Tolak Pemiskinan dan Pembusukan Filsafat di Ruang Publik

1021
(Kiri-kanan) Mochtar Pabottingi (Pemerhati Politik), Goenawan Mohamad (Sastrawan), Akhmad Sahal (Alumnus STF Driyarkara), Donny Gahral A (Dosen Filsafat UI), dan Arif Susanto (moderator). [dok.ist.]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Sejumlah budayawan, dosen filsafat, peneliti, alumni, dan mahasiswa sejumlah Sekolah Tinggi Filsafat menyatakan seruan bersama untuk menolak pemiskinan dan pembusukan filsafat yang telah sedemikian rupa hadir di ruang publik akhir-akhir ini.

Sebelumnya, seruan untuk mencegah pembusukan filsafat sudah hampir 2.500 tahun lalu dikumandangkan Socrates dalam dialog Plato, Apology.

Katanya, “Sahabatku yang terhormat, warga kota Athena, kota terhebat di dunia, yang begitu luar biasa dalam kecerdasan dan kekuasaannya, tidakkah engkau malu dengan begitu sangat peduli untuk menghasilkan banyak uang, dan untuk memajukan reputasi dan prestisemu, sementara untuk kebenaran dan kebijaksanaan dan peningkatan kualitas jiwamu engkau tidak peduli atau khawatir?” (Apology, 29DE).

Kini, pembusukan filsafat kembali muncul, paling tidak dalam dua bentuk. Pertama, filsafat digunakan untuk menjustifikasi kepentingan politik tertentu, tanpa konfrontasi apakah hal tersebut menyumbang pada telos setiap politi, yaitu kohabitasi yang berkedamaian dan bonum communae (kepentingan umum-red.)

Kedua, filsafat dilacurkan sebagai alat untuk tujuan subsistens semata dan bukan lagi sebagai sebuah art of thinking, sebagaimana menjadi praktik para filsuf Yunani kuno.

Pengebawahan akal sehat tampak dari berbagai praktik sofisme atau kelihaian bersilat lidah [istilah Sofis (Yunani: σοφιστής) mengacu kepada para guru atau penulis pada zaman Yunani Kuno yang berbicara mengenai berbagai tema dengan bermodalkan kemampuan bersilat lidah dan argumentasi yang manipulatif; tujuan seorang Sofis adalah untuk memperoleh bayaran dari pihak yang menggunakannya, dan bukan agar pendengarnya memperoleh pengetahuan yang benar], penyampaian kabar bohong (disinformasi), serta ujaran kebencian.

Tidak hanya dalam politik, praktik-praktik serupa membahana lewat publikasi media-media massa dan percakapan media sosial. Alih-alih mendorong diskursus publik berdasarkan hikmat kebijaksanaan, sebagian pihak malah membajak ruang publik demi menegaskan demarkasi permusuhan kawan dan lawan.

Berhadapan dengan kondisi-kondisi di atas, mereka menyatakan sikap sebagai berikut.
1) Menolak praktik sofisme, yang tidak lebih daripada suatu permainan tipu daya berbungkus kelihaian silat lidah dan permainan kata, untuk mengecoh lawan bicara dengan mengajukan dalil-dalil seolah argumentasi, padahal sejatinya bukan.
2) Menolak kesesatan berpikir, dengan mengabaikan kaidah-kaidah berlogika, dan penyebarluasannya sekadar demi pembenaran kepentingan sendiri.
3) Mendorong praktik berpikir logis sekaligus kritis demi menghindari kesesatan berpikir dan dogmatisme politik tidak bernalar.
4) Menolak penyebarluasan disinformasi dan pesan-pesan kebencian, yang bukan hanya merusak kepercayaan silang, melainkan pula mendorong permusuhan dan menegasikan alasan berdirinya Indonesia.
5) Mendorong perwujudan diskursus publik, yang hidup dari pergulatan beragam pemikiran kritis serta mampu menyediakan alternatif solusi atas masalah-masalah bersama.
6) Mendorong praktik politik demokratis, termasuk dalam kontestasi elektoral, dengan bersandar pada norma-norma etis permusyawaratan rakyat.

Dalam catatan rilis pers yang diberikan, seruan diatas dinyatakan pada Rabu, 13 Februari 2019 dalam diskusi publik yang diadakan di Tjikinii Lima Cafe & Resto, Jakarta Pusat pada pukul 12.30-15.00 WIB.

Tercatat sekitar 105 orang tokoh/ pemerhati yang memberikan dukungan dalam seruan keprihatinan yang diselenggarakan oleh Komunitas Pegiat Filsafat, Lingkaran Jakarta, dan Forges (Forum Gaudium et Spes).

Antonius Bilandoro

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here