Menjawab Krisis Panggilan

894
4/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Minggu 10 Februari 2019, Minggu Biasa V Yes 6:1-2a, 3-8; Mzm 138:1-2a, 2bc-3, 4-5, 7c-8; 1 Kor 15: 1-11; Luk 5:1-11.

“Bukan hanya ibu, tetapi seluruh keluarga, lingkungan, suasana dan pendidikan iman memiliki pengaruh besar untuk berkembang-tumbuhnya panggilan”

PADA hari Minggu Panggilan yang diadakan setiap tahun di dalam Gereja, muncul cerita yang menarik. Pada waktu itu dianjurkan umat berdoa agar semakin banyak kaum muda dipanggil untuk menjadi imam dan biarawan-biarawati.

Dewasa ini terjadi krisis panggilan sehingga berdoa bagi bertambahnya panggilan terasa besar urgensinya. Ada contoh menarik dari doa seorang ibu yang dengan khusyuk mohon kepada Tuhan: “Tuhan panggillah banyak kaum muda untuk bekerja di kebun anggurmu untuk menjadi imam dan biarawan-biarawati di Keuskupan kami dan untuk seluruh Indonesia. Tuhan aku mohon dengan sungguh panggillah banyak kaum muda, tetapi asal bukan anak saya”.

Kontan sindiran ini menimbulkan bahan tertawaan. Namun ada unsur penting dalam cerita ini yang patut menjadi bahan permenungan berdasarkan bacaan minggu ini. Nabi Yesaya memberikan contoh sikap yang sangat tepat dalam menjawab panggilan Tuhan. “Ini aku, utuslah aku” (Yes 6:8) Keluhan tentang mulai berkurangnya panggilan untuk menjadi imam dan biarawan-biarawati makin banyak disuarakan.

Grafik perbandingan jumlah panggilan atas jumlah yang masuk kepada tempat pendidikan calon imam, seminari, postulat dan novisiat beberapa tahun silam menunjukkan adanya penurunan. Tentu banyak faktor yang mempengaruhi dan menjadi sebab yang berpengaruh atas situasi panggilan ini.

Faktor yang sangat penting kiranya terkait dengan sikap pribadi orang beriman sendiri. Orang-orang muda yang berpotensi untuk menerima panggilan berkarya sebagai imam dan biarawan-biarawati kerap kurang memiliki kesediaan dikarenakan lingkungan kurang mendukung.

Lingkungan luas kemasyarakatan dan situasi global yang lebih mendorong kaum muda untuk lebih tertarik pada hal-hal material duniawi, dan kurang peduli pada kehidupan rohani. Juga semangat zaman yang lebih mendorong ke sikap individualistik, sehingga banyak hal dikaitkan dengan kepentingan dan keuntungan pribadi.

Semangat berkorban menjadi semakin kurang mendapat tempat dalam kehidupan sehari hari. Kesiap-sediaan Nabi Yesaya untuk berani menegaskan diri ”inilah aku” dan siap untuk diutus perlu dijadikan model beriman yang mau berserah diri kepada Tuhan.

Sebenarnya kaum muda memiliki sifat untuk berani melakukan hal-hal baru yang kadang bersifat avontur, berani menjelajah untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman baru yang seru dan menantang.

Untuk itu sabda Yesus: ”Bertolaklah ke tempat yang dalam” (duc in altum) menjadi kunci masuk untuk menapaki panggilan berkarya di kebun anggur Tuhan yang juga menantang. Tentu harus dicari cara dan strategi bagaimana panggilan dari Tuhan bisa sampai kepada mereka.

Soal panggilan untuk menjadi imam, biarawan-biarawati itu merupakan bisikan Roh Tuhan sendiri. ”Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu.” (Yoh 15:16) Namun peranan manusia juga diperlukan agar panggilan Tuhan itu bisa sampai kepada yang bersangkutan.

Contoh doa seorang ibu pada Minggu Panggilan di atas bisa menjadi ilustrasi. Kalau orang-orang di dekatnya kurang mendukung, tentu panggilan itu menjadi kurang jelas dan akhirnya tidak sampai. Bukan hanya ibu, tetapi seluruh keluarga, lingkungan, suasana dan pendidikan iman memiliki pengaruh besar untuk berkembang-tumbuhnya panggilan itu.

Panggilan Allah untuk umat beriman di seluruh Gereja memang tidak dibatasi hanya untuk panggilan menjadi imam dan biarawan-biarawati, melainkan meluas sampai segala macam bentuk panggilan di luarnya, yang diwujud-nyatakan dalam pelbagai profesi, pekerjaan dan kesempatan yang tersedia untuk mengabdi Tuhan.

Umat yang dipanggil bersedia diutus dan senantiasa masih mau berkembang untuk bertolak ke tempat yang dalam, agar lebih banyak mendapatkan hasil tangkapan. Panggilan Tuhan pada dasarnya mengajak umat untuk memalingkan diri kepada Tuhan dan mendengarkan apa yang Tuhan mau untuk kita laksanakan dalam hidup beriman.

Hal itu berlaku bagi kita sebagai anggota Gereja dengan pelbagai kebutuhannya pada saat tertentu dan dalam lingkungan dan konteks yang dihadapi. Untuk itu, diperlukan kepekaan dan kesiap-sediaan untuk berani menjawab: inilah aku, utuslah aku.

Selanjutnya kita diharapkan untuk lebih berkembang dan berbuah lebih banyak berguna bagi sesama.

 

Mgr. A. M. Sutrisnaatmaka MSF
Uskup Palangkaraya

HIDUP NO.6 2019, 10 Februari 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here