Beato Michał Giedroyć OSA (1425-1485) : Rahib Pengikut Jalan Agustinus

306
Beato Michał Giedroyć OSA saat berdoa di depan Salib Kristus.
[denkatolskekirke.org]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Seluruh perjalanan hidup dan panggilan Michał Giedroyć dipuncaki dengan kesadaran bahwa Allah segalanya.

Terpisah dari dunia, tetapi tidak sendirian. Ungkapan ini pantas disematkan kepada Beato Michał Giedroyć. Sebagai Rahib Ordo Santo Agustinus (OSA), Pastor Michał menjalani hidup yang keras tanpa kemewahan. Ia hidup seturut Regula Santo Agustinus dari Hippo (354-430).

Pastor Michał menjalani puasa dan mati raga serta menjalani pantang dengan tidak makan daging. Setiap hari, ia hanya menghabiskan seketul roti dengan garam. Dirinya menolak semua kesenangan yang berhubungan dengan nafsu lahiriah. Ia memang dikenal paling keras, bila pikirannya menginginkan sesuatu di luar kehendak Ilahi, maka ia akan mencambuk dirinya sampai terluka. Sahabat-sahabat pun memanggilnya “saudara bertato”, berkat “laku tapa”–nya ini.

Devosi kepada Bunda Maria juga tidak pernah ditinggalkan Pastor Michał. Dalam doa, ia meminta petunjuk Maria agar merelakan dirinya dicambuk seperti Kristus. “Saya meminta salib dari Tuhan yang manusia lain tak mungkin melakukannya,” tulisnya dalam Buku Orang Kudus Agustinian.

Allah Segalanya
Kepasrahan kepada Allah yang murah hati memang sudah nampak sejak Michał kecil. Ia lahir tahun 1425 dan merupakan anggota keluarga bangsawan dan memiliki hubungan dengan Kerajaan Lituania. Kendati begitu, ia tidak mendapat peran apapun karena terlahir dengan sejumlah penyakit termasuk cacat pada kakinya. Masa remajanya dihabiskan dalam rasa malu yang besar karena cacatnya. Mungkin karena alasan ini, ia pun tidak mendapat pendidikan yang bagus dibandingkan saudara-saudarinya.

Keterbatasan fisik ini sering pula membawa Michał kepada kesadaran, bahwa Allah menolak kehadirannya di dunia. Pada masa ini, cinta kasih rasanya jauh dari hidupnya. Kedua orangtuanya kerap tidak memberi tanggungjawab lebih kepadanya. Alhasil, masa remaja Michał hanya dihabiskan dengan bergaul dengan kaum pandai besi di kerajaan. Pekerja padai besi ini rajin mengirimkan hasil karyanya berupa sibori dan piala kepada para uskup di Polandia.

Namun begitu, dari perjumpaan dengan pandai-pandai besi pembuat sibori itu, Michał menemukan panggilannya. Ia menyadari, bahwa ada Kristus dalam karya-karya para seniman ini. Setidaknya, lewat karya-karya yang kerap digunakan para uskup dan pastor saat Ekaristi itu, Tuhan hadir. Refleksi soal anggur dalam sibori, soal Kristus yang hadir, membuat Michał terkesima akan panggilan Allah. Ia ingin bertatapan langsung dengan Allah lewat anggur dalam sibori. Saat Allah hadir itu, ia hendak bercerita tentang banyak hal termasuk pertanyaan kenapa dirinya cacat pada kakinya.

Ketertarikan menjadi imam membawanya bergabung dengan Ordo Agustinus tahun 1460. Kemudian, ia dikirim mengikuti masa novisiat di Kraków, Polandia. Di tempat itu juga, ia studi teologi dari tahun 1461-1465. Dalam rentang tahun ini, ia mengucapkan kaul kekalnya.

Selama studi di Kraków, Frater Michał juga tertarik dengan tulisan Agustinus tentang karya-karya Plato. Dari Agustinus, Michał menemukan bahwa kehidupan kontemplasi adalah satu-satunya jalan mencapai pengetahuan dan kebahagiaan. Ia juga menemukan, bahwa bimbingan yang tepat untuk mencapai kehidupan yang baik adalah Kitab Suci.

Kesadaran bahwa Kitab Suci adalah pintu masuk menemukan ilham Allah membawanya pada pertemuan dengan Pastor Świętosław Milczący OSA, dosen yang juga sangat mengagumi Agustinus. Bagi dua generasi berbeda umur ini hubungan manusia dengan Allah dimulai dari creation ex nihilo, “penciptaan keluar dari apa yang tidak ada”. Pengalaman perjumpaan dengan Tuhan harus berangkat dari refleksi bahwa kita berdosa (nihilo) menuju manusia baru (creation).

Mamon dan Tuhan
Kontemplasi membuat Pastor Michał sangat memperhatikan kehidupan batiniah. Ia sangat menjunjung tinggi harmonisasi antara tubuh dan jiwa. Dalam setiap kontemplasinya, ia merasakan bahwa jiwa manusia diciptakan dalam citra Allah, dan pengetahuan menjadi alat mengenal Tuhan. Pengetahuan yang benar menurut sang rahib adalah memasrahkan diri kepada kehendak Allah. Perjumpaan dengan Allah ini diwujudkan juga dalam realitas kasih dengan sesamanya.

Rasanya Pastor Michał memang cukup beruntung. Ia tidak sendiri pada zamannya. Saat seluruh hidup ia curahkan demi meraih kekudusan. Ia juga menemukan orang-orang yang sehati dengannya. Ia dekat dengan Santo Yohanes Cantius, Santo Stanisław Kazimierczyk, Santo Szymon dari Lipnica, dan Beato Ladislas dari Gielniow. Dari kedekatan ini, Pastor Michał merasakan betapa dirinya sangat berdosa bila dibandingkan dengan orang-orang kudus ini.

Tentang Ladislas sendiri, Pastor Michał melihatnya sebagai pribadi yang punya visi besar. Ladislas ingin menggantikan penderitaan Kristus di dunia dengan penderitaannya. Juga dengan Stanislaw, seorang yang tidak takut mati demi Kristus, Pastor Michał pun sangat mengaguminya.

Pastor Michał pun semakin bersemangat. Ia ingin meninggalkan kenikmatan duniawi dan memasrahkan diri kepada Allah. Kebesaran hati ini membuat dirinya kerap lupa akan siapa dirinya. Sampai pada titik tertentu, ia merasa Kristus adalah satu-satunya sumber keselamatan.

Meninggalkan yang Duniawi
Besar kapal besar juga gelombang, peribahasa ini cocok menggambarkan kehidupan Pastor Michał di saat puncak usahanya mengejar kekudusan. Ada yang mendesaknya untuk mengingat kembali dari mana ia berasal. Salah satunya adalah Giedrojcie. Raja Lithuania memintanya agar tidak melihat kemahakuasaan Allah sebagai sesuatu yang berlebihan. Di dunia ini, ada kuasa yang lebih besar yaitu raja.

Namun, Pastor Michał bergeming. Ia menolak segala sesuatu yang berhubungan dengan kerajaan Lithuania. Ia tidak ingin menjadi hamba duniawi. Ia meyakini, harta itu akan menghalangi niatnya bertemu Tuhan. Ia pun pelan-pelan membangun tembok pemisah antara agama dan kerajaan, antara mamon dan Allah.

Begitulah, ketekunan Pastor Michał dalam mengikuti jalam Tuhan akhirnya memaksa kerajaan mencabut atribut “Setangkai Mawar” yang tersemat dalam diri Pastor Michał karena ia masih mejadi bagian dari keluarga kerajaan. Dengan pencabutan atribut kerajaan ini, praktis ia bukan lagi berdarah kerajaan. Namun, tindakan ini tidak berbuah penyesalan bagi Pastor Michał. Ia justru gembira, karena bisa menjadi manusia yang bebas “mendaki” kekudusan.

Tantangan tidak hanya berhenti pada peristiwa itu. Beberapa tahun setelah pencabutan hak istimewa itu, Pastor Michał dijatuhi hukuman oleh kerajaan karena dianggap pembangkang. Ia dijebloskan dalam penjara hingga akhir hidupnya. Ia meninggal tahun pada 4 Mei 1485 sebagai Rahib Agustinian dalam penjara.

Pastor Michał harus menghembuskan nafas terakhirnya karena pendarahan akibat salah satu kakinya yang cacat dipotong. Jazadnya lalu dimakamkan di Gereja Santo Markus Polandia tahun 1521. Kemudian tahun 1624, jazadnya dipindahkan dalam sarkofagus ke gereja milik Ordo St Agustinus. Pemindahan relikwinya dirayakan dalam Misa yang dipimpin Uskup Auxiliar Kraków, Mgr Tomasz Oborski (1571-1645).

Proses beatifikasi dimulai dari Keuskupan Kraków beberapa tahun setelah kematiannya. Sayang proses ini sempat berhenti. Dorongan untuk memulai proses ini dimulai lagi tahun 1980-an dan berakhir tahun 2001 saat Paus Benediktus XVI menggelarinya venerabilis. Setelah melewati waktu bertahun-tahun, Paus Fransiskus menandatangani dektit beatifikasi Pastor Michał.

Pastor Michał dibeatifikasi pada 7 November 2018 karena kesalehan hidup dan buah pikirnya. Ia diperingati setiap tanggal 4 Mei.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.08 2019, 24 Februari 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here