Teologi Pembebasan Uskup Jayapura

533
Rate this post

Mgr Leo memberikan tekanan yang sangat nyata. Memang secara eklesiologi dari ilmu kegerejaan benar apa yang menjadi pilihan keuskupan. Gereja hanya diselamatkan melalui gerakan misioner. Jadi tanpa itu pasti Gereja akan melambat kemudian tidak bersemangat, tetapi dalam gerakan misioner Gereja menyelamatkan dirinya sendiri.

Meski hadir sebagai Gereja misioner, masih banyak persoalan-persoalan yang belum selesai seperti persoalan HAM. Sejauh mana keterlibatan Gereja?

Masalah HAM di Papua ada banyak sebab. Pasti ada berbagai kepentingan yang memainkan peran. Jadi bukan hanya persoalan Freeport saja. Itu mungkin hanya sebagian kecil yang berhubungan dengan itu. Akan tetapi ada soal-soal lain mulai dari keamanaan, kepentingan ekonomi, dan ada orang yang di luar Papua atau negara lain yang main peran.

Hadirnya orang-orang yang berduit punya maksud tersembunyi. Maka persoalan ini terus berlarut karena masyarakat tidak dilibatkan secara langsung, mereka dilibatkan tentu melalui orang-orang tertentu yang mempunyai intensi sendiri. Penanganan masalah itu pun hanya menyangkut masalah yang luarnya saja tidak melibatkan misalnya siapa tokoh yang merancang kekacauan dan menindas serta memakan korban masyarakat setempat.

Dalam arti tertentu, pekerjaan rumahnya sangat besar. Tidak bisa dilibatkan hanya soal budaya setempat, tetapi kepentingan politik nasional bahkan internasional juga perlu dilibatkan.

Terus sejauh mana kehadiran Mgr Leo dalam menegakan HAM di Jayapura?

HAM pada masa Mgr Münninghoff dengan zaman Mgr Leo agak berbeda, terutama soal caranya. Kalau persoalannya sebetulnya lebih kurang sama. Mgr Leo yang dewasa ini menanganinya dengan menggali kekuatan dari dalam, tidak seperti dahulu memakai perangkat, orang-orang keuskupan, kaki tangan Mgr Munninghof di Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (KPKC), seperti Bruder Theo Van den Broek OFM.

Sekarang model seperti itu tidak ada. Yang baru dan diupayakan oleh Mgr Leo adalah tetap menggali kekuatan dari dalam. Pertama, dekat dengan masyarakat. Ia terjun langsung. Kedua, mengandalkan atau memberi peluang kepercayaan kepada lembaga-lembaga yang berhubungan langsung dengan kasus ini misalnya, KPKC atau (Justice Piece Integrity of Creation). Juga melibatkan anggota masyarakat atau kepentingan kelompok-kelompok tertentu.

Kalau begitu, apa saja buah-buah misionaris
yang bertahan hingga kini?

Yang saya lihat warisan-warisan sampai saat ini muncul antara lain, pertama, Gereja yang bukan hanya peduli saja, tetapi terlibat lebih jauh seperti pada masalah pendidikan. Dahulu semua keuskupan di Papua, empat keuskupan itu semua tertangani dengan yayasan Katolik dan semuanya di Jayapura. Kelihatan Gereja melalui pendidikan hadir di pelosok-pelosok. Perhatian Gereja tidak surut sedikit pun.

Kedua, perhatian pada kemanusiaan, misalnya soal transportasi harus dikatakan bahwa Gerejalah yang mendahului transportasi yang dulunya mengalami isolasi. Bukan yang lain apalagi pemerintah. Gereja berusaha menerobos isolasi dengan menyediakan bukan jalan tetapi pesawat.

Ketiga, meskipun ini cara tradisional dan yang tidak mungkin dicabut daripada itu adalah perhatian pada pelayanaan kesehatan. Gereja dengan segala macam fasilitas yang tersedia terbatas, keuangan yang tidak melimpah, melibatkan diri.

Keempat, dahulu ada Radio Single Sideband (SSB) untuk berkomunikasi melalui siaran. Radio ini tidak ada tetapi dimunculkan sesuatu yang lain yaitu koran Tifa Irian Jaya (Tifa Papua), sayang sekali manajemennya kurang profesional hingga koran itu ditutup. Kelima, pemberdayaan masyarakat baik mengenai pertanian, peternakan, pertukangan, sudah beralih wujud tidak semaksimal dahulu, tetapi sekarang tetap ada.

Gereja Jayapura sangat kuat soal pendampingan Komunitas Basis Gerejawi (KBG). Pastor sendiri melihat apa peran utama KBG dalam penyelesaian persoalan di lingkungan gereja?

KBG sebenarnya rintisan awal tahun 2000-an. Kelompok ini terdiri dari beberapa keluarga beriman yang berkumpul secara periodik untuk membaca Kitab Suci dan mensharingkan pengalaman iman. Yang mengagumkan adalah orang-orang yang lebih sederhana “secara intelektual”, mau merefleksikan Kitab Suci.

Di Jakarta, misal, segala sesuatu tidak mandiri dalam arti banyak banyak pastor yang harus terlibat baru kegiatan berjalan. Di Jayapura, syukurlah kalau ada imam, kalau tidak ada mereka tetap berkumpul dan merenungkan Kitab Suci.

Ada kesadaran yang tinggi dari pemuka jemaat. Mereka bercerita soal pengalaman di kantor, di ladang, di sungai, atau danau atau pengalaman hidup sehari-hari. Mereka sangat percaya diri apalagi diberi suntikan ide, mereka bisa bercerita banyak hal. Mereka mencoba memahami maksud Tuhan melalui pengalaman-pengalaman itu. Mereka itu tidak merasa ini merupakan beban atau tanggungan yang harus dijalani.

Saya melihat KBG sebagai bentuk pembebasan, seperti halnya Teologi Pembebasan di mana orang dibebaskan melalui kelompok basis.

Di ulang tahun tahbisan uskup, apa harapan Pastor kepada Mgr. Leo?

Mgr Leo mengambil motto In Caritate et Humilitate Dei, “Dalam Kasih dan Kerendahan Allah” (Filipi 2:6-8). Menurut saya paling penting hadir untuk mempengaruhi bukan hanya pengalaman tetapi juga mempengaruhi sikap. Dalam arti tertentu Mgr Leo tidak menghendaki jabatan tertentu, ia ingin menjadi pelayanan dan membawa diri dengan kehidupan masyarakat. Lain dengan cara pemimpin Gerejawi yang sangat feodalistik.

Ia secara pribadi mengedepankan bahwa dengan cara ini, seorang pemimpin berinkarnasi dengan semangat Yesus Kristus. Dia menjalankan dengan prinsip meneguhkan hati, dorongan, dan motivasi.

Saya berharap Beliau di masa senja ini semakin bahagia dan sebagai orang beriman tetap terus diteladani dan sehat. Mudah-mudahan diwariskan kepada kepemimpinan selanjutnya dengan hati dan budi khas Papua. Dalam arti meskipun bukan orang Papua tapi melayani umat dengan sungguh-sungguh khas Papua.

Willy Matrona

HIDUP NO.14 2019, 7 April 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here