Bertolak ke Tempat yang Lebih Dalam

227
Rate this post

Di Kupang, NTT, Sr Laurentina Suharsih, PI bersama rekan-rekannya dari Kerasulan Anti-Human Trafficking Kongregasi Penyelenggaraan Ilahi melakukan pelayanan pendampingan bagi buruh migran yang menjadi korban trafficking. Baik korban yang hidup maupun korban meninggal akan dibantu agar bisa kembali ke tanah air. Untuk korban meninggal, Sr Laurentina biasanya mendampingi keluarga untuk mengurusi segala sesuatu terkait pemulangan jenazah dan siapa saja yang harus dihubungi. “Saya menjadi mediator antara yang di Kuala Lumpur dengan pemerintah di sini,” ujar suster yang juga Koordinator Daratan Timor untuk Koalisi Anti-Perdagangan Manusia ini.

Selama berkarya di NTT, Sr Laurentina melihat para pekerja migran paling banyak menyasar Malaysia sebagai negara tujuan. Biasanya kalau ada korban trafficking, khususnya korban dengan dokumen ilegal, proses pemulangan dari Kuala Lumpur tak lepas dari bantuan komunitas orang NTT di sana.

Meski begitu, Sr Laurentina mengatakan apapun itu, majikan tetap menjadi pihak yang harus bertanggung jawab. Sementara untuk korban yang dari PPTKIS atau memiliki dokumen resmi, biasanya tim Sr Laurentina akan menghubungi jaringan mereka di Malaysia yang kemudian akan menekan si majikan untuk membiayai pemulangan jenazah korban. “Jadi tidak hanya yang dokumennya tidak resmi saja yang bisa menjadi korban kekerasan dan ketidakadilan. Para pekerja migran yang berangkat secara legal pun bisa menjadi korban,” ujar Sr Laurentina saat dihubungi via telepon, Rabu, 17/4.

Saat menerima laporan kasus, Sr Laurentina dan rekan-rekannya akan menelusuri, biasanya juga bekerja sama dengan kepolisian. Mereka menelusuri ke kampung halaman korban, siapa yang merekrut dan siapa yang membawanya. Orang-orang yang terlibat ini bisa dikenai pasal dan dihukum. “Kami akan bertanya dan menelusuri perjalanannya sampai ke Malaysia,” ujarnya.

Pemberangkatan buruh migran biasanya melewati beberapa titik transit. Untuk yang di Pulau Timor, biasanya mereka berangkat dari kampung halaman, ditampung di Kupang secara sembunyi-sembunyi karena bukan dari balai latihan kerja resmi dari pemerintah. Setelah satu sampai dua minggu di Kupang, mereka akan dibawa menuju Batam atau Medan. Di sanalah proses pemalsuan identitas dilakukan. Setelah itu baru dibawa ke Malaysia. Kupang memang menjadi pintu gerbang buruh migran NTT. Sehingga untuk masalah korban trafficking baik hidup maupun meninggal, biasanya Kupang yang paling sibuk.

Sinergisitas
Meski telah mengalami ketidakadilan dan telah ditolong, Sr Laurentina mengaku tidak mudah membuat orang sadar telah menjadi korban trafficking. “Masih ada juga korban yang setelah dipulangkan ke Indonesia, memutuskan untuk pergi lagi,” ungkapnya. Keluarga juga sering menunjukkan reaksi sama. Ketika hendak dijelaskan bahwa apa yang menimpa anggota keluarga itu adalah trafficking, kadang-kadang keluarga tidak terima karena mereka memang membutuhkan uang.

Di NTT ada istilah uang sirih pinang, yaitu uang yang diberikan kepada pihak keluarga sebagai tanda jadi. Suatu kali ada buruh migran yang pulang dalam keadaan sakit parah. Sr. Laurentina dan timnya ingin membantu memperkarakan ini. Namun, pihak keluarga menolak karena telah menerima uang sirih pinang sebesar Rp 600 ribu. Dalam beberapa kasus lain, bahkan ada uang sirih pinang yang besarnya hanya Rp 100 ribu. Sementara sebagai tanda jadi, keluarga seolah tak bisa bersuara bila kelak ada ketidakadilan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here