Perempuan Pewarta di Medan Perang

166
Maria Rita Hasugian (berbicara) dan Adek Berry (ujung kanan).
[HIDUP/Hermina Wulohering]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Profesi jurnalis identik dengan tantangan dan ancaman di lapangan, terutama bila sang pewarta dikhususkan meliput di area konflik. Situasi tersebut tak jarang mengantarkan wartawan berhadapan dengan maut. Karenanya sebagian masyarakat masih memandang profesi ini identik dengan dunia maskulin.

Di Indonesia, beberapa perempuan berhasil mendobrak pandangan ini. Maria Rita Hasugian, jurnalis Tempo yang telah berkali-kali meliput di wilayah konflik, baik nasional maupun internasional, mengatakan menjadi jurnalis di daerah konflik harus berani, bermental baja, dan peka terhadap situasi.

Bagi Rita, meliput konflik bukanlah prestasi. “Kepuasan saya meliput konflik adalah bisa mengungkapkan sesuatu dari mereka yang tidak pernah didengar suaranya atau dibungkam,” tuturnya.

Jurnalis lain, Adek Berry, pewarta foto Agence France-Presse di area konflik, juga mengatakan saat berada di lapangan, wartawan tak menempatkan dirinya sebagai jurnalis laki-laki atau jurnalis perempuan, tapi hanya sebagai jurnalis. “Bukan karena saya perempuan, saya harus diperlakukan berbeda,” tuturnya dalam talkshow bertajuk Successes and Challenges of Women Journalists in Indonesia di @America, Jakarta, Selasa, 12/3.

Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Heather Variava, mengatakan, kualitas seorang jurnalis harus dilihat hanya dari hasil kerjanya. “Sesuai tema Hari Perempuan tahun ini, Balance for Better, perlu ada keseimbangan dalam peran perempuan di bidang jurnalisme,” katanya.

Hermina Wulohering

HIDUP NO.13 2019, 31 Maret 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here