Generasi Milenial dalam Pusaran Golput, Berbahaya Jika Terus Dibiarkan

470
Ketua Program Studi Filsafat STF Driyarkara, DR. A. Setyo Wibowo, SJ menyampaikan paparannya dalam acara "Ngopi Bareng Yesuit, Memilih Pemimpin: hak atau kewajiban?” di Gedung Sanggar Prathivi, Jakarta pada Sabtu (30/3/2019). [Dok.Prompang Jesuit]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Maraknya calon-calon pemimpin Indonesia yang berasal dari generasi milenial patut diapresiasi. Selain itu, banyak pula pejabat negeri ini yang bergaya (sok) milenial untuk bisa merebut hati kaum milenial.

Generasi milenial memang memiliki magnet tersendiri. Pasalnya, generasi yang menurut kajian Pew Research Center lahir di tahun 1981-1996 ini mendominasi sekitar 35-40 persen suara di Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019.

Keterlibatan generasi milenial dalam kancah politik negeri ini perlu juga memperhatikan basis pemahaman mereka akan sejarah dan politik Indonesia. Bahwa masih ada generasi milenial yang kurang paham sejarah dan politik Indonesia adalah realitas yang tidak dapat dipungkiri.

Pertanyaan penting: bagaimana latar belakang generasi milenial Indonesia? Generasi milenial adalah generasi yang ‘melek’ teknologi. Berdasarkan Indonesia Millenial Report 2019, sebanyak 70,4 persen milenial mengakses berita terkini melalui media digital karena kemudahan akses, kecepatan, dan multi-tasking.

Suasana diskusi NgopiBareng Jesuit, “Memilih,Hak atau Kewajiban” pada 30 Maret 2019 di Gedung Sanggar Prathivi. [Dok.Prompang Jesuit]
Mereka cenderung mudah membentuk opini hanya berdasarkan puzzle berita media digital dan kurang melakukan verifikasi pada basis data, pengetahuan, dan informasi yang akurat.

Demikian beberapa hal diatas yang disampaikan oleh Ketua Program Studi Filsafat STF Driyarkara, DR. A. Setyo Wibowo, SJ, yang akrab dengan sapaan Romo Setyo, dalam diskusi Ngopi Bareng Jesuit bertemakan: ‘Memilih, Hak atau Kewajiban’ pada Sabtu (30/3/2019) di Gedung Sanggar Prathivi.

“Saya pernah ditanya oleh salah satu anak muda, generasi milenial: ‘Memangnya kenapa ‘Mo kalau khilafah memimpin negara ini? ‘Kan Indonesia negara demokrasi’. Saya kebingungan juga menghadapi pertanyaan milenial ini. Bagi saya sederhana, mereka tidak mendapatkan pendidikan Pancasila dan sudah hidup dalam kotak-kotak agama.”

Dilihat dari perspektif sejarah, kemerdekaan, dan demokrasi Indonesia lahir melalui buah perjuangan intelektual para pahlawan untuk mendirikan fondasi negara dan pengorbanan luar biasa para mahasiswa untuk menciptakan iklim demokrasi, misal Mahasiswa 66 dalam menggulingkan Orde Lama dan Mahasiswa 98 dalam meruntuhkan gurita Orde Baru.

Kenyataan lainnya adalah semakin nyata keberadaan kelompok-kelompok yang gencar mendirikan khilafah dan merongrong dasar negara Pancasila.

Dalam pembukaan UUD 1945 jelas dinyatakan bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia disusun atas dasar Pancasila: Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan Indonesia, dan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

“Kedudukan Pancasila berada di atas UUD 1945. Oleh karenanya, segala bentuk usaha mengubah/ mengganti dasar negara Pancasila sama halnya membubarkan negara itu sendiri. Lalu, apa relevansinya dengan golongan putih (golput)?,” tutur Pemimpin Redaksi Majalah BASIS itu..

Ilustrasi: tulisan dinding di Museum Antara, Jakarta Pusat (30/3). [Dok.Ursula Adeodata Stephania]
“Sialnya,” lanjut Romo Setyo, “golput sudah mengalami pergeseran makna. Kini golput dipandang sebagai sikap tidak mendukung calon pemimpin manapun.

Golput adalah bentuk ketidak-hadiran seseorang dalam pemilihan umum karena kecewa terhadap calon pemimpin yang dirasa tidak akan membawa perubahan sama sekali (stagnan), atau parahnya menciptakan kemunduran, dari kondisi baik yang sudah ada.”

Menurut fakta yang ada, Romo Setyo berpendapat, golput pada masa itu adalah gerakan protes para mahasiswa dan pemuda atas pelaksanaan pemilu pertama pada era Orde Baru di tahun 1971.

Peserta pemilu yang mendukung gerakan ini tetap disarankan untuk datang ke bilik suara dan mencoblos bagian putih di luar gambar partai politik di surat suara. Tokoh yang terkenal memimpin gerakan ini adalah Arief Budiman, sedangkan pencetus istilah ‘golput’ adalah Imam Waluyo Sumali.

Atas pergeseran makna yang terjadi, penggunaan istilah abstentisme rasanya cukup menggambarkan realitas sosial politik yang terjadi saat ini untuk orang-orang yang tidak mau peduli, tidak terlibat, dan tidak menentukan sikap.

“Golput adalah golongan yang menolak rezim, demokrasi seolah-olah, menentang partai boneka, orang idealis (aktif, tidak pasif), dan datang untuk mencoblos kertas putih tanda gambar”, jelas Romo Setyo dalam paparannya tentang golput vs abstentisme.

Sikap untuk menjadi golput adalah hak sekaligus pilihan politik setiap orang dan belum ada aturan yang melarang seseorang menjadi golput. Namun, golput akan berbahaya jika terus dibiarkan.

Sementara bagi rohaniwan dan budayawan Pastor Franz Magnis Suseno SJ, golput dapat memperlemah demokrasi Indonesia yang belum mantap dan membawa kembali bangsa ini ke arah pemerintahan yang otoriter.

Guru Besar Emeritus STF Driyarkara dan Budayawan, Pastor Franz Magnis Suseno SJ. [Dok.Prompang Jesuit]
Oleh karenanya, guru besar Emeritus STF Driyarkara yang akrab disapa Romo Magnis menyampaikan bahwa generasi milenial perlu membekali diri dengan pengetahuan sejarah dan politik Indonesia yang mumpuni.

Istilah ‘Jas Merah’, jangan sekali-kali melupakan sejarah, memiliki relevansi yang tak lekang dimakan oleh waktu terhadap persoalan-persoalan negeri ini.

Maria Catarina Sumarsih, ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan, seorang mahasiswa Universitas Atma Jaya (korban tragedi Semanggi I) yang turut hadir dalam acara diskusi. [Dok.Prompang Jesuit]
“Jika pemilu tahun 2019 didominasi oleh generasi milenial, maka penting bagi generasi milenial untuk menentukan pilihan politiknya dan tidak menjadi ‘latah golput’,” tandas Romo Magnis.

Golput bukanlah pilihan sikap asal beda. Penting bagi generasi milenial untuk terlibat aktif dan memandang pemilu bukan sekadar mencari sosok pemimpin yang ideal melainkan mencegah terjadinya kemunduran perjuangan demokrasi selama ini.

 

Penulis: Ursula Adeodata Stephania
Editor: Anton Bilandoro

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here