Tinggalkan Metode “Robinhood”

193
Pelayanan kesehatan korban bencana alam.
Ist.
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Karya kesehatan Katolik bisa meneruskan cita-cita pelayanan kesehatan bagi orang terpinggirkan, jika mau bergabung sebagai provider JKN.

Karya kesehatan Katolik, pada umumnya didirikan dan dikelola oleh para biarawati. Di Indonesia, saat ini ada sekitar 440 karya kesehatan Katolik yang terdiri dari 92 Rumah Sakit dan 348 klinik.

Tujuan utama pendirian karya kesehatan tersebut semata-mata untuk memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkan, khususnya mereka yang terpinggirkan, sebagai panggilan iman, seperti yang diajarkan dan di teladankan oleh Yesus Kristus. Sosok Yesus saat kehadiran-Nya mengobati dan menyembuhkan orang sakit, dengan penuh belas kasihan, seperti itu juga yang mau dikerjakan oleh karya kesehatan Katolik ini.

Karya kesehatan Katolik dikenal sebagai tempat layanan kesehatan yang bukan saja terjaga kebersihannya, tetapi juga penuh dengan nuansa belas kasih. Kekuatan utama karya kesehatan Katolik adalah pada perawatan. Pasien tidak dianggap sebagai nomor atau kasus, tetapi pasien diperlakukan sebagai manusia seutuhnya, yang pada saat sakit sangat membutuhkan perhatian, kasih sayang dan pendampingan.

Metode “Robinhood”
Dalam perkembangannya, karya kesehatan Katolik tidak lagi bisa dikelola dan dijalankan oleh segelintir biarawati, meskipun dengan dedikasi yang sangat tinggi. karya kesehatan Katolik harus dikelola dan dijalankan oleh suatu kelompok orang yang terorganisir, yang terdiri dari biarawati dan non biarawati, dari pelbagai keahlian dan kompetensi.

Di sini mulai timbul kerumitan, yaitu bagaimana memotivasi, mempersatukan dan “menggiring” orang-orang tersebut yang heterogen, menuju suatu pencapaian cita-cita yang sama: memberikan layanan kesehatan kepada semua orang, khususnya mereka yang terpinggirkan, dengan penuh belas kasihan.

Kerumitan bertambah lagi dengan adanya tuntutan untuk memberikan imbalan jasa yang layak bagi para pekerja yang non biarawati dan untuk menyediakan sarana dan prasarana yang sesuai standar, yang ujung-ujungnya semua adalah “uang”. Karya kesehatan Katolik, yang semula memberi layanan tanpa memikirkan “uang”, sekarang perlu memikirkan “uang” agar dapat memberi gaji yang layak kepada para pekerjanya.

Pada posisi ini, karya kesehatan Katolik, berupaya keras untuk terus melayani pasien miskin, dengan pengelolaan keuangan seperti metode “Robinhood”: meminta bayaran yang lebih mahal dari orang kaya, agar dapat memberi subsidi kepada orang miskin. Cara ini pada awal mulanya dianggap efektif, tetapi kemudian menjadi obsolete, karena bermunculannya banyak rumah sakit yang for profit, yang mensasar orang-orang kaya, dengan peralatan yang canggih dan dengan harga yang sama atau bahkan lebih murah.

Pada awalnya, karya kesehatan Katolik masih bisa survive karena mendapat dukungan dana dari para donator luar negeri, khususnya dari negara asal para misionaris. Namun sejak tahun 80-an, dukungan dana tersebut makin merosot, seiring dengan makin sedikitnya para misionaris, juga seiring dengan terjadinya krisis keuangan di Eropa.

Ada dukungan dana dari dermawan Katolik di dalam negeri, meskipun sudah ada beberapa, namun sifatnya masih kasus perkasus dan belum terorganisir dengan baik. Para biarawati yang mempunyai kedekatan personal dengan dermawan Katolik tersebut, bisa mendapat berkah sumbangan untuk membeli alat tertentu atau untuk biaya renovasi gedung tertentu. Namun para biarawati lain yang tidak mempunyai kedekatan personal dan berkarya di daerah terpencil dan demikian sangat membutuhkan bantuan, tidak bisa mengakses sumber dana tersebut.

Dalam situasi seperti itu, maka timbul pertanyaan: karya kesehatan Katolik dengan cita-cita yang begitu luhur, apakah masih bisa bertahan dan masih bisa tetap memberikan layanan kepada orang-orang miskin yang tinggal didaerah terpencil?

Perubahan Sistem
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diluncurkan pemerintah Indonesia, pada 5 tahun yang lalu, berupaya memberi layanan kesehatan cuma-cuma bagi semua orang, termasuk bagi masyarakat miskin dan terpencil. JKN bercita-cita memberi jaminan “hak atas sehat” bagi semua masyarakat Indonesia, apapun status ekonominya dan di mana pun dia tinggal.

JKN memberi kesempatan kepada karya kesehatan non pemerintah untuk bergabung sebagai provider, yang memberikan layanan kesehatan cuma-cuma kepada masyarakat, dengan dukungan dana dari pemerintah (atau badan yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu BPJS). Tentu melalui skema pembayaran dan persyaratan yang ditetapkan.

Kesempatan yang ditawarkan JKN tersebut, merupakan “peluang” bagi karya kesehatan Katolik, untuk bisa tetap memberikan layanan kesehatan kepada orang miskin, khususnya yang tinggal di daerah terpencil dan dengan demikian bisa tetap meneruskan cita-cita para pendirinya. Meskipun demikian, skema pembayaran dan persyaratan yang ditetapkan oleh BPJS, merupakan tantangan baru bagi karya kesehatan Katolik dan merupakan tantangan yang tidak mudah untuk diatasi.

Tantangan tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian: tantangan untuk mengikuti skema pembayaran dan tantangan untuk memenuhi persyaratan standar. Pertama, menurut ketentuan BPJS, skema pembayarannya sebagai berikut. Rumah sakit, akan mendapat pembayaran untuk setiap paket tindakan (pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan) sesuai tarif yang telah ditetapkan. Dengan demikian pihak BPJS tidak mau tahu biaya apa saja dan berapa saja untuk setiap tindakan itu. Di sini pengendalian biaya menjadi kunci utama, supaya layanan yang diberikan tidak merugi secara keuangan.

Masalahnya, RS Katolik sudah terbiasa sejak lama, menggunakan skema pembiayaan fee for service bagi layanan yang diberikan. Makin banyak pemeriksaan, makin banyak obat dan makin lama dirawat, akan memberikan hasil pendapatan yang makin banyak. Sebaliknya, pada skema “tarif paket” yang ditetapkan BPJS, rumah sakit harus melakukan efisiensi (tanpa mengurangi mutu) pada semua tindakan pemeriksaan, pengobatan dan perawatan.

Perubahan skema pembiayaan dari fee for service menjadi “tarif paket” merupakan upaya jungkir-balik yang sangat berat dilaksanakan, tetapi mau tidak mau harus dilaksanakan supaya bisa berperan serta sebagai provider sesuai sistem JKN. Untuk bisa menjalankannya dengan baik, diperlukan totalitas perubahan baik sistem, cara pikir, mental, sikap, dan prilaku, dari semua orang yang terlibat dalam pekerjaan di rumah sakit.

Kedua, untuk klinik, BPJS memberikan pembayaran secara “kapitasi”. Klinik diberi tugas untuk memberi layanan kesehatan dasar bagi sekelompok orang, dengan tarif perorang atau perbulan, yang nilainya sudah ditetapkan. BPJS juga tidak mau tahu, berapa kali orang tersebut datang ke klinik tersebut, berapa banyak pemeriksaan yang diberikan dan berapa macam dan jumlah obat yang diberikan.

Sama bahwa klinik Katolik juga terbiasa dengan skema fee for service, harus mengubah skema pembiayaan dengan “sistem kapitasi”. Dengan demikian, klinik harus melakukan efisiensi baik pada pemeriksaan maupun dalam pemberian obat. Klinik juga harus menjaga agar orang-orang tersebut supaya tetap sehat dan itu berarti klinik harus melakukan promosi kesehatan dan upaya pencegahan penyakit. Promosi dan upaya pencegahan penyakit merupakan hal yang belum terbiasa bagi sebagian besar klinik Katolik. Di sini lagi-lagi ada perubahan total dari para pekerja klinik Katolik.

Persyaratan Standar
Kemenkes RI menerbitkan aturan-aturan yang harus ditaati oleh insitusi layanan kesehatan, agar bisa mendapatkan ijin operasional. Aturan-aturan tersebut menyangkut jenis dan jumlah tenaga profesional, jenis dan jumlah peralatan, prasarana dan sarana. Semua itu membutuhkan dana, baik dana operasional maupun dana investasi dan jumlahnya cukup besar, bisa mencapai ratusan juta rupiah.

Dana sebesar itu tidak mampu disediakan oleh para kelompok biarawati tersebut. Maka pilihannya, mau tidak mau, para biarawati harus memilih dan memprioritaskan klinik-klinik yang dikelolanya, untuk mendapat kucuran dana yang terbatas tersebut. Dengan demikian pula akan ada banyak klinik-klinik yang harus ditinggalkan alias ditutup. Jumlah klinik yang akan ditutup bisa mencapai puluhan dan sebagian besar adalah klinik-klinik yang berlokasi didaerah pelosok karena alasan ekonomi.

Masalah selanjutnya bagi klinik terpencil adalah kesulitan mendapatkan tenaga profesional. Sangat sedikit, tenaga profesional yang mau berkerja ditempat-tempat terpencil. Tanpa bantuan pemerintah, kelangkaan tenaga profesional di tempat terpencil, akan menyebabkan klinik-klinik tersebut terpaksa ditutup, karena tidak memenuhi standar Kemenkes. Standar bagus yang ditetapkan Kemenkes, akan berdampak pada penutupan karya kesehatan di daerah terpencil. Itu berdampak pada terabaikannya masyarakat yang hidup di daerah terpencil untuk mendapatkan akses pada layanan kesehatan.

Jika pemerintah tidak memperhatikan kondisi ini, maka cita-cita pemerintah untuk “hak sehat bagi setiap orang” hanya akan menjadi slogan saja. Perlu ada keberanian dari pemerintah untuk membuat terobosan dalam pengadaan tenaga profesional yang dibutuhkan oleh karya kesehatan Katolik. Akan terjadi ketimpangan yang besar dalam pemenuhan “hak untuk sehat” antara orang-orang kota dan pelosok.

Felix Gunawan, Direktur Persatuan Karya Dharma Kesehatan Indonesia (Perdhaki)

HIDUP NO.20 2019, 19 Mei 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here