Dari Gereja Mandiri Menuju Gereja Misioner

1410
4.5/5 - (2 votes)

Perhatian Serius
Mgr Leo mengakui, usaha menuju visi misioner ini kerapkali terhalang oleh ragam rintangan. Aneka masalah sosial bahkan politik menjadi bumbu pastoral. Ia mengatakan, anjuran saja tidak cukup. Baginya, paling penting adalah membawa diri dalam kedekatan mesra dengan Tuhan. Semangat ini sudah dihidupi oleh pendahulunya, Mgr Herman Ferdinandus Maria Münninghoff OFM.

Di bidang kesehatan, perhatian Keuskupan Jayapura salah satunya pada tingginya angka pengidap HIV/AIDS di Kota Jayapura. Suasana hidup dalam masyarakat yang bebas membuat tak sedikit umat yang terbawa arus. Dinas Kesehatan Provinsi Papua dalam laporannya menunjukkan, hingga 30 September 2018, tercatat sekitar 38 ribuan orang di provinsi itu. Dari jumlah ini, Nabire menduduki posisi tertinggi. Setelahnya menyusul Jayapura, Mimika dan Jayawijaya. Dengan membaca data ini saja sudah jelas, ada masalah serius dalam profil kesehatan masyarakat. Boleh jadi, lemahnya disiplin moral menjadi salah satu penyebab utamanya. “Ini memang persoalan di Papua dan tentu butuh kerjasama antar pihak atau instansi seperti pemerintah dan Gereja,” ungkap Mgr Leo.

Ketidakadilan dan korupsi telah merasuk dalam kehidupan umat sehingga mereka lupa akan panggilannya sebagai warga Gereja. Ini tidak saja di pemerintahan tetapi juga di kehidupan menggereja. Korupsi dalam kacamata pelayanan tidak saja soal uang, tetapi ketulusan hati untuk mau melayani. Contoh sederhana penyelenggaraan pendidikan di kampung–kampung terbengkalai karena pendidik tidak berada di tempat tugasnya. “Kapan pendidikan di Papua bisa berada pada level pendidikan berbasis hati nurani?” tanya Uskup Leo.

Sebagai seorang Fransiskan, Mgr Leo selalu berbicara soal relasi manusia dengan saudara alam. Sikap puja-puji manusia kepada alam semesta menjadi refleksi Gereja berhadapan dengan budaya masyarakat Papua pada umunya. Tetapi, pola tingkah manusia kepada alam semesta akhir-akhir ini makin menjadi-jadi. Pastor Eddy menyebutkan, “orang tidak mengakui Allah sebagai pencipta dan penyelenggara alam. Alam hanya dilihat sebagai materi yang mendatangkan uang. Pohon-pohon dihitung berapa kubik dan berapa keuntungannya. Gunung-gunung ditaksir berapa kandungan tambangnya.”
(A. Eddy Kristiyanto OFM, 2007)

Mgr Leo juga mengakui, pemanfaatan alam menjadi sangat sulit dideteksi oleh Gereja di Jayapura. Manusia sewenang-wenang melepaskan tanggungjawab merawat alam. Tepat sekali, dalam hal ini, St Fransiskus Assisi sebagai pelindung Keuskupan Jayapura, mendapat tempat spesial di hati Mgr Leo. Persaudaraan kosmis tetap dikagumi Mgr Leo sambil getol menyuarakan keadilan pada alam.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here