Paus Fransiskus: Jangan Tanggapi Krisis dengan Sikap Seperti Pontius Pilatus

918
Paus Fransiskus. [Dok.lastampa.it; published 22092013]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.comPermohonan Paus kepada lembaga-lembaga dan umat Katolik, mengingatkan mereka untuk ikut terlibat dalam politik.

“Tidak ada masa depan bagi negara, masyarakat atau dunia mana pun, kecuali kita belajar untuk menunjukkan solidaritas yang lebih besar.” Ungkapan ini disampaikan Pemimpin Umat Katolik sedunia, Paus Fransiskus dalam rangka menjalin solidaritas, sebuah cara untuk mengukir sejarah.

Solidaritas juga merupakan semangat utama di dalam diri, dimana didalamnya ada berbagai pertentangan, ketegangan, dan perlawanan dalam mencapai suatu harmoni yang menghasilkan kehidupan. “Jangan biarkan siapa pun atau apa pun mengambil harapanmu dan teruslah maju,” ajak Paus.

Sehubungan dengan ajakan tersebut, Paus Fransiskus mengikuti teladan Yesus, pergi ke batas-batas luar kehidupan dengan merangkul orang miskin dan para tahanan hingga mereka dapat mengatakan: “Saya merasa di rumah ketika saya berada di antara kamu.”

Sambil menunjuk ke arah bangunan Gereja Katedral, Paus berkata: “Rumah ini adalah rumahmu. Kita semua adalah saudara.” Yesus tidak ragu-ragu, dia tidak apatis, dia membuat pilihan dan mengikutinya sampai akhir. Dia memilih untuk menjadi manusia dan karenanya menjadi pelayan, hingga menjemput ajal di kayu salib.

Berderma sebagai Cara Hidup
Gerakan amal (charity), menurut Paus, bukanlah seperti bantuan yang berlebihan dari suatu negara. Berderma adalah pilihan hidup, cara hidup, dan kehidupan. Itu adalah jalan kerendahan hati dan solidaritas.

“Kerendahan hati dan solidaritas Kristus bukanlah suatu paham moral atau sentimen tertentu (karena iri hati). Kerendahan hati Kristus adalah nyata. Yakni memilih untuk menjadi kecil, bersama orang-orang kecil, dengan yang terpinggirkan, untuk bersama-sama dengan kita yang juga para pendosa,” kata Paus Fransiskus.

Tetapi berhati-hatilah: hal itu bukan ideologi. Hal tersebut adalah cara hidup dan keberadaan yang diilhami oleh cinta dan berasal dari hati Tuhan. “Yesus tidak datang ke dunia untuk pamer. Yesus adalah jalan dan jalan itu adalah untuk menyusuri kehidupan. Saya bersyukur kepada Tuhan atas komitmen untuk mengikuti-Nya, bahkan di dalam lingkungan yang sulit seperti di balik sel-sel penjara di mana terdapat penderitaan,” tutur Paus.

Menunjukan Belas Kasihan
Tetapi kita tidak dapat mengikuti Yesus di sepanjang jalan amal kebaikan apabila kita tidak saling mencintai di atas segalanya, jika kita tidak berusaha untuk saling bekerja sama, untuk saling memahami dan mengampuni, mengenali batasan dan kesalahan kita sendiri.

Jadi kita perlu menunjukkan belas kasihan setiap kali melakukan tindakan belas kasih dan amal, dengan selalu memberikan cinta dan kerendahan hati.

Lebih lanjut, Paus menyinggung, terkadang orang menjadi sombong ketika melayani orang miskin, sebagian besar menonjolkan diri mereka, atau berbicara tentang orang miskin tetapi tidak benar-benar melakukan apa pun.

Beberapa orang bahkan menggunakan orang miskin untuk memenuhi kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok mereka sendiri. “Ini manusiawi tetapi hal ini tidak akan berhasil. Ini berdosa. Orang-orang seperti ini akan lebih baik jika tinggal di rumah,” imbuh Paus.

Tanggung Jawab Gereja
Dalam peristiwa sejarah sekitar enam tahun yang lalu (September 2013), masyarakat Italia sangat membutuhkan pertolongan, terutama Sardinia (dimana terjadi bencana banjir Sardinia yang menewaskan sedikitnya 18 orang, ribuan orang kehilangan tempat tinggal).

“Maka, mereka yang memiliki tanggung jawab politik dan sipil sekaligus sebagai warga negara, perlu secara aktif mendukung ini. Beberapa anggota komunitas Kristen dipanggil untuk terlibat dalam bidang politik ini yang merupakan suatu “bentuk amal yang tinggi”, sebagaimana biasa dikatakan oleh Paulus VI.

Jadi, sebagai Gereja kita semua memiliki tanggung jawab yang kuat untuk menabur benih harapan, dengan aksi solidaritas dan mencoba untuk bekerja dengan lembaga-lembaga publik di bidang keahlian kita masing-masing.”

Sebelum doa Angelus dilangsungkan, Paus mengingat hubungan kuat dengan Sardinia (pulau terbesar kedua setelah Sisilia di Laut Tengah) seraya berpesan, “Selalu menjadi anak-anak sejati Bunda Maria dan Gereja, serta menunjukannya dalam kehidupan sehari-hari Anda, mengikuti teladan para kudus seperti biarawan kapusin seperti biarawan kapusin Tommaso Acerbis da Olera,” ujar Paus menyebut teladan imam OFM Kapusin asal Bergamo, Italia dan telah meneriman beatifikasi pada 21 September 2013.

Dialog Sebagai Sarana Discernment
Paus Fransiskus juga bertemu dengan para tokoh budaya di ruang kuliah utama Fakultas Teologi Kepausan yang dijalankan oleh sesama Yesuit dari Perancis.

Paus mengatakan bahwa suatu krisis dapat menjadi kesempatan untuk pemurnian dan bagi kita untuk memikirkan kembali model sosial-ekonomi kita dan konsep kemajuan tertentu yang telah mengarah pada suatu tipu muslihat sehingga kita dapat memulihkan semua dimensi kemanusiaan.

Discernment, salah satu latihan rohani ala Yesuit -dapat diartikan sebagai proses di mana kita melihat atau meneliti secara seksama, apa yang membedakan hal yang satu dengan yang lain- tidak menutup mata atau berimprovisasi. Tetapi, menurut Paus Fransiskus, idasarkan pada kriteria etis dan spiritualitas tertentu dan bertanya kepada diri sendiri, apa yang baik.

Seseorang semestinya tidak hanya dilihat sekadar sebagai wujud lahiriah manusia semata. Discernment berarti menafsirkan suatu realitas secara objektif dan tidak melarikan diri dari padanya.

Begitu pula dalam hal budaya dialog, tidak berarti meratakan semua perbedaan dan pluralisme (salah satu risiko globalisasi) tanpa pandang bulu, tidak pula membawa mereka kepada tingkat yang lebih ekstrim, yang berpotensi menjadi penyebab konflik.

Berdialog berarti menawarkan kesempatan untuk diskusi terbuka. “Ini artinya memahami dan menghargai karunia orang lain, melihat mereka sebagai faktor pendorong pertumbuhan, bukannya (malahan) menjadi acuh tak acuh terhadap mereka atau takut kepada mereka,” tegas Paus Fransiskus. Jadi “jangan pernah takut bertemu, berdialog dan berdebat di tingkat mana pun.”

Dan jangan takut untuk membuka diri terhadap transendensi (hubungan dengan yang Ilahi), ke dalam perjumpaan dengan Kristus atau membawa hubungan Anda dengan Kristus ke tingkat yang lebih tinggi.

”Iman tidak pernah menutup pikiran seseorang untuk berpikir, tetapi membukanya kepada sebuah pandangan yang menyeluruh tentang kemanusiaan, kenyataan, serta melindungi manusia yang (semula) dilihat hanya sebagai seonggok daging atau hal lahiriah manusia semata.”

Solidaritas demi Pembaruan Masyarakat
Kata solidaritas bukan hanya bagian dari kosakata Kristen. Solidaritas adalah istilah kunci dalam kosakata kemanusiaan. Melihat berbagai fakta dalam konteks krisis, mempromosikan budaya perjumpaan dan dialog dalam semangat solidaritas merupakan hal yang penting untuk “pembaruan masyarakat kita”.

Paus Fransiskus bahkan meminta orang-orang atheis atau mereka yang tidak percaya untuk menunjukkan solidaritas melalui tindakan mereka karena kita seharusnya tidak melihat orang lain sebagai angka melainkan sebagai pribadi. “Pelatihan bagi para imam tetap menjadi prioritas, tetapi pelatihan untuk kaum awam juga sangat penting,” tandas Paus yang bernama lengkap Jorge Mario Bergoglio.

Saya tidak ingin memberikan kuliah akademik. Saya hanya ingin menyoroti kekecewaan dan khayalan (delusion) yang disebabkan oleh krisis ekonomi, serta krisis ekologi, pendidikan, dan moral. Krisis ini menyangkut masa kini dan masa lalu, serta keberadaan masa depan umat manusia di masyarakat Barat saat ini, yang berdampak pada seluruh dunia.

Tidak pernah sebelumnya dalam empat abad terakhir ini, kepastian terhadap hal mendasar umat manusia dipertanyakan sebanyak mereka di zaman sekarang ini. Paus merujuk pada penurunan kualitas lingkungan, ketidak-seimbangan sosial, kekuatan senjata yang mengerikan, sistem ekonomi dan keuangan, serta pengembangan dan pengaruh media, komunikasi dan transportasi.

Perubahan ini terkait dengan cara di mana umat manusia turut berkembang di dunia. Beberapa reaksi terhadap krisis dapat mencakup pengunduran diri dan pesimisme, berkaitan dengan berbagai bentuk kemungkinan intervensi yang efisien.

Tetapi hal itu akan menjadi kesalahan besar untuk “keluar dari” situasi historis saat ini, menyalahkan aspek-aspek yang paling negatif, dan mengadopsi mentalitas yang mirip dengan apa yang disebut “Apocalypse” atau kiamat, gerakan spiritual dan teologis yang pernah terjadi pada abad ke-2 Masehi.

Konsepsi pesimistik tentang kebebasan manusia dan proses historis ini menyebabkan semacam kelumpuhan akan kecerdasan dan kehendak manusia. Kekecewaan dapat membuat orang berlari, dengan mencari saat-saat yang melegakan. Sikap ini mirip dengan sikap Pontius Pilatus: mencuci tangan seseorang dari sesuatu.

“Sikap ini tampaknya pragmatis, tetapi dalam kenyataannya menunjukkan pengabaian terhadap keadilan, kemanusiaan dan tanggung jawab sosial serta mengarah pada individualisme, kemunafikan, dan bahkan sinisme,” tutur Paus Fransiskus.

Sebaliknya, Paus menekankan akan pentingnya pengetahuan integral seseorang. Penafsiran yang hanya bersifat sebagian terhadap suatu paham/ ideologi adalah tidak baik. Hal itu hanya memicu harapan dan kekecewaan orang lain.

“Realitas perlu ditafsirkan tetapi juga dialami, tanpa rasa takut, tanpa melarikan diri dan tanpa menimbulkan bencana.” Krisis saat ini, menurut Paus, adalah suatu tahap, seperti hal memberi, yang juga membutuhkan usaha.

“Akan ada saat-saat sulit dan penderitaan, tetapi hal tersebut akan menuntun kita pada suatu kehidupan yang baru,” ujar Paus Fransiskus.

 

Sumber: lastampa.it (published 22/09/2013)
Penerjemah: Antonius Bilandoro

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here