Epik Toleransi Kaum Berjubah

964
Pastor Irenius Vinsensius Ngaku OCarm saat ditahbiskan imam didampingi keluarganya yang beragama Islam.
[Dok. Karmel Indonesia Timur]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Para pastor lahir dan tumbuh dalam mayoritas keluarga Muslim. Kendati berbeda iman, toleransi tetap terawat kala merayakan Lebaran.

Mayoritas masyarakat Desa Ngadi, Dullah, Tual, Maluku memeluk Islam. Meski begitu, wilayah yang berada di sebelah utara Tual ini punya andil bagi perjalanan imamat Pastor Johanes Michael Wemay MSC. Sekitar 21 tahun lalu, benih panggilan Janes, sapaannya, tumbuh di sana.

Benih itu telah berbuah, Pastor Janes akhirnya ditahbiskan oleh Uskup Amboina Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC. Setelah ditahbiskan, Pastor Janes pun berkunjung ke Desa Ngadi. Penyambutan imam pertama Ngadi sudah terlihat sejak ia menjejakkan kaki di Bandara Karel Sadstubun, Langgur. Sanak-keluarganya yang beragama Muslim menjemputnya.

Di Nuhu Evav (Negeri orang Kei, Maluku Tenggara) Pastor Janes menggelar Misa perdana. Pemandangan paling menguras air mata tampak ketika Pastor Janes memasuki Ngadi, kampung halaman sang bunda. Para tokoh agama menyambut kedatangannya. Haji, hajah, dan pendeta menumpangkan tangan di kepala Pastor Janes yang berlutut di tengah mereka.

Mereka berharap, Tuhan senantiasa melindungi panggilan imamat putra Ngadi itu. Mereka juga menginginkan, agar semangat Ain Ni Ain (saling memiliki) menjadi pengalaman indah yang dirasakan oleh imam baru kelahiran Langgur, 8 November 1985 ini.

Pastor Janes lahir dari orangtua yang berbeda agama. Sang ayah Yusuf Meway, beragama Kristen. Sedangkan ibundanya, Richarda Renwarin, beragama Islam. Namun, Richarda menjadi Katolik selang beberapa hari setelah Janes menerima tahbisan diakon. “Pastor Janes adalah nafas keluarga kami. Ia memberi arti bagaimana pela gandong (persaudaraan) orang Ambon nyata dalam keluarga,” ungkap sang paman, Haji Yusuf Rengur.

Meski perbedaan keyakinan begitu kental membalut keluarganya, Pastor Janes yakin, perbedaan itulah yang ikut ambil bagian dan membawa pengaruh positif bagi perkembangan iman dan panggilannya. “Kami saling menghargai, tanpa mengatakan bahwa saya atau mereka yang terbaik. Pada prinsipnya, nilai kekeluargaan di atas segalanya,” ujarnya.

Amsal orang Kei, “kita bersaudara dari satu sumber”, kiranya cocok melukiskan relasi harmonis dalam keluarga besar imam dari Tarekat Misionaris Hati Kudus Yesus (Missionarii Sacratissimi Cordis Jesu/MSC) ini. Meski dalam sebuah rumah besar terdapat keyakinan berbeda, ada suatu kesadaran bahwa mereka berasal dari satu moyang.

Satu Tujuan
Pengalaman serupa juga dialami Pastor Irenius Vinsensius Ngaku OCarm. Sebuah pengalaman yang tidak biasa terjadi kala seorang pastor ditahbiskan didampingi keluarga yang beragama Islam. Pengalaman ini terjadi ketika Pastor Iren, sapaannya, ditahbiskan pada 26 April 2019 lalu di Kapel Beato Dionisius, Biara Karmel, Wairklau, Maumere, Nusa Tenggara Timur. Orangtua yang mendampinginya adalah paman dan tante dari pihak ibu yang beragama Islam.

Pastor Iren bercerita, bahwa perkenalannya dengan Agama Islam bukanlah sebuah kebetulan. Sang ibu, Veronika Sumarni (Alm.) awalnya beragama Islam lalu kemudian menjadi Katolik mengikuti sang ayah, Yohanes Ngaku. Di Nusa Tenggara Timur, keluarga Sumarni sering disebut orang Muslim Ndona, Kabupaten Ende, NTT.

Sejauh ini tidak ada permasalahan apapun termasuk perbedaan iman yang memutuskan hubungan mereka. Keluarga dari pihak ibunya diterima secara baik, begitu sebaliknya. Ketika berkunjung ke rumah Pastor Iren, keluarga menerima dengan baik. Mereka menyiapkan tempat untuk salat. Bila menyiapkan makan, sebisa mungkin orangtua menyiapkan jenis makanan yang pantas.

Penerimaan ini juga dialaminya kala hendak melanjutkan pendidikan sebagai calon imam. Anak kedua dari lima bersaudara ini bercerita, dukungan terbesar dalam panggilannya datang dari keluarga pihak ibu yang beragam Islam. Mereka sangat antusias mempersiapkan segala keperluan dari Seminari Kelas Persiapan Atas St Paulus Mataloko hingga Seminari Tinggi. “Bahkan saat ditahbiskan, semua keperluan tahbisan saya seperti jubah dan perlengkapan Misa disiapkan oleh keluarga yang beragama Islam,” cerita kelahiran Ndona, 27 Desember 1989 ini.

Sebuah cerita menarik saat memasuki musim liburan, keluarga Muslim selalu menghubunginya dan meminta Pastor Iren untuk tinggal beberapa hari bersama mereka. Pada kesempatan itu, sang paman sering menasihatinya dan mengungkapkan keinginan keluarga untuk hadir saat Iren ditahbiskan imam. Wajar saja rasa kagum, sukacita, dan derai air mata dirasakan keluarga Muslim yang menyaksikan pentahbisannya.

Pastor yang mengikrarkan kaul kekal sebagai anggota Karmelit pada 6 Agustus 2017 ini ingin menunjukkan kepada setiap orang bahwa perbedaan tidak menjadi alasan untuk saling menutup diri. Dalam keluarganya, perbedaan adalah cara setiap orang untuk belajar lebih dekat memahami sesama. Katanya, tidak ada alasan untuk menolak perbedaan selagi Tuhan mengizinkannya. “Kami punya satu tujuan yaitu mendekatkan diri kepada Tuhan. Caranya berbeda-beda tetapi tujuannya satu. Bila kita berada dalam satu tujuan, maka semua orang sama di mata Tuhan,” tuturnya.

Komunikasi Damai
Bila Pastor Iren mendapat dukungan dari keluarga, pengalaman berbeda dialami Pastor Robertus Khalifah CICM. Dalam pesan singkatnya, Pastor Robertus menceritakan perjuangannya masuk seminari. Saat mendaftarkan diri masuk seminari, keluarga dari pihak ibu yang beragama Islam, tidak percaya akan cita-cita Robertus. Beberapa pamannya sempat menyalahkan kedua orangtua yang seakan-akan membiarkan anaknya ingin menjadi imam.

Sang ibu yang awalnya beragama Islam, lalu mengikuti sang ayah menjadi Katolik kerap mendapat banyak pertanyaan perihal keinginan Robertus menjadi imam. Mereka bertanya apakah tidak ada masa depan yang lebih layak selain menjadi pastor?

Beberapa kali terlintas dalam benak sang ibu, meminta Robertus mengurungkan niatnya itu. Tetapi, Robertus semakin mantap. Ia bahkan tak pernah terusik dengan celotehan, kritikan, atau sindiran dari kelaurga. “Semua karena karya Roh Kudus. Saya tetap masuk seminari dan menjadi imam.”

Bila mengingat kisah-kisah panggilannya dulu, Pastor Robertus mengatakan dirinya pantas berterima kasih kepada keluarganya yang beragama Islam. Keraguan mereka terhadap panggilan membuat dirinya serius menjalani masa-masa pendidikan dan pembinaan. “Mereka menguji panggilan saya. Ujian terbesar adalah pertanyaan kapan keluar frater?Kapan menikah?, dan ragam pertanyaan lainnya. Litani pertanyaan ini membuat saya ingin membuktikan bahwa mereka salah. Saya terus bertahan hingga saat ini,” ungkapnya.

Kini, Pastor Robertus sedang menjalani studi di Amerika Serikat. Kendati berbeda benua, Pastor Robertus selalu punya waktu untuk keluarganya yang sebagian besar di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Di masa puasa, Pastor Robertus selalu mengingatkan keluarga agar tidak melupakan kewajiban mereka sebagai umat Muslim. Terkadang perbedaan waktu membuat ia sebagai alarm bagi keponakan, sepupu atau paman dan tantenya. Ia mengingatkan mereka untuk sahur dan berbuka puasa. “Sebelum mereka sahur, kadang-kadang saya meminta mereka untuk mendoakan saya.”

Tradisi lebaran dalam keluarga berbeda agama, bagi Pastor Robertus, adalah kesempatan untuk saling mengingatkan, menegur, memahami, dan memaafkan satu sama lain. “Dulu mereka menginginkan saya tidak jadi pastor, sekarang setelah menjadi pastor mereka yang selalu mendukung panggilan saya. Kini mereka terus mengingatkan saya tentang tanggung jawab saya dan janji imamat saya,” ujarnya.

Jangan Mengecewakan
Di Kongregasi Keluarga Kudus (Congregatio Missionariorum a Sacra Familia/MSF), perbedaan keyakinan juga dirasakan Pastor Bernardinus Realino Agung Prihartana MSF. Kelahiran 7 Oktober 1967 ini bercerita bahwa pendidikan dalam keluarga di masa kecilnya adalah pendidikan yang berorientasi pada kesadaran untuk melakukan kewajiban-kewajiban agama dengan benar.

Sebagai anak, Pastor Agung, menerima dan mencoba mencermati corak pendidikan dalam keluarganya itu. Memasuki masa remaja, Pastor Agung mulai merasakan benih-benih panggilan dalam dirinya. Sampai saat ini, panggilan itu dirasakannya sebagai misteri Tuhan dalam hidupnya. Kapan panggilan itu mulai ada? Pastor Agung tidak bisa menjelaskannya secara detail. “Panggilan menjadi imam yang saya rasakan adalah misteri Tuhan. Apa yang dikehendakinya pasti terjadi,” ujarnya.

Setelah tamat SMA tahun 1986, Pastor Agung yang kala itu masih memeluk agama Islam memutuskan untuk menjadi Katolik. Ia juga bahkan meminta doa restu orangtua untuk masuk seminari dan menjadi imam. Ia mengakui, tidak mudah mengatakan rencana ini kepada keluarga, sudah pasti mereka menolak keinginan ini. “Saya sadar konflik dengan keluarga akan mewarnai perjalanan panggilan saya, tetapi saya tidak bisa menolak keinginan dari Tuhan,” kisah Pastor Agung.

Selama menempuh pendidikan di seminari, Pastor Agung juga tidak ingin menyibukkan orangtua dan keluarganya. Sebisa mungkin, segala sesuatu diusahakannya secara mandiri. Ia sadar, bahwa dirinya pernah mengecewakan orangtua, dengan memilih jalan hidup menjadi imam. Ia tak ingin rasa kecewa itu mempengaruhi relasi mereka. Cukup baginya mengalami sang ayah yang kecewa dengan keputusan ini hingga tutup usia.

Perjuangan itu membuahkan hasil dengan ditahbiskannya menjadi imam. Dalam Misa pentahbisan pada 10 Agustus 1998, sang ibu dan kakak perempuannya menghadiri perayaan pentahbisannya tetapi tidak sebagai pendamping. Pastor Agung juga tidak ingin memaksakan kehendak sang ibu untuk mendampinginya. Karena ibu berhalangan mendampinginya saat Misa, Pastor Agung meminta satu keluarga jauh menjadi pendampingnya. “Lagi-lagi, saya tidak ingin mengecewakan sang ibu. Saya meminta restu dan bila ibu hadir saya akan berterima kasih tetapi bila tidak, saya tidak kecewa,” ujarnya.

Hingga saat ini, dari lima bersaudara, Pastor Agung satu-satunya yang beragama Katolik. Banyak umat mendesak agar Pastor Agung meminta saudara-saudara saya menjadi Katolik, tetapi dirinya menolak. Ia mengatakan, dirinya tetap menghargai iman mereka. Meski bukan seiman, mereka adalah saudara. Iman tidak membuat kita harus saling membedakkan. “Biar mereka dan almarhum kedua orang tua tetap menjadi Muslim dan saya menjadi Katolik. Biar kami membangun relasi persaudaraan dengan cara kami masing-masing,” ungkapnya.

Umat Paroki Hati Kudus Kudus Yesus Pugeran, Yogyakarta ini mengisahkan momen lebaran menjadi kesempatan dalam keluarga untuk tidak saling menyalahkan. Sebisa mungkin dalam relasi-relasi saat perayaan hari raya entah Lebaran, Natal atau Paskah, kami tidak mengungkit iman kami masing-masing. Lebih tepat momen ini dipergunakan sebagai kesempatan menguatkan relasi persaudaraan antar saudara. Kesempatan juga untuk saling memberi masukan, mendengarkan segala harapan dari setiap saudara.

Pada Lebaran tahun ini, seperti biasa, Pastor Agung akan mengunjungi saudara-saudarinya. Ia mengatakan kami semua belajar untuk tidak mengusik relasi persaudaraan dengan hal-hal yang negatif. Mereka berusaha mempertahankan relasi dengan cara mereka masing-masing tanpa mengusik pribadi apalagi soal iman. “Itu hanya membuat relasi antar kami bisa putus,” tutupnya.

 

Yusti H. Wuarmanuk
Laporan: Pastor Paskalis Patut O.Carm (Maumere)

HIDUP NO.23 2019, 9 Juni 2019

1 COMMENT

  1. Kalau saya telah meyakini bahwa Yesus adalah jalan, kebenaran, dan hidup; kalau saya telah mengecap betapa sedapnya Allah; kalau saya merasakan betapa damai, sukacita dan kemerdekaan ada dalam gereja Katolik yang Kudus: bagaimana mungkin saya tidak ingin membagikan harta ini kepada orang-orang yang saya kasihi?
    Tapi dalam keluarga sendiri yang multi keyakinan, memang serba salah antara menjalankan misi menebar kabar baik dengan menjaga toleransi.
    Tidak mudah menjadi saksi Kristus.
    Selamat bagi para imam yang baru ditahbis: semoga Bapa Surgawi mencurahkan kekuatan dan rahmat untuk melaksanakan panggilan perkerjaan di ladangNya ini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here