Natal : Yesus, Bukan Sinterklas!

875
4.4/5 - (7 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Saat Natal tiba, ingatan setiap orang, apalagi anak-anak, tak bisa lepas dari sosok Sinterklas. Seorang kakek dengan janggut putih dan baju merah. Sinterklas selalu dikaitkan dengan Natal. Sosoknya sendiri tidak ada dalam Kitab Suci. Siapa sebenarnya Sinterklas itu? Lalu, bagaimana Gereja Katolik berpandangan tentang hal ini?

Trian Susilo, Tangerang, Banten

Tentu figur Sinterklas bukanlah figur dari masa Yesus, apalagi figur yang hadir pada saat kelahiran Yesus, maka figur itu tidak akan ditemukan dalam Kitab Suci, pun dalam teks-teks apokrif dalam tradisi awal Gereja. Akan tetapi figur itu kini semakin menghiasi peristiwa Natal, walau sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali.

Sosok yang digambarkan sebagai Sinterklas adalah Santo Nikolaus dari Myrna (daerah Turki dewasa ini). Dia dikenal sebagai uskup yang banyak menolong orang miskin dan bahkan di banyak kawasan dia dijadikan sebagai pelindung anak-anak. Dikatakan dia hidup di sekitar abad 4, dan secara liturgis dia diperingati pada tanggal 6 Desember. Relikui Santo Nikalaus sekarang disemayamkan di Bari, Italia, sehingga kota itu menjadi salah satu tempat ziarah terkenal bagi orang-orang dari Rusia, sebab Nikolaus sangat terkenal di sana, malahan dipandang sebagai salah satu pelindung Rusia.

Ada pula kisah bagaimana Nikolaus menggalang bantuan untuk rakyat di kawasan Asia kecil yang sedang dilandai kekeringan dan kelaparan. Dia lalu mengumpulkan banyak kantong-kantong gandum. Namun iblis bersembunyi di beberapa kantong gandum tersebut. Nikolaus segera memberkati kantong-kantong itu, dan iblis yang berwajah hitam itu kemudian bertobat dan menjadi pembantu setia Uskup Nikolaus. Dari kisah ini kemudian kita kenal sosok Piet hitam dan cerita Sinterklas.

Dari sini kemudian muncul tradisi di beberapa negara, bahwa pada tanggal 5 Desember sore ada festival Nikolaus. Pesta ini menarik bagi anak-anak, karena lalu mereka menunggu ada hadiah untuk mereka dari Nikolaus. Tidak jarang anak-anak sampai tidak bisa tidur, karena membayangkan apa yang akan didapatkannya esok hari, tanggal 6 Desember pagi, entah di kaos kakinya atau di dekat tungku pemanas rumah. Di Belanda tokoh ini dikenal dengan nama Sinterklas (kiranya dari pengucapan Saint Claus). Menurut cerita, orang-orang Belanda lah yang membawa tradisi ini ke Amerika: pesta Sinterklas membagi-bagi hadiah kepada anak-anak, dengan Piet hitam.

Karena pesta atau festival ini lebih menarik bagi anak-anak, maka lalu 6 Desember menjadi lebih mereka nantikan daripada tanggal 25 Desember, maka kemudian pesta pembagian hadiah untuk anak-anak dipindahkan ke tanggal 25 Desember, bukan lagi 6 Desember. Akan tetapi, sosok Sinterklas tetap tidak bisa hilang. Apalagi sosok ini lebih komersial, layak jual, daripada bayi Yesus. Komersialisasi Natal, akibatnya, lebih menggunakan simbol Nikolaus, daripada Yesus. Di sini hukum dagang yang berlaku.

Akan tetapi, kita perlu ingat akan dimensi penting dalam perayaan Natal yang mudah dan sering kita lupakan. Natal berbicara tentang pemberian diri, “Seorang Anak diberikan kepada kita” (Yes 9:5), sebab karena kasih-Nya, Allah menganugerahkan Putera-Nya kepada kita (lih Yoh 3:16). Oleh karena itu, Natal berbicara pula tentang makna atau nilai solidaritas: Allah berkenan menjadi manusia dan bagi keselamatan kita. Salah satu wujud nyatanya adalah tindak solidaritas kepada mereka yang miskin, bahwa Dia yang kaya telah rela menjadi miskin (lih 2 Kor 8:9), sebab Allah adalah kasih maka kasih akan Dia nyata dalam kasih kepada sesama (lih 1 Yoh 4:7-21). Sinterklas yang membagi-bagikan hadiah mengingatkan kita akan makna atau nilai penting dari peristiwa kelahiran Yesus adalah belarasa dan kepedulian kepada mereka yang miskin, yang menderita dan membutuhkan. Akan tetapi, jangan sampai pusatnya lalu malahan Sinterklas, bukan kemurahan hati Allah yang memberikan diri-Nya sendiri lewat Putera-Nya.

Apakah Natal membutuhkan Sinterklas? Sebenarnya tidak. Natal berkisah tentang Yesus Kristus, bukan tentang Nikolaus, ataupun Sinterklas. Bahwa itulah yang dijual oleh pusat-pusat pembelanjaan, untuk memancing gairah belanja dan naluri konsumtif, kita tidak bisa menolak itu. Akan tetapi kita perlu hati-hati, agar kita pun tidak terjebak ke dalam budaya konsumsi atau jualan budaya sekular tentang Natal. Bisa jadi kita pun menampilkan sosok Nikolaus dalam peristiwa Natal, terlebih saat Misa atau pesta anak-anak. Kalau tidak dicermati, kita lalu tidak mewartakan Natal, karena sosok Sinterklas lebih menarik bagi anak-anak. Kalaupun ada sosok itu, bagaimana lalu Natal tidak disalahpahami dan seakan lebih menggambarkan kisah manipulatif: kelahiran Sinterklas.

Karena Natal bicara pula tentang solidaritas untuk berbagi, bagaimana lalu lebih menghidupkan, sebagai misal, tradisi memberi kado Natal kepada bayi Yesus, yang diletakkan di palungan, yang kemudian kado itu dibagikan kepada anak-anak yang kurang beruntung. Tidak perlu Sinterklas untuk mengajarkan hal ini. Natal: Yesus, bukan Sinterklas!

T. Krispurwana Cahyadi SJ

HIDUP NO.52 2018, 30 Desember 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here