Mari Mengelola Diri

216
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Umat Katolik di seluruh dunia akan memasuki Masa Puasa atau Prapaskah pada Rabu Abu, 6 Maret mendatang. Dahi kita ditandai dengan salib atau kepala kita ditaburi debu sebagai tanda bahwa kita berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu. Selama empat puluh hari ke depan, Gereja mengajak kita berpuasa dan berpantang. Untuk itu, Gereja membuat aturan berpuasa dan berpantang yang berbeda, misalnya, bila dibandingkan dengan saudara-saudari kita Muslim. Kendati belakangan ini sejumlah umat mejalankan puasanya dengan cara yang mirip-mirip seperti ‘sahur’ di pagi hari dan ‘buka’ di petang hari.

Puasa dan pantang tentu saja bukanlah tujuan. Tujuan utama, agar kita kian menyadari siapa diri kita di hadapan Allah sekaligus kian mendekatkan diri kepada Allah dengan cara yang lebih istimewa. Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo mengatakan, “Semua orang beriman Kristiani dengan caranya masing-masing wajib melakukan tobat demi hukum ilahi. Dalam masa tobat ini, Gereja mangajak umatnya secara khusus meluangkan waktu untuk berdoa, menjalankan ibadah dan karya amal kasih, menyangkal diri sendiri, dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara lebih setia dan terutama dengan berpuasa dan berpantang.”

Nuansa masa berpantang dan berpuasa tahun ini tampaknya akan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal itu terkait dengan situasi sosial dan politik saat ini. Masa awal puasa dan pantang ini adalah masa-masa puncak kempanye menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) pada tanggal 17 April 2019.

Gemuruh situasi politik akan membawa tantangan tersendiri bagi umat Katolik di Indonesia dalam berpuasa. Umat Katolik di Ibu Kota, dalam hal ini umat Keuskupan Agung Jakarta, tengah mamasuki tahun ke-4 Arah Dasar “Amalkan Pancasila”. Tahun ini “Amalkan Pancasila, Kita Berhikmat Bangsa Bermartabat.” Bagaimana kita menghayati nilai-nilai sila keempat Pancasila ini dalam karya amal kasih sebagaimana dianjurkan oleh Gereja? Bagaimana penghayatan nilai-nilai itu bisa dipadupadankan dengan hakekat dari puasa dan pantang kita?

Melihat situasi sosial dan politik terkini barangkali akan lebih memanas karena semakin mendekati “hari H” Pilpres dan Pileg, umat Katolik di harapkan mampu menahan diri. Bahkan, umat secara proaktif membawa keteduhan dan kedamaian di tengah masyarakat, di lingkungan terdekat masing-masing. Terutama dalam upaya kita – bersama semua orang yang berkemauan baik — membendung merebaknya berita-berita bohong dan ujaran kebencian yang kian merajalela, yang ingin memecah belah persatuan dan kesatuan kita sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sekali lagi, tantangan puasa dan pantang kita kali ini akan berbeda dan akan makin bermakna bila setiap umat (kita) mampu mengelola diri menghadapi setiap isu yang berkembang. Ini adalah salib atau pengorbanan yang harus kita pikul bersama-sama.

HIDUP NO.10 2019, 10 Maret 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here