuk dapat bertahan hidup dan mulai “menjajakan diri” di jalanan.

Dia mangkal di pelbagai lokasi, mulai Taman Anggrek Jakarta Barat, hingga Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat. Dengan kemampuan memasak, Yotie lantas mencoba bekerja di atas kapal. Ia pernah berkelana di Singapura dan Malaysia. Pada 1998, ia kembali ke Indonesia.

Yotie ingin menghabiskan masa tuanya dengan hal-hal bermanfaat, salah satunya memperhatikan dan merawat sesama transpuan lanjut usia di rumah singgah. “Natal tetap terasa menyenangkan meski tak bersama keluarga. Sebab, banyak teman (transpuan) yang datang (ke rumah singgah). Natal juga membawa damai. Sebab, Tuhan Yesus datang dan membawa kedamaian untuk semua manusia. Apakah tahun ini atau tahun depan aku masih bisa merayakan Natal? Aku tak tahu, karena rencana Tuhan berbeda dengan rencana manusia,” ujar Oma Yotie, yang pantang merokok dan minuman berakohol.

Berefleksi, Bertobat
Perasaan yang sama juga dirasakan oleh Yohanes Nong Sale, Wakil Ketua Persatuan Waria Kabupaten Sikka (Perwakas), Flores, Nusa Tenggara Timur. Dulu, komunitasnya selalu mengadakan Natal bersama. Ada ibadat, makan, dan menari bersama. Namun, kata Riebby, sapaannya, sudah tiga tahun Perwakas meniadakan acara tersebut. Kesulitan menghimpun dana menjadi alasannya.

Meski tak ada acara bersama, sukacita dan silahturahmi pada hari raya tetap terjaga. “Tiap Natal kedua (26 Desember), sejumlah transpuan berkumpul dan pergi pegang tangan (bersalaman) dari rumah transpuan yang satu ke rumah transpuan lain,” ujar Riebby, saat dihubungi, Kamis, 13/12.

Bagi Mami Yulie, Hari Raya Natal merupakan salah satu momen tersibuk dalam hidupnya. Selain “aktor” vital dalam acara open house di rumah singgah, ia juga harus menyiapkan sembako untuk warga sekitar, transpuan lansia, serta bingkisan untuk anak dan keluarga. “Saya harus bekerja keras (untuk mempersiapkan itu semua),” ujar transpuan pertama Indonesia yang memperoleh gelar magister hukum ini.

Saat open house Natal, Mami Yulie, memanfaatkan kesempatan tersebut untuk memberi edukasi kepada transpuan untuk perlahan-lahan meninggalkan aktivitas “malam” dan mengasah keterampilan positif lain untuk menunjukkan eksistensi serta pengangan hidup mendatang.

Mami Yulie bercerita, saat ini di Jakarta ada sekitar 8000 transpuan. Namun, baru sekitar 4000 transpuan yang terdata oleh FKWI. Dari jumlah tersebut, sekitar 500 transpuan beragama Katolik, 800 orang beragama Protestan, dan sisanya beragama Islam. Mayoritas transpuan terasing dari keluarga lantaran diusir.

Perlakuan itu sempat dirasakan oleh Mami Yulie. Keluarga mengusirnya karena diprovokasi oleh orang sekitar rumah. Semula, keluarga menggap Mami Yulie sebagai pria lemah. Sehingga ia tak dibebani dengan pekerjaan berat. “Istilah waria saya tahu saat tiba di Jakarta. Waktu itu, kami tak mengenal istilah itu,” kenang kelahiran Famborep, Asmat, Papua ini.

Natal terakhir yang ia rasakan bersama orangtua dan saudara tahun 1975. Ia baru berusia 14 tahun waktu itu, sebelum pergi lantaran diusir. Ia mengaku, tiap Natal, ada acara makan bersama. Mereka menyembelih babi dan mendapat kado dari orangtua. “Saya selalu mendapat kado paling bagus dari orangtua. Mereka juga amat menyayangi saya,” kata anak ketujuh dari sebelas bersaudara itu.

Bagi Mami Yuli, selain membawa sukacita dan kedamaian, Natal menjadi kesempatan baginya untuk berefleksi dan bertobat. “Saya harus memperbarui diri, membawa damai, dan memotivasi setiap orang. Seperti Yesus yang lahir ke dunia untuk menyatu dan menyelamatkan hidup manusia,” pesan pendiri rumah singgah pertama untuk transpuan di dunia ini.

Menerima Keberadaan
Paus Fransiskus dalam pesan Natalnya tahun 2016, mengatakan Natal bukan sekadar perayaan seremonial. Natal menjadi pengingat bahwa masih banyak orang yang dilanda penderitaan. Pasalnya, kata Paus, banyak manusia saat ini tidak memiliki keistimewaan seperti Yesus yang begitu dicintai. Justru sebaliknya. Paus menilai manusia saat ini menderita dalam jurang nestapa yang mengikis martabat. Karena itu, Paus mengajak umat Katolik di seluruh dunia untuk meningkatkan kepedulian kepada mereka yang sulit mendapatkan ketentraman dan keamanan.

Kondisi seperti itu dialami oleh kaum transpuan, salah satunya. Salah satu cara sederhana yang bisa dilakukan, menurut Ketua Persekutuan Doa Bunda Teresa, Irene Sheila Harjanto, adalah menerima keberadaan dan merangkul mereka sebagai sesama manusia.

Sikap tersebut juga ditunjukan oleh tiga umat dari Paroki St Agustinus Karawaci Tangerang, Keuskupan Agung Jakarta, yakni Lauresia Sarmi, Brigitta Dwiyana Taurisia, dan Bernadette Ayen. Mereka datang ke rumah singgah, mendengar cerita, dan berbagi sukacita dengan merka. “Kalau bukan kita yang merangkul, siapa yang harus kita tunggu untuk tergerak hatinya?,” tanya Sarmi, retoris.

Yanuari Marwanto/Hermina Wulohering

HIDUP NO.50 2018, 23 Desember 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here