Pastoral Kaum Tuna Rungu

350
3/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Dari penampilan fisik, mereka kelihatan tidak kurang suatu apapun. Padahal mereka menderita dalam keheningan dan kesendirian. Mereka adalah kaum disabilitas yang mengalami hambatan mendengar karena tidak berfungsinya sebagian atau keseluruhan alat pendengarannya alias tuna rungu. Menurut catatan World Federation of Deaf (WFD), ada sekitar 72 juta tuna rungu di dunia. Lebih dari 80% dari jumlah tersebut tinggal di negara berkembang. Ada ratusan bahasa isyarat yang berbeda-beda di seluruh dunia sehingga menyulitkan sesama tuna rungu berkomunikasi antarbangsa.

Maka, kesadaran pentingnya pelayanan kepada kaum tuna rungu mendapat perhatian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB mengeluarkan resolusi tentang perlunya satu hari untuk menghormati kaum tuna rungu dengan menetapkan Hari Bahasa Isyarat Internasional (Hari Tuna Rungu) yang jatuh pada setiap tanggal 23 September. Untuk pertama kali dirayakan tahun 2018 lalu. Komunitas tuna rungu dan para pemerhati menyambutnya dengan pelbagai kegiatan. Di Indonesia, mereka mendesak pemerintah membuka akses luas kepada kaum tuna rungu dan pemenuhan hak-hak asasi mereka sebagai warga negara, setara dengan warga negara lain. Pemilihan tanggal di atas tidak terlepas dari lahirnya Federasi Tuna Rungu Dunia tanggal 23 September 1951.

Gereja pun tidak alpa dalam memberikan perhatian kepada kaum tuna rungu. Pelayanan bagi umat disabilitas (di dalamnya tuna rungu, tuna daksa, tuna grahita, difabel lainnya), Gereja tidak sekadar berucap. Pendirian sekolah-sekolah luar biasa (SLB) adalah bukti konkret. Begitu pun dengan pelayanan khusus dalam liturgi dan sakramen.

Tahun 2018 lalu, Gereja Katolik Asia menyelenggarakan konferensi internasional untuk membicarakan tantangan dan strategi pastoral kaum tuna rungu. Setiap negara di Asia punya problematika sendiri. Namun, peserta pertemuan yang diinisiasi oleh Asosiasi Tuna Rungu Katolik Thailand itu sepakat untuk makin memperjuangkan keadilan, kesejahteraan, dan pemberdayaan kaum tuna rungu. Agar mereka makin bertumbuh dalam iman, harapan, dan kasih yang hidup akan Yesus Kristus.

Gereja pun membuka pintu panggilan untuk menjadi imam dan biarawan-biarawati bagi kaum tuna rungu. Sudah ada juga imam dari kalangan tuna rungu. Paus Fransiskus dalam peringatan Hari Tuna Rungu pun menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada kaum tuna rungu seraya memeluk mereka dalam doa.

Keuskupan Agung Jakarta sendiri sudah melayani kaum tuna rungu melalui suatu lembaga sosial (Lembaga Daya Darma). Bahkan pada tiap Misa pukul 11.00 WIB di Katedral Jakarta selalu ada seorang interpreter dari Paguyuban Tuli Katolik (Patuka) berdiri di depan. Ia menerjemahakan seluruh kegiatan dalam Misa dengan bahasa isyarat. Patuka berharap, hal yang sama bisa dibuat di paroki dan keuskupan lain di Indonesia.

HIDUP NO.06 2019, 10 Februari 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here