Leony Valentina Deasy Khoe : Hidup Harus Terus Berjalan

676
Deasy bersama kedua buah hatinya.
[Anna Marie Happy]
2/5 - (5 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Berbagai persoalan hidup sempat menderanya. Mulai dari menjadi orangtua tunggal hingga beberapa kali gagal menjalankan usahanya. Ia tetap bangkit demi kedua putranya.

Sehari-hari, Deasy, sapaan Leony Valentina Deasy Khoe, adalah perempuan aktif. Pukul 05.15, ia sudah membuka toko dan menutupnya pukul 18.00. Tak hanya mengurus usahanya, ia juga aktif sebagai bendahara kelompok Pembinaan Kesejahteraan Keluarga di lingkungan dan pendamping putra-putri altar dan iman anak Paroki Santo Paulus Wonosobo, Keuskupan Purwokerto.

Litani karya itu tak memudarkan senyum di wajahnya. Sebab, dengan kegiatan-kegiatan itu, menurut Deasy, memungkinkan dirinya bisa bertemu dengan banyak orang. Ia senang menjalin relasi dan komunikasi dengan beragam orang dari latar belakang nan berbeda. Karena itu, Deasy mengakui, ia dan keluarganya diterima di tengah masyarakat.

Di balik senyum dan semangatnya berkegiatan, ternyata Deasy menyimpan pengalaman getir. Ada peristiwa dalam perjalanan hidup Deasy yang tak sesuai harapannya. Ia terpaksa menjadi orangtua tunggal saat dua buah hatinya masih teramat belia. Kondisi seperti itu otomatis mendesak Deasy membanting tulang dan memutar otak sendiri demi menyambung hidupnya serta anak-anaknya.

Silih Berganti
Deasy suka memasak. Hobi itu mendorongnya untuk merintis usaha kuliner. Mula-mula ia membuat dan berjualan jamu. Karena kurang sesuai dengan selera pasar, tahun 2005, Deasy mengganti usahanya itu dengan berjualan bakso. Ia membuat sendiri bola-bola daging itu. Lagi-lagi, usaha Deasy gulung tikar. Ia kalah bersaing dengan penjual bakso lain.

Atas usul seorang teman, Deasy kemudian membuka toko grosir camilan. Usaha itu berjalan baik. Tapi, cobaan kembali datang. Pasar Induk Wonosobo terbakar. Meski toko Deasy tak turut dilumat si jago merah, peristiwa itu membawa dampak bagi tokonya. Akses masuk ke tempat usaha Deasy tertutup pasar penampungan sehingga sepi pembeli. Deasy pun berencana menutup tokonya.

Saat cobaan datang silih berganti, pada suatu ketika, ada seorang yang mendatangi Deasy. Orang tak dikenal itu ingin menyewa toko miliknya. Saat itu, Deasy berpikir, jika seluruh tokonya dikontrakan, ia tak bisa lagi berdagang. Tapi, kalau hanya sebagian, ia masih bisa berjualan. Modal usaha ia peroleh dari uang kontrakan sebagian tokonya.

Deasy mencari jalan keluar untuk menggaet pembeli. Kendati tokonya tertutup pasar penampungan. Ia meninggalkan cara lama: menunggu pembeli. Ia jemput bola dengan mendatangi dan menawarkan camilannya kepada para pedagang di pasar induk. “Saya bawa tas kecil dan payung lipat karena Wonosobo sering hujan. Saya tidak malu. Saya berpikir, saya mencari uang untuk hidup,” ujar Deasy sembari tertawa.

Ia juga tidak memikirkan persaingan. Deasy hanya berpikir, bagaimana dirinya terus menggerakan roda usaha dan hidup keluarganya, terutama mencukupi kebutuhan dua buah hatinya. Seiring waktu usahanya berkembang. Kini, ia tak perlu lagi berkeliling ke setiap bakul di pasar. Ia sudah punya karyawan untuk melakukan hal itu. Tugasnya hanya memantau dan mengerjakan pembukuan usaha.

Tiap Minggu, ia tak mengurus tokonya. Kesempatan tersebut ia isi untuk mendampingi putra-putri altar dan bina iman anak. Deasy amat menyukai anak-anak. Selain membuat hidupnya bahagia, kehadiran anakanak menghapus letihnya bekerja di toko. Kehadiran mereka juga membuat hidupnya menjadi berwarna dan berseri. Deasy memperlakukan mereka seperti buah hatinya sendiri.

Tak hanya meluangkan waktu, tenaga, dan perhatian, Deasy juga menyisihkan pendapatannya untuk kemajuan komunitas tersebut. Sekali waktu, ia juga menyiapakan makanan untuk anak-anak di sana. Deasy juga melatih mental mandiri kepada anak-anak. Ia mengajak mereka untuk berjualan pasca Misa. Pendapatan yang mereka terima sebagai kas komunitas. “Dengan begitu, mereka tak harus meminta banyak dana kepada dewan paroki,” kata Deasy.

Bersama Anak
Di tengah kesibukannya, Deasy selalu menyempatkan waktu bagi kedua buah hatinya itu. Ia bersyukur, kedua putranya itu tumbuh menjadi anak-anak yang baik. Ia juga selalu memberi semangat dan menguatkan mereka, menjaga dan melindungi seperti seorang ayah, sekaligus mengasihi mereka laksana seorang ibu. Deasy menjalankan dua peran itu bersamaan.

Bagi Deasy, anak-anaknya ada prioritas hidupnya.Ia selalu berusaha ada saat kedua putranya membutuhkan dirinya. Deasy bersyukur, anak-anaknya juga memahami pekerjaan dan karyanya. Mereka tak pernah rewel ketika Deasy pulang malam karena rapat di gereja. Dan yang membuat Deasy kian bangga, putra-putranya juga aktif sebagai misdinar. Mereka juga teguh berpegang pada iman Katolik.

Alumna Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga itu juga bersyukur, anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi yang baik dan jujur. Dia menceritakan, mereka tidak berani mengambil uang yang ada di rumah, walaupun uang itu ada di meja. “Pernah juga anak-anak goreng telur sendiri, padahal ada lauk di meja. Tapi karena kemasan lauk itu belum dibuka, mereka tidak berani makan,” katanya.

Deasy percaya, walaupun ada kendala, namun dengan berlaku jujur Tuhan akan memudahkan jalannya. Hal itu juga yang ia tegaskan kepada anak-anak dampingannya di misdinar dan bina iman. Bukan hanya jujur, etika juga dijaga, saat bercanda juga harus sopan. “Saya menekankan bahwa orang lain melihat kamu dari etika dan kejujuran. Kalau etika kamu baik dan kamu jujur, orang lain akan senang dengan kamu dan mau menolong kamu. Tetapi kalau orang lain menolong kamu karena kamu kaya, suatu saat kalau kamu terjatuh mereka akan meninggalkan kamu,” tegasnya.

Terus Berusaha
Pernah menjalani masa-masa terpuruk dalam hidup, Deasy mengakui kadang lelah menghadapi semua itu. Namun karena senyum selalu menghiasi wajahnya, banyak orang mengira dirinya tak pernah mengalami cobaan berat dalam hidupnya. Bahkan, ada pula yang mengatakan agar Deasy jangan bersikap sok kuat.

Menanggapi itu, kelahiran Semarang 11 Februari 1975 itu hanya tersenyum. Ia bilang, bukannya sok kuat, tetapi ia memang harus kuat menjalani hidup ini. Kalau ingin jujur, Deasy mengaku, kadang-kadang dirinya tidak kuat menjalani cobannya hidupnya. Namun, ia ingat, sebagai manusia harus terus berusaha.

Saat ini yang ada di hati dan benaknya adalah kedua putranya. Tiap ada persoalan, ia selalu teringat buah hatinya itu. Ia tak mau anak-anaknya mengalami kesulitan kelak. “Kalau dibilang ingin protes, saya sebenarnya ingin protes. Tetapi, apakah protes bisa membuat keadaan baik kembali. Hidup harus terus berjalan,” pungkasnya.

Anna Marie Happy

HIDUP NO.07 2019, 17 Februari 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here