Waspada Budaya Copy Paste

496
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Hidup di zaman serba mudah ini, kerap kali menyebabkan banyak orang manja, kehilangan daya juang dan kreatifitas sekaligus daya kritis. Orang tidak mau bersusah-susah. Ungkapan “Kalau bisa gampang, ngapain susah-susah,” sadar atau tidak, sudah menjadi tagline keseharian.

Kebiasaan copy paste adalah salah satu anak kandung dari sifat manja itu. Contoh: jika siswa atau mahasiswa mendapat tugas menyangkut pengetahuan tertentu, mereka langsung berselancar di internet dengan mesin pencari seperti google. Mereka langsung copy paste lalu mencetak dan mengumpulkan. Dosen atau guru pun puas karena murid atau mahasiswanya rajin mengumpulkan tugas.

Salahkah kebiasaan copy paste ini? Yang pasti, kecenderungan tersebut sangat potensial membiakkan kemalasan dan membunuh kreatifitas. Alasannya sederhana! Seseorang yang gemar melakukan copy paste cenderung kehilangan kesempatan memahami sebuah materi dengan lebih mendalam.

Sekali lagi, adakah yang salah dengan copy paste? Pada dirinya, copy paste tidak salah. Namun, para dosen dan guru harus secara kreatif mengantisipasi godaan copy paste dengan melakukan improvisasi dalam memberi tugas sehingga siswa atau mahasiswa tidak hanya main copy paste. Mereka dikondisikan memberi pendapat atau elaborasi terhadap materi yang mereka dapatkan dari internet. Pertanyaan bagaimana dan mengapa adalah senjata menggali pemahaman anak didik terhadap materi atau teks.

Kalau anak hanya disuruh mencari teks Sumpah Pemuda misalnya, menempelkan di buku, membawa ke sekolah, hal ini tidak memberi dampak apa pun kepada anak didik selain menghabiskan kertas dan pulsa. Mestinya, peserta didik diwajibkan menjawab pertanyaan “Bagaimana pendapatmu terhadap semangat para pemuda pada 28 Oktober 1928? Disusul dengan ‘instruksi’ tuliskan pendapatmu sepanjang 500 kata dalam bahasa Indonesia yang baik”.

Kalau ada pertanyaan tersebut, anak akan berpikir dan imajinasinya bergerak ke sana-ke mari. Dari sini pula muncul apresiasi pada perjuangan para founding fathers yang berujung pada tumbuhnya rasa cinta pada bangsa dan negara ini. Kerap kali, guru memberikan tugas untuk mencari materi di internet. Guru sama sekali tidak membahas. Barang kali si guru bingung membahas, sebab dia sendiri hanya menyuruh mencari tanpa ada instruksi lain yang menggerakkan anak mendalami atau memetik poin dari tugas itu.

Dalam konteks penggunaan media sosial, orang buru-buru melakukan copy paste lalu cepat-cepat memosting agar dianggap yang paling tahu atau sebagai sumber pertama. Lebih gawat lagi, banyak orang yang hanya membaca judul sebuah berita lalu buru-buru copy paste lalu posting. Prinsipnya, supaya banyak orang yang tahu, padahal yang bersangkutan belum membaca apalagi memahami isi pesan tersebut. Mestinya, saringlah sebelum share.

Pernah secara berantai beredar formulasi sms “kirim pesan ini kepada 25 orang, secara otomatis pulsa anda akan bertambah Rp 100ribu. Saya sudah buktikan dan sudah dapat pulsa 100 ribu”. Banyak penerima pesan yang sigap mengirimlanjutkan dengan selalu mengikutkan kalimat “Saya sudah buktikan, dan sudah dapat pulsa 100 ribu”. Tentu saja, pelanjut sms itu ingin segera mendapat pulsa gratis 100 ribu. Tapi apa yang terjadi, pulsa yang diharapkan tak pernah muncul. Berapa banyak orang yang mem-forward dan berapa banyak orang yang tertipu dan menipu secara berantai?

Saat ini, jika tidak berhati-hati, tindakan copy paste atau forward tanpa saring bisa mendatangkan bencana. Undang-undang No. 11 tahun 2008 atau UU ITE yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik atau teknologi informasi siap-siap menjerat jika kita tidak hati-hati.

Emanuel Dapa Loka

HIDUP NO.18 2019, 5 Mei 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here