Dari Gereja Misi ke Gereja Pribumi

936
Mgr A. B Anicetus Sinaga OFM Cap (memegang tongkat) dan Mgr Pius Datubara OFM Cap (di depan Mgr Anicentus) saat Misa Pembukaan Sinode KAM VI, 2016.
[HIDUP/Yusti H. Wuarmanuk]
4.2/5 - (4 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Gereja KAM telah dibentuk dengan dasar yang kuat lewat para pendahulu. Kini saatnya uskup terpilih melanjutkan misi universal menuju misi berbasis kearifan lokal.

Paus Yohanes Paulus XXIII, dalam dialog soal adanya Konsili Vatikan (KV) II mengatakan, “Saya ingin membuka jendela Gereja sehingga kita bisa melihat ke luar dan mereka bisa melihat ke dalam aggiornamento (Latin: memperbaharui).” Salah satu isu pertama yang dipertimbangkan dalam konsili yang segera memiliki efek terhadap kehidupan iman adalah lahirnya dokumen Sacrosanctum Concilium (SC).

Merambat soal pembaruah liturgi, para Bapa Konsili menetapkan pedoman untuk mengarahkan jalanya revisi terhadap liturgi termasuk mengizinkan dengan sangat terbatas penggunaan bahasa lokal. Para uskup kemudian menetapkan bahwa inkulturasi dapat secara hati-hati dimasukkan sebagai bagian dari Liturgi Gereja. Dalam pembaruan ini juga semangat partisipatoris dan gerak organis kaum awam menjadi kata kunci SC.

Dua karya besar ini Liturgi dan Kerawam, tanpa berpretensi mengulasnya lebih dalam, adalah karya-karya yang dekat dengan reksa pastoral Keuskupan Agung Medan (KAM). Uskup Agung Emeritus Medan Anicetus Bongsu Sinaga OFM Cap mengamini dua sasaran pastoral Gereja KAM ini.

Sinkronisasi Wilayah
Mgr Anicetus menjelaskan, terhadap Liturgi Gereja, sebagai semangat partisipatif aktif hidup menggereja, para pelayan tertahbis hendaknya melihat tugas ini sebagai pelaksana imamat Yesus Kristus. Atas baptisan yang diterima umat pula (baptisan umum), ada harapan agar umat KAM dapat berpartisipasi dalam Tri Tugas Yesus khususnya kerasulan tata dunia.

Partisipasi ini, bagi Mgr Anicetus, tidak sebatas retorika tetapi keterlibatan. Karena itu, sejak kepindahannya dari Keuskupan Sibolga ke KAM, tugas utamanya mensinkronisasi paroki-paroki menurut aturan hukum Gereja. Perlu strukturisasi dan hakikat paroki dari Gereja misi menjadi Gereja pribumi dalam tingkatan keuskupan, kevikepan, paroki, dan stasi. Hal ini sejalan dengan kebutuhan KAM yang begitu luas.

Sinkronisasi yang dituangkan dalam Anggaran Dasar KAM ini kemudian disahkan pada 25 Maret 2009. Secara perlahan sinkronisasi paroki tertata sesuai garis komando, garis kewibawaan, dan garis personalia yang jelas. “Dengan satu garis komando, Gereja bisa berkembang menjadi Gereja yang menampakan wajah Allah yang setia pada tugas dan janji-Nya,” tambah Uskup Agung Emeritus Medan Mgr Alfred Gonti Pius Datubara OFM Cap.

Untuk gerak ini, perlu dilakukan sentralisasi, maka sejumlah hal dihadirkan termasuk Catholic Center. Dari awalnya tiga kevikepan di KAM. Kevikepan di KAM memiliki keunikan masing-masing dengan gaya pastoral yang berbeda-beda. “Perlu ditegaskan bahwa vikep bukan bawahan uskup, tetapi imam yang memiliki kuasa pastoral di wilayahnya. Dia bisa membentuk komisi dan seksi dan menentukan struktur bawahan,” jelas Mgr Datubara.

Kondisi ini terus berkembang dengan berdirinya paroki-paroki baru. Tahun 2009 terdapat 43 paroki dengan kondisi yang tidak seperti sekarang. Banyak bangunan berumur tua, kondisi umat yang semakin luas, dan gereja di pegunungan terlalu besar sementara umatnya kebanyakan merantau. Sekarang sudah ada 62 paroki di KAM. Tahun 2009 jumlah umat 525 ribu, kini menjadi 570 ribu. Sayang, kurang lebih 9 ribu umat merantau ke seluruh pelosok tanah air. “Ada pengakuan, di mana ada orang Katolik Sumatera, di situ pasti berdiri Gereja”.

Satu juga fokus pastoral yang digeluti lima-enam tahun terakhir penggembalaan Mgr Anicetus adalah pengembangan imam diosesan. Sekarang KAM memiliki sebanyak 46 imam dan sebanyak 63 frater di Seminari Tinggi. Dengan jumlah ini, maka perlu adanya Anggaran Dasar bagi hidup mereka. Selain itu, uskup diharapkan selalu mengadakan visitasi ke seminari. Saat ini, imam diosesan KAM juga menjabat posisi penting dalam keuskupan sebagai ekonom, vikep, rektor, anggota dewan penasihat konsultor, dan kepala Paroki Katedral.

Tri Organ Batak
Ketua Unio KAM, Pastor Eka Baktisutopo menembahkan, pengembangan imam keuskupan terus berlanjut dengan adanya dana imam projo. Beberapa bidang usaha juga dikembangkan misalnya lewat yayasan-yayasan Katolik. Mereka juga dimasukan dalam dana pensiun (Yadapen) KWI dan menjadi anggota BPJS kesehatan. “Ini suatu perencanaan yang baik dari Mgr Anicetus kepada imam diosesan yang kelak akan dilanjutkan Mgr Kornelius Sipayung OFM Cap,” jelasnya.

Kendati begitu, masih banyak hal yang belum selesai. Dari reksa pastoral yang ada, banyak orang mengakui masih banyak harta benda Gereja yang tidak dipertanggungjawabkan. Belum ada kerja yang jelas antara badan kehormatan yang
mengangani situasi ini dengan pastor paroki.

Dalam tradisi Batak dikenal Tri Organ Batak yang disebut dalihan natolu yaitu hulahula, dongan sabutuha, dan boru. Superioritas hierarki sebagai hulahula Gerejawi terlalu berlebihan. Pastor paroki menyandang wibawah tertinggi membuka kemungkinan akan kecurangan-kecurangan soal harta kekayaan Gereja. Tugas-tugas mengajar dan membimbing terasa hilang dengan kesibukan mengejar kekayaan. Komunikasi aktif antara pastor kadang terhambat budaya, strata kedudukan, dan budaya kekeluargaan.

Sementara para religius, yang mengambil peran dongan sabutuha, terwujud dalam partisipasi kaum religius dari berbagai tarekat dalam reksa pastoral. Kharisma dan spiritualitas setiap tarekat menjadi sumbangsih pengembangan iman umat di KAM. Meski begitu, untuk yang terakhir ini masih perlu ditingkatkan lagi. Jangan sampai, masing-masing tarekat berjalan sendiri.

Bataknisasi Gereja
Prinsip KAM ini sejalan dengan semangat KV II yaitu, “Wartakan Injil ke segala penjuru dunia dan singkapkan benih-benih Sabda”. Dari sini muncul perhatian Gereja terhadap nilai-nilai budaya setempat (inkulturasi). Bukan sebatas itu, budaya masuk dalam liturgi. Wujud lain dari hal ini adalah partisipasi Gereja dalam mendukung pelaksanaan Badan Otoritas Danau Toba untuk meningkatkan ekonomi rakyat melalui sektor pariwisata.

Merefleksikan semua ini, Pastor Herman Togar Nainggolan OFM Cap dalam biografi Mgr Anicetus berjudul Dari Imamat Parmalin ke Imamat Katolik, menjelaskan bahwa butir-butir mutiara kekayaan iman dari Gereja KAM dibawah penggembalaan Mgr Anicetus memuat pesan kemanusiaan dan kekayaan iman Katolik yang universal sekaligus lokal. “Kekayaan ini didasari dengan terbangunnya relasi yang intim dengan Tuhan yang kemudian diaplikasikan dalam relasi horizontal dengan manusia,” ungkap Pastor Herman.

Partisipatoris kaum muda dalam Gereja dapat diukur dengan dibangunnya asrama kaum muda agar terhindar dari penyakit sosial seperti narkoba. Soal narkoba, KAM juga mendirikan tiga lembaga rehabilitasi di Lubuk Pakam. Karya ini merupakan kristalisasi dari misi Gereja option for the poor, ‘keberpihakan kepada yang miskin’. Katekis-katekis yang berasal dari kalangan orang muda pun digaji. KAM bahkan mendirikan pusat pembinaan generasi muda Jerico di Binkawan.

Ecclesia Domestica
Bila ingin mengejawantahkan Gereja misi menuju Gereja pribumi, Mgr Anicetus mengatakan, satu hal yang penting adalah memperkuat keluarga. Disadari bahwa krisis nilai dalam keluarga menjadi bahasan utama Sinode VI KAM tahun 2016 lalu. Peran orangtua sebagai guru, imam, dan gembala menjadi amat penting. Pastor Selestinus Manalu OFMCap menjelaskan, bahwa keluarga menjadi Gereja Rumah Tangga justru karena Gereja sebagai ibu, melahirkan, mengajar, dan membentuk keluarga Kristiani.

Tema “Keluarga sebagai Gereja Kecil”, merupakan refleksi lanjutan dari Sinode IV pada 1996 bertajuk “Keluarga Katolik Menyongsong Tahun 2000”. Ketua Pelaksana Sinode VI kala itu Pastor Emmanuel Sembiring OFMCap mengungkapkan, gagasan sinode tahun itu peserta sepakat bahwa sebagai Gereja Rumah Tangga, peranan orangtua sangat penting. Hal ini senada dengan pesan Lumen Gentium artikel 11 dan Gaudium Et Spess artikel 48 yang menyatakan, “Keluarga adalah sekolah dasar bagi pertumbuhan dan pewartaan iman”.

Pada prinsipnya, adat berasal dari agama purba, datang dari “Mulajadi na Bolon” atau awal dari yang ada. Maka tidak salah, suku Batak terkenal dengan dua identitas, yakni Kekristenan dan Batak. Prinsipnya, kalau agama dan adat saling mendukung, orang Batak tidak akan kesulitan. Prinsip dan semangat inilah yang harus menjadi landasan bagi Mgr Kornelius dalam reksa pastoral.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.04 2019, 27 Januari 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here