Paroki St Kristoforus Ba’a Rote: Benteng Pertahanan Iman

1121
Gereja St Kristoforus Ba’a, Rote, NTT (tampak depan). [HIDUP/ Antonius Bilandoro]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Nilai-nilai Katolik senantiasa perlu ditanamkan untuk memberikan pengaruh agar dapat bertahan dari berbagai macam tantangan yang ada.

MENJADI garam bercitarasa Katolik ditengah kawanan mayoritas Protestan ternyata bukanlah hal yang mudah. Kurangnya pemahaman katekese menjadikan beberapa umat paroki yang terletak di wilayah paling selatan di Indonesia ini terkadang memilih tenggelam dalam arus kawanan besar.

Dinamika tantangan mempertahankan ‘asinnya’ iman Katolik menjadikan Paroki Ba’a Gereja St Kristoforus muara dan sumber iman di salah satu pulau terindah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ini. 

Paroki Ba’a merupakan paroki kepulauan karena sebaran umat Katolik berada terpisah pada pulau berbeda yaitu Rote, Ndao, Sabu, dan Raijua. Kondisi demikian membawa tantangan pelayanan pastoral, sementara jumlah umat semakin banyak tersebar di beberapa stasi di tiap kecamatan.

Ba’a merupakan pusat kota sekaligus pusat kegiatan perekonomian dan pemerintahan Rote. Selain dari suku asli Rote, hampir 90% umat Katolik adalah masyarakat pendatang yang berasal dari berbagai daerah dari NTT seperti Flores, Adonara, Solor, Lembata, Timor, maupun dari Jawa dan daerah lain di Indonesia.

Pada mulanya tanah tempat kapela dan pastoran paroki dibeli oleh Pastor Piet Konijn SVD dengan harga Rp.75.000 tahun 1960. Saat itu, umat Katolik di Rote sangat langka, sehingga ibadat sering kali diadakan pada rumah kontrak.

Kemudian berkat kerja keras umat melalui penggalangan dana swadaya dilakukan renovasi pembangunan gereja tahun 1964. Kegigihan umat semakin tampak ketika umat bahu membahu mengumpulkan pundi-pundi melalui iuran wajib, sumbangan, pelelangan barang, serta dukungan pemerintah dan donatur non Katolik. Mimpi itu pun terwujud.

Pada 1967 berdirilah gereja yang kini mampu menampung sekitar 700 umat. Data statistik (Maret 2017) mencatat, jumlah umat Katolik di Paroki St Kristoforus Ba’a Rote telah bertumbuh menjadi 1.508 jiwa di tengah dominasi umat Protestan.

Untuk mendekatkan pelayanan pastoral dibentuk stasi-stasi dan Kelompok Umat Basis (KUB). Tantangan pun kian terasa menjadi paroki induk. Pastor Paroki Ba’a, Stefanus Mau mengatakan bahwa menjelang hari raya dilakukan paling tidak rekoleksi, katakese, dan pengakuan dosa.

“Kalau kita tidak melakukan ini, umat dapat terpengaruh dengan kehidupan masyarakat yang rata-rata adalah umat Kristen. Kita harus memberikan katekese, sehingga mereka bisa tahu bagaimana makna, nilai, dan tujuan dari sakramen,” tutur pastor yang telah bertugas selama dua tahun itu. 

Pastor Stef Mau, Pr (kedua dari kanan) bersama pemimpin umat Protestan dan Katolik di Rote dan umat Paroki Ba’a. [HIDUP/ Antonius Bilandoro]
Tidak hanya untuk orangtua, Pastor Stef juga turut menekankan pendalaman iman terhadap anak-anak yang mulai merasakan perkembangan teknologi yang semakin maju. Penekanan katakese semakin menguat di bulan Oktober sebab beberapa umat Katolik masih belum memahami pertanyaan mendasar yang terkadang dilontarkan oleh umat Protestan.

Bahkan mereka merasa malu karena takut diolok ketika berdoa rosario di hadapan patung Bunda Maria. Acap kali mereka merasa kecil di antara mayoritas sehingga rasa percaya diri sebagai umat Katolik menurun akibat tenggelam dalam arus mayoritas.

Peneguhan demi peneguhan pun diberikan Pastor Stef kepada umat melalui ingatan bahwa mereka lahir dari orangtua yang memiliki penghayatan iman mendalam. “Kita harus memberikan pengaruh, bukan kita yang terpengaruh dengan berbagai macam cara,” saran pastor berpostur tinggi ini.

Maraknya fenomena kawin campur turut menambah pelik tantangan. Tidak jarang kaum laki-laki mengikuti agama istri karena tidak mampu memberikan penjelasan. Mengenai hal ini, Pastor Stef kembali menyarankan agar para orang tua rajin datang ke gereja, berdoa, dan mendengarkan apa yang disampaikan dalam katekese.

“Persoalannya ada pada masing-masing pribadi, tidak terlalu kuat dalam memberikan argumen, sehingga kita juga memberikan buku-buku renungan atau ajaran gereja dan Kitab Suci, agar mereka turut membekali diri dan membaca,” imbuhnya.

 

Antonius Bilandoro
HIDUP NO.03 2019, 20 Januari 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here