Santo Bartolomeus Alban Roe OSB (1904 – 1955) : Korban Reformasi Anglikan

445
Santo Bartolomeus Alban Roe OSB.
[drfrancisyoung.com]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Seruan untuk “kembali ke akar iman” sejati menjadi motto hidupnya. Ia rela melepaskan imannya dan taat kepada Tahta Suci.

Bagaimana menjadi Katolik sejati? Pertanyaan ini dilontarkan Bartolomeus Alban Roe kepada seorang tahanan Katolik. Dengan tenang, orang Katolik tersebut menjawab, “Menjadi Katolik berarti berani melepaskan segalanya. Siap menyerahkan nyawa untuk Kristus.”

Jawaban ini sontak membuat Bartolomeus menjadi gelisah. Ia malu oleh sindiran tahanan tersebut. Meski ia seorang pengikut Kristus, tetapi praktik agamanya hanya untuk dilihat orang. Dalam perdebatan itu, Bartolomeus merasa kalah atas kritik tahanan itu. Beberapa kali, ia mencoba meyakinkan orang Katolik itu, agar meninggalkan imannya. Dengan begitu, ia dapat dibebaskan.

Namun semakin diminta, tahanan itu malah semakin kuat pendiriannya. Bartolomeus pasrah atas kegigihan orang Katolik tersebut. Dalam catatan Vikaris Apostolik London Mgr Richard Challoner (1739-1781) disebutkan, “Bartolomeus benar-benar malu. Ia gelisah memikirkan praktik agamanya yang dangkal. Ia memukul diri dan mencari ketenangan dengan mengaku dosa pada seorang imam. Usai pengakuan, kegelisahannya sekejap hilang. Dirinya berjanji menjadi orang Katolik saleh.”

Iman Sejati
Setelah menemukan kebenaran sejati, Bartolomeus bernazar ingin menjadi pewarta Kerajaan Allah di seluruh wilayah Inggris. Ia ingin memperkenalkan agama Katolik kepada semua orang tanpa terkecuali. Ia berhasrat, mewartakan ajaran baru yang diyakininya kepada orang-orang Protestan, yang saat itu tunduk dibawah kekuasaan Raja Henry VIII.

Henry VIII sendiri sudah dikenal anti Katolik. Sikap ini ia mulai saat mengeluarkan maklumat yang melarang Gereja Katolik di Inggris pada tahun 1533. Keputusan ini diumumkan Henry VIII menyusul penolakan Paus Paulus III untuk mengesahkan perceraiannya dengan Ratu Katarina. Bapa Suci melarang perceraian itu sebab tidak sesuai dengan Hukum Gereja.

Atas larangan ini, Henry VIII lalu menjarah Gereja Katolik Roma. Di saat itu, Reformasi Anglikan meletus dan tanah Inggris berlumuran darah. Diperkirakan sekitar 72 ribu umat Katolik yang meregang nyawa.

Situasi ini bukannya membuat Bartolomeus takut, sebaliknya ia merasa tertantang untuk terus melayani. Secara terang-terangan, ia menyatakan diri taat kepada Takhta Suci. Keluarganya yang beragama Protestan pun kerap kali menahan jengkel atas keyakinan baru Bartolomeus. Mereka mendesaknya agar Bartolomeus melepaskan imannya itu dan taat pada raja.

Bartolomeus tak bergeming dari pilihannya. Ia bahkan semakin dekat dengan komunitas Katolik Inggris. Kelahiran Suffolk tahun 1583 ini merasakan ada kedamaian batin, setiap kali berbicara secara tulus tentang ajaran Gereja. Lambat laun, ia bertumbuh menjadi pribadi yang fanatik, melebihi orang-orang yang lahir secara Katolik. Ia lalu mempengaruhi adiknya James, agar mengikuti langkahnya. Seruan untuk “kembali ke akar iman” terus digaungkannya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here