Ketua NU NTT dan Kepanitiaan Pesparani

223
Muhammad AS Hikam [Dok.pribadi]
3/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Ide Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor B. Laiskodat mengusulkan Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul ‘Ulama (PWNU) NTT, Jamaludin Ahmad sebagai Ketua Panitia Pelaksana Pesta Paduan Suara Gerejani (Pesparani) Katolik Nasional Tahun 2020, cukup menarik untuk dicermati, kendati mungkin bukan hal yang perlu diperdebatkan.

Menariknya adalah, setidaknya bagi saya, ide seperti ini dulu pernah diwujudkan dalam praktik, pada era Orde Baru (Orba). Seingat saya, pelibatan dalam kepanitiaan acara-acara keagamaan, seperti Natalan, Maulud, Paskah, dan lain-lain diusahakan dari pemeluk agama yang berbeda-beda.

Piala Bergilir Presiden Republik Indonesia yang akan diperebutkan dalam Pesparani 2018. [dok.Pesparani Sumatera Selatan]
Dalam perspektif demokrasi Pancasila, itulah salah satu perwujudan dari kebhinekaan dan toleransi umat beragama. Dalam praktik, upaya menjadikan kepanitiaan lintas-agama itu, ternyata tak dipertahankan atau diteruskan di era pasca-reformasi.

Mungkin karena semangat penolakan terhadap rezim otoriter tersebut. Di era demokrasi setelah jatuhnya Orba, dinamika masyarakat dan perpolitikan di negeri ini mengalami perubahan yang kadang-kadang terkesan kontradiktif.

Di satu pihak, kehendak berdemokrasi (yang berdasar nilai-nilai keterbukaan, toleransi, dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia-HAM) merupakan salah satu pembeda dari sistem sebelumnya.

Namun di pihak lain, praktik berdemokrasi juga membuka pintu bagi kembalinya kesadaran identitas primordial yang berdampak negatif berupa sektarianisme dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan politik, praktik demokrasi pun dimanfaatkan untuk menyemai dan mengembangkan apa yang kemudian dikenal sebagai politik identitas.

Pergelutan dialektis antara kedua kecenderungan itulah menghasilkan dinamika baru di Indonesia yang kadang dianggap begitu mengkhawatirkan sehingga godaan untuk kembali ke zaman “old” mendapat respon positif terhadap (sementara) anggota masyarakat dan elite.

Bagi para pendukung demokrasi tentu dampak negatif dari fenomena politik identitas sangat disadari, tetapi dengan mencari solusi yang bukan kembali kepada masa lalu (yang berarti menggunakan model masyarakat otoriter).

Presiden Jokowi dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin berfoto bersama Panitia dan Pemenang Pesparani 2018 di tangga Istana Kepresidenan Bogor, Senin (12/11/2018). [Dok. setkab.go.id]
Tantangan sektarianisme dan politik identitas dicarikan solusi melalui pendekatan multikuturalisme. Bukan saja pengakuan terhadap perbedaan identitas tetap dipertahankan, tetapi juga ikut merayakan perbedaan dari liyan dijadikan sebagai jawaban.

Dengan demikian, perbedaan bukan hanya diakui tetapi juga dialami secara empatik tanpa perlu merasa ada yang terkurangi atau terkorbankan identitas yang dimilikinya.

Praktik berdemokrasi, dengan demikian, diupayakan menjadi lebih substantif karena pengalaman merayakan perbedaan menjadi hal yang bukan hanya ditekankan oleh eksternalitas dari masyarakat, misalnya apa yang dilakukan rezim Orba di atas.

Baca juga: https://www.hidupkatolik.com/2019/04/24/35566/kwi-apresiasi-penunjukan-ketua-pwnu-sebagai-ketua-pelaksana-pesparani-ii/

Penurunan Bendara Merah Putih saat Misa Penutupan Pesparani I [HIDUP/Yusti H. Wuarmanuk]
Bila pandangan ini ada benarnya, maka upaya-upaya seperti di NTT, yaitu kerjasama antara pemerintah dan organisasi masyarakat sipil seperti NU dalam merayakan perbedaan budaya, dalam hal ini gelaran Pesparani, adalah eksperimentasi yang perlu diapresiasi.

Tentu saja kritik bisa saja akan muncul, namun jika kesadaran membangun demokrasi substantif dan meredam sektarianisme cukup kuat dan berlanjut, saya kira hasilnya akan positif di masa depan. Semoga.

Muhammad AS Hikam (pengamat politik, Mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi pada kabinet Persatuan Nasional era Presiden Gus Dur)

Editor: Antonius Bilandoro

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here