Sang Musafir Cilik

261
3/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Krismon nama bocah itu, sebab hari pertama ia melihat dunia tepat kala negeri ini dijajah oleh ketidakadilan, kemiskinan, dan kekacauan yang membabibuta. Perawakannya lugu, ceria, sopan, namun selalu tampil lusuh dan kumal. Percaya diri adalah modal utama untuk hidup, moto hidupnya. Ada banyak cara yang ia selalu lakukan untuk mewarnai hari-harinya. Mengemis, mengamen, menyemir sepatu, kecuali bersekolah.

Sejarah perekonomian keluarga mereka yang jatuh saat krisis moneter sangat berdampak buruk hingga sekarang. Apalagi, tugas ayah sebagai punggung keluarga telah lama diemban oleh ibu yang tidak mengenal angka dan huruf. Ayahnya telah lama berpulang karena celaka akibat insiden demonstrasi kepada wakil-wakil rakyat kala itu. Peristiwa ini menjadi rahasia si ibu kepada anak semata wayangnya. Ia tidak mau putranya memupuk rasa benci pada negeri pertiwi ini, karena ia tahu bahwa hal yang dapat dilakukan oleh orang-orang terlantar hanyalah pasrah pada revolusi dunia yang mulai membutakan hati nurani dan melanjutkan hidup yang terasa sangat lama berakhir.

Sama seperti anaknya, Ibu Krismon juga wanita yang mudah tersenyum dan tangguh. Setiap hari wanita paruh baya itu pergi ke rumah orang-orang tajir untuk menjajakan tenaganya, seperti mencuci pakaian, mencuci piring, mencuci mobil sekalipun. Dalam senyumnya, ia sering merasa malu karena sebagai ibu, ia tak mampu menyekolahkan seorang anak saja. Bahkan hanya untuk setumba beras, ia masih belum mampu memenuhinya, walau sampai titik darah penghabisan.

Wanita paruh baya itu selalu menyembunyikan rasa bersalahnya itu melalui ukiran senyum cantiknya. Apalagi anak yang satu ini polosnya keterlaluan. Ia selalu berusaha untuk sesuatu yang tak pernah ia mengerti. Perihal cinta ibu kepada anaknya yang tak dapat diukur dengan apapun, bahkan oleh masa sekalipun. Krismon selalu sadar bahwa situasi ekonomi keluarganya berada di ujung tanduk. Dia tidak suka menuntut banyak hal kepada ibunya. Memang benar kata orang, buah tak pernah jatuh jauh dari pohonnya. Walalu sang ibu pernah memaksa secara terpaksa supaya anak itu bersekolah, ia menolak mentah-mentah tawaran itu, tapi ia ingin. Anak itu lebih memilih untuk membantu ibunya memikul beban hidup yang seharusnya tidak ia pikul.

Sepanjang hari, mulai fajar menyingsing, bocah itu bertarung melawan banyak hal. Kepedihan, ketika ia melihat anak-anak seusianya mengenakan seragam sekolah. Keputus-asaan, saat mengamen atau menawarkan jasa semir sepatu, malah mendapat cercaan dan makian dari orang-orang dewasa yang tidak memiliki pekerti. Namun, yang paling ia takuti adalah kehilangan sang ibu, harta satu-satunya yang ada di dunia ini.

***

Sore itu, sang mentari mulai surut ke ujung Barat namun masih saja memamerkan kemegahan sinar emasnya yang terpancar anggun dibalik sela-sela pepohonan. Sementara itu, sang cilik dihantui rasa gelisah sebab tak biasanya si ibu pulang se-senja itu. Ia begitu risau sampai-sampai tak terhibur oleh kisah-kisah para Bangau yang pulang ke negeri asal mereka. Sampai akhirnya ketakutan itu meledak saat seseorang mendobrak pintu gubuk mereka seolah kerasukan setan yang sudah gila.

“Mon..Mon.. ibumu…ibumu… Buka pintunya..,” teriak orang itu memecah kekhwatiran yang tak berujung.

Krismon, dalam kesendiriannya semakin takut. Karena menyinggung kata ibu, ia bergegas membuka pintu yang hampir roboh akibat ulah orang itu.

“Kenapa? Kenapa ibuku, Pak Gus?”, tanya anak itu berharap tidak ada sesuatu yang buruk terjadi.”

“Ibumu Mon… Ibumu kecelakaan dan sudah dilarikan ke rumah sakit,” jelas Pak Agus, sekretaris desa, dengan nafas tersengal-sengal.

“Keadaannya, parah sekali,” sambungnya lagi.

Seolah tersambar petir, anak itu diam tak mampu menerima kenyataan. Hatinya tertusuk sangat sakit sampai air mata yang tak terbendung sudah menganak-sungai. Dalam kelut, hatinya berdarah dan mengutuki keadilan yang tak pernah hadir dalam pelukan orang-orang miskin. Ia tak peduli pada apapun sekarang. Ia berlari menembus ruang dan waktu, mengejar ibu yang berada di uung tanduk juga nyawanya.

***

“Bu, saya mencari ibu saya yang kecelakaan sore ini,” teriak Krismon sambil menjinjit-jinjit sebab meja resepsionis itu terlalu tinggi baginya dan ia terburu-buru sekali. Bau sampah nun tak sedap yang setia menempel pada tubuhnya memaksa wanita resepsionis itu enggan menarik nafas. Namun hati wanita itu tersentuh, sebab ia mengira tak ada kesempatan bagi orang yang dicari anak ini selamat dari cengkraman maut.

“Sabar, Dik. Ibumu sedang diperiksa oleh dokter. Berdoalah agar ia baik-baik saja.” “Ibu saya di mana bu, cepatlah beritahu!!!” kata anak itu memaksa. “Kamar Anggrek, nomor 2 C.”

Krismon berlari lagi, tak menghiraukan pandangan-pandangan orang sekitar yang terkesan jijik dan merasa aneh padanya. Saat ini dia hanya mau menemani ibunya bertarung melawan maut. Ia ingin memberikan cinta kepada ibunya sebagai senjata untuk berperang. Cinta seorang anak kepada ibunya yang juga tak dapat diukur oleh masa sekalipun.

Krismon masuk ke kamar itu tanpa mengetuk pintu dan melihat pria tua aneh berpakaian serba putih ditemani dua wanita yang berwajah datar tak bersahabat.

“Mana bapakmu?” tanya pria tua itu.

Krismon tidak menjawab. Dia hanya mematung melihat ibunya yang penuh dengan balutan, kepala, kaki, tangan, lalu berlari memeluk ibunya yang tak punya daya sama sekali. Baru kali ini bocah itu menangis tak mengenal waktu. Tak kering-kering air matanya. Dokter itu pergi bersama kedua bidannya, membiarkan anak itu menghabiskan saat-saat terakhir bersama ibunya.

Karena lelah menangis, Krismon tertidur dalam pilu kesedihan di samping ibunya berbaring. Suasana ruangan itu begitu dingin dan sepi. Hanya detik jarum jam dan monitor detak jantung yang berlomba-lomba menandakan bahwa nyawa si ibu akan berakhir sampai di sini atau masih ada harapan untuk melanjutkan hidupnya.

Di hadapan Bunda Maria dan putranya, Yesus Kristus yang Terkasih, bocah itu menyerahkan seluruh harapannya, pergumulannya, ketakutannya bahkan ia bersumpah atas nama seluruh makhluk sejagat akan melakukan apapun yang Tuhan minta untuk sedikit mujizat bagi ibunya agar berhasil menakhlukkan sang maut. Dalam doanya, selalu ibunya yang ia sebut. Ia sangat berharap pada pemilik hidup. Lalu anak itu pergi membeli makanan dengan tabungan recehannya sebab sudah dua hari ia tidak makan sementara ibunya masih belum sadarkan diri. Ia masih menunggu mukjizat yang ia minta kepada Tuhan dan ia berharap agar Tuhan mendengarkan doanya yang miskin.

***

Saat hari keempat, ibunya sadar dan keadaan mulai membaik. Semua pihak yang mengira wanita itu akan mati tak percaya atas apa yang telah terjadi. Resepsionis, dokter, dan kedua bidan itu terkejut melihat sesuatu yang tak mereka mengerti. Anak itu bersyukur, sebab ia sudah bisa berkomunikasi dengan ibunya lagi. Ia tak pernah sebahagia ini. Apalagi, orang yang menabrak ibunya akan menanggung semua biaya rumah sakit dan kehidupan Krismon selamanya. Mereka memang orang yang kaya raya dan baik hatinya.

Krismon bersyukur sebab Tuhan mendengar doanya yang miskin. Dalam kesusahan yang melimpah, bocah ini mampu melakukan apa yang orang dewasa tidak bisa lakukan yakni tetap kuat dan berpegang teguh pada Sang Sabda. Ia telah lahir menjadi musafir cilik dalam kehidupan antah-berantah ini. Ia sudah dan akan selalu berkelana menjalani kehidupan dan segala teka-tekinya, lalu mencari jawaban dari semua itu. Ia juga tidak akan mengingkari janjinya kepada Sang Illahi.

Dalam hati ia mengatakan bahwa mulai hari ini, ia akan menjadi anak yang baik. Tak akan menyusahkan ibunya lagi, akan sungguh-sungguh belajar agar menjadi orang sukses, dan rajin pergi ke gereja. Yang terpenting, ia berjanji akan melakukan segala kebaikan agar Tuhan tidak menyesal pernah mendengar doanya dan menyelamatkan ibunya. Kini ia menyadari bahwa segala kesusahan akan terselesaikan ketika berserah kepada Sang Illahi. Sang musafir cilik itu telah mengalaminya. Kisah ini akan menjadi warna bagi hidupnya agar ia tak pernah menyerah saat jatuh pada jurang yang lebih dalam lagi.

Fr Nicodemus Sihaloho OFMCap

HIDUP NO.04 2019, 27 Januari 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here