Loper Koran dari Barcelona

497
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – SESEKALI dia menghela napas dan mengelap keringat. Dari pagi hingga malam, dia berjalan ke sana dan ke sini tak tentu arah. Satu hal yang pasti dia terus berteriak, ‘koran, koran, dan koran’.

Ada orang yang menanggapi teriakan dengan membeli korannya. Namun, banyak yang tak peduli dan tak acuh padanya. Meski demikian, dia tetap menjajakan korannya di sela pergantian waktu.
“Koran, koran, koran…,” teriak seorang bocah di ujung perempatan jalan.

Menjual koran cara dia mempertahankan hidup. Dalam hati dia bergelut dan bergulat dengan mereka yang tak mau membeli koran tersebut. Menerima dan membaca koran yang dijualnya memberi keuntungan lebih bagi mereka.

Pola dan wawasan berpikir mereka akan menjadi luas. Dari berpikir mereka akan bertindak dengan baik. Itulah harapan bocah sang loper koran. Banyak pesan dari sang loper koran yang kujumpai di perempatan jalan itu.

Darinya aku teringat sosok Claret, seorang Cataluna yang pandai menjual koran. Claret adalah seorang penjual koran pada abad 19 yang unik. Dia menjual koran bukan di perempatan jalan. Korannya dijual di jalan menuju keselamatan. Inilah letak keunikan Claret sebagai loper koran.
“Apa ada jalan menuju keselamatan?
Apa ada yang menjual korannya di sana,” tanyaku dalam hati.
Claret memiliki tubuh yang kecil dan pendek namun dia mampu memikul koran-koran untuk dijual. 

Dia berteriak, ‘koran, koran dan koran’ siang hingga malam. Meskipun  korannya tidak terjual, Claret tetap setia pada pekerjaannya. Menjual koran adalah sebuah pekerjaan mulia yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.

Untuk itu, dia tetap menjual meski harus berjemur di terik matahari. Dia terus berteriak meski pita suara tidak mampu mengimbangi semangatnya, ‘koran, ko..ran, kor….an’.

***

Setelah tiba di kamar, aku mencoba mendalami kisah hidup Claret sang penjual koran.
“Apa benar Claret penjual koran?” tanyaku dalam hati.
Untuk membuktikan itu, aku langsung mengambil buku riwayat hidup yang ditulisnya sendiri. Setelah membaca riwayat hidupnya, aku tidak menemukan kisah Claret yang menjual koran.

“Ah, apakah aku sedang berilusi? Claret tidak mungkin menjadi penjual koran. Menjadi penjual koran berarti dia akan menerima uang hasil jualannya. Claret seorang yang tidak ingin berhubungan dengan barang yang disukai banyak orang, uang.

Aku yakin Claret bukan seorang penjual koran. Mana mungkin seorang yang tidak suka memegang uang mau menjual koran untuk mencari uang,” keluhku sambil menutup autobiografinya.

Cuaca siang itu semakin panas. Dari kamar 079, aku menatap cahaya sang surya mengoyak kulit bumi. Terlihat debu tanah beterbangan di dalam sinarnya. Aku ingat jam 12.15, saat untuk examen.

Cuaca panas di kamar berubah saat aku hendak masuk ruang maha kudus. Keheningan ruang maha kudus memberi kesegaran rohani dan jasmani. Aku menuju tempat duduk.

Selepas merendahkan diri di hadapan Tuhan, aku mencoba masuk ke keheningan batin. “Koran…koran…koran…,” teriak seorang lelaki muda berbadan pendek. Dia tersenyum padaku. Aku pernah melihatnya, tapi aku selalu tersurut lupa. “Koran Mas. Harganya murah, gak mahal cuman lima ribu,” tawar pemuda itu.

Aku ingin membeli koran itu, tapi uang ini akan kugunakan untuk keperluan lain. Aku mengurung niat untuk membelinya. Pemuda itu terus menawari koran jualannya, “Ayo Mas. Korannya cuman lima ribu.”

Setelah berpikir cukup lama, aku memutuskan untuk membeli. Aku kaget ketika membaca headline hingga akhir berita dalam koran ini. Isinya sama dengan kisah Claret misionaris ulung asal Barcelona yang kubaca di kamar 079 tadi.

Seluruh ringkasan hidupnya tertera di koran seharga lima ribu ini. Kecemasan hidup sejak kecil di Barcelona hingga meninggal di Fontfroide, Perancis, tertulis jelas dalam koran ini. Kesamaan cerita menggugat hatiku untuk berhenti sejenak menatap koran di tanganku.

“Siapa penjual koran ini?” tanyaku dalam kebingungan. Pertanyaan kemanusiaan itu hilang saat lonceng kamar makan berbunyi. Aku terbangun dan penasaran dengan pemuda Barcelona tadi. Ini bukan soal makan, minum, kerja, olah raga, belajar, refleksi atau baca Kitab Suci.

Aku tidak ingin mempersoalkan berbagai hal yang selalu kujalani setiap hari. Kesamaan kisah Claret itulah yang membuatku merenung lebih jauh. Selepas makan siang, aku kembali ke kamar dan merebahkan badan di tempat tidur.

Rasanya nyaman karena aku baru saja menggantikan kain seprei baru berwarna biru. Yang ada di kepalaku saat itu hanyalah teriakan, ‘koran, koran dan koran’. Hal ini mengingatkanku pada Claret.

Di usia lima tahun dia selalu memikirkan, ‘selama-lamanya, selama-lamanya, selama-lamanya’. Pikirannya soal bagaimana menyelamatkan manusia yang telah jatuh dalam. Mereka selama-lamanya tidak akan keluar dari api neraka. Pertanyaan seputar pribadi Claret mulai berkecamuk di kepalaku.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here