Hendaklah Kamu Murah Hati

986
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Minggu 24 Februari 2019, Minggu Biasa VII 1 Sam 26:2, 7-9, 12-13, 22-23; Mzm 103: 1-2, 3-4, 8, 10, 12-13; 1 Kor 15: 45-49; Luk 6: 27-38

“Secara spontan manusiawi kita merasakan betapa beratnya tuntutan untuk mengasihi”

KUTIPAN Ensiklik ‘Deus Caritas Est’ yang dikeluarkan oleh Benediktus XVI berbunyi, “Awal hidup sebagai orang Kristiani bukanlah ekeputusan etis atau suatu gagasan besar, melainkan pertemuan dengan suatu peristiwa, seorang pribadi yang memberi kepada hidup kita wawasan baru dan dengan demikian arah yang menentukan.”

Kutipan ini dapat digunakan sebagai perspektif untuk merenungkan paling tidak dua hal penting dari bacaan liturgi hari Minggu ini. Pertama, awal hidup kita (tetapi juga sebenarnya seluruh hidup kita) sebagai orang Kristiani berawal dan ditentukan oleh perjumpaan dengan Allah. 

Perjumpaan itu mengubah hidup kita, memberi wawasan dan arah baru yang menentukan. Kalau demikian halnya, maka menjadi sangat pentinglah untuk mengenali seperti apa Allah, dengan sifat utama apa yang kita jumpai dan alami sebagai orang beriman itu.

Sebagai orang Kristiani kita bersyukur, bahwa Allah yang kita alami tidak lain adalah “Kasih”. Maka hidup kita pun digerakkan oleh Kasih. Bacaan Injil hari ini berbicara lebih konkret dan spesifik tentang sifat hakiki Allah.

Dalam relasi-Nya dengan manusia, ternyata Allah mewahyukan diri-Nya sebagai Kasih yang murah hati. “Hendaklah kamu murah hati, sebagaimana Bapamu murah hati adanya” (Luk 6: 36). Allah kita itu “baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih” (Luk 6: 35).

Perjumpaan dengan Allah seperti itu menggerakkan kita untuk bermurah hati kepada sesama. Kita didorong untuk memberi dengan ikhlas. “Berilah kepada setiap orang yang meminta kepadamu, dan janganlah meminta kembali dari orang yang mengambil kepunyaanmu”(Luk 6: 30).

“Bila orang mengambil jubahmu, biarkan juga ia mengambil bajumu” (Luk 6: 29). “Berilah pinjaman tanpa mengharapkan balasan” (Luk 6: 35). Kedua, awal hidup Kristiani (tetapi juga sebenarnya seluruh hidup kita) bukan hanya keputusan etis atapun gagasan besar belaka.

Agama Kristiani bukanlah pertama-tama agama peraturan dan tuntutan etis. Yang asali dalam kekristenan bukanlah tuntutan etis ini atau itu; bahwa kita harus melakukan kewajiban ini atau itu. Seandainya demikian, Agama Kristiani akan dialami sebagai beban yang tak tertanggungkan.

Secara spontan manusiawi kita merasakan betapa beratnya tuntutan untuk mengasihi “musuh, berbuat baik kepada orang yang membenci” (Luk 6: 27); meminta berkat “bagi orang yang mengutuk …, berdoa bagi orang yang mencaci” (Luk 6: 28).

Syukurlah, seperti dikatakan di atas, yang asali dalam kekristenan bukan tuntutan, melainkan perjumpaan dengan Allah yang murah hati. Dalam perjumpaan itu kita lebih dahulu dikasihi dengan cuma-cuma. Kepada kita telah diberikan terlebih dahulu apa (kasih) yang harus kita bagikan dengan murah hati pula kepada sesama.

Kalau demikian halnya, tuntutan-tuntutan etis tidak boleh kita terima dengan sikap sombong, seolah-olah kita akan dapat melaksanakannya dengan kekuatan sendiri. Perintah dan tuntutan dari Yesus Tuhan kita hendaknya diterima dalam horison perjumpaan asali dengan Dia yang murah hati.

Perintah dan tuntutan Yesus Kristus selayaknya diterima dengan rendah hati, disertai keyakinan, bahwa Tuhan sendirilah yang akan memberi kekuatan untuk melaksanakannya. Dalam Bacaan Pertama diberikan kepada kita contoh tentang seorang manusia yang bersikap murah hati, sebagaimana Bapa murah hati.

Dalam kisah yang sangat indah dari kitab pertama Samuel disajikan kepada kita sosok murah hati itu dalam diri Daud. Melawan godaan kekuasaan untuk menghabisi musuhnya yang sedang dalam keadaan tak berdaya; menolak bisikan Abisai untuk membunuh Saul dengan “menancapkan dia ke tanah dengan tombak” (I Sam 26: 8), Daud menunjukkan kebesaran hatinya sebagai manusia yang murah hati dan berkata: “Jangan memusnahkan dia, sebab siapakah yang dapat menjamah orang yang diurapi Tuhan dan bebas dari hukuman?” (I Sam 26: 9).

Marilah kita senantiasa bersyukur, boleh mengenal dan mengalami Allah sebagai kasih yang murah hati. Marilah senantiasa merawat perjumpaan dan relasi kita dengan Dia. Kiranya dari situ akan lahir kerelaan dan sukacita untuk memberi dengan cuma-cuma, dengan murah hati.

 

Mgr Adrianus Sunarko OFM
Uskup Pangkalpinang

HIDUP NO. 08 2019, 24 Februari 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here