Gadis Kesayangan Ayah

343
4.8/5 - (18 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Gadis itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tangannya terkatup. Badannya tegak dalam duduknya yang bersimpuh. Hening di antara kami. Hanya ada aku dan dia. Sikapnya seperti orang yang sedang berdoa. Sikap yang selalu kuajarkan kepadanya sejak dia masih kecil. Sikap yang selalu ia lakukan hingga saat ini, di usianya yang telah mencapai delapan belas tahun. Sikap yang sama kala tubuhnya masih mungil, matanya bulat lucu dan pipi itu masih tembem menggemaskan. Hingga sekarang tubuhnya berisi, lenggokannya memikat hati dan parasnya cantik memancar. Tapi, dia sekarang tidak sedang berdoa.

“Benarkah yang kamu bicarakan itu?” Suaraku datar meski hatiku memanas.

Aku mengusap dahiku, tak habis pikir mendengar perkataanya. Dia mengangguk dan tetap tertunduk. Tak berani matanya bertatapan dengan mataku. Aku mengeluh. Sungguh aku sangat menginginkan dia menggelengkan kepalanya. Atau setidaknya, mengangkat bahunya sebagai tanda tidak yakin.

“Kamu sadar apa yang sudah kamu perbuat?” Kataku dengan nada yang menyentak keras.

Sejenak ia mengangkat mukanya. Parasnya tetap cantik meski matanya sayu. Bibirnya bergetar seolah ingin mengucapkan kata-kata, namun akhirnya hanya anggukan yang ia lakukan.

Tuhan Yesus! Apa yang telah terjadi pada gadis ini? Bukankah semua hal baik telah kuajarkan kepadanya dan sudah dilakukannya. Dengan segala macam aktivitasnya di paroki dan masyarakat, kurang baik apa lagi dia? Bagaimana ia dapat berbuat seperti itu? Apakah didikanku selama ini masih kurang?

“I..Ica… minta maaf…” Suaranya yang lembut dan lirih itu mulai terdengar.

“Maaf?” Kataku dengan nada yang keras.

Aku terheran-heran tak menyangka. Begitu gampangnya kata itu keluar dari mulutnya. Begitu sederhana. Namun betapa berat beban yang ia rasakan dibalik kata itu. Aku sangat kecewa.

“Ayah paham ketakutan yang sedang kau rasakan sekarang nak. Kamu ingat kemarin malam, ayah memberikan renungan mengenai wanita zina yang dihadapkan kepada Yesus?” suaraku dengan nada yang lembut seraya menenangkan diri.

Kamu bilang, ayah pandai memberi renungan kepada umat lingkungan. Tentu saja, ayah seorang prodiakon. Ayah juga mempunyai tugas untuk itu. Renungan ayah waktu itu berbicara tentang pertobatan, mengenai kesempatan untuk memperbaiki diri. Dan seperti yang kamu tahu nak, Yesus mau mengampuni wanita itu dan memberinya kesempatan kedua. Ayah sungguh fasih berbicara saat itu.

Tapi saat ini, aku tidak tahu harus berbuat apa. Di depanku sekarang bukanlah wanita pelacur itu! Di depanku bersimpuh gadis kecilku, mengakui kesalahan fatal yang telah ia lakukan. Nodanya karena telah hamil saat pernikahan suci bahkan belum tampak dalam bayangannya.

Aku memandangi raut mukanya yang sayu itu. Wajah itu mengingatkanku pada seseorang yang sangat kucintai. Wajahnya mirip dengan almarhum ibunya, isteriku. Sejenak aku melirik potret isteriku yang terbingkai di sudut ruangan.

Maafkan aku, ternyata aku telah gagal menepati janjiku. Aku tidak bisa menjaga Jessica. Aku membiarkan anak kita ternodai. Maafkan aku. Lantas apa yang harus kulakukan?

Aib ini tidak mungkin kusembunyikan selamanya. Semuanya pasti akan tahu Ica hamil. Perutnya pasti akan bertambah besar dan tetangga-tetangga akan membicarakannya. Tak mungkin aku tega menyuruh Ica menggugurkan kandungannya. Jabang bayi yang berada di dalam kandungannya tentu tidak bersalah. Dosa besar bila hidupnya harus berakhir karena keegoisanku.

Bagaimana pula kondisi Ica nanti? Kuatkah dia menanggung rasa malu? Kuatkah dia menanggung rasa bersalah dari perbuatannya sendiri? Bagaimana denganku? Masihkah aku punya muka untuk bertemu dengan tetangga dan umat sekitar? Seorang panutan masyarakat, tokoh umat, prodiakon yang dihormati, yang selalu mengajarkan untuk berbuat baik. Tapi anak gadisnya sendiri tak bisa diajari.

Apa yang mau kaulakukan sekarang? Betapa kau telah melumurkan dosa kepada ayahmu ini? Bukankah seharusnya kamu tidak melakukan hal ini? Bukankah hal ini tidak terjadi kepada gadis seusiamu? Kamu gadis yang cerdas, aktif dalam kegiatan masyarakat dan gereja. Kamu bukan gadis yang biasa keluyuran malam tidak jelas.

Mengapa semua ini terjadi? Yesus, Kau sungguh tidak adil! Apa yang kurang dari pelayananku selama ini? Aku telah berusaha melakukan semua perintah-Mu sebaik mungkin. Salahkah aku bila aku meminta Engkau untuk melindungi anakku dari semua bahaya? Bukankah Engkau Mahapenyayang dan Mahacinta?

Sekarang lihatlah, gadis kecilku ini! Bersimpuh memohon ampun. Seolah aib ini akan terbilas tanpa bekas hanya dengan sebuah pengampunan.

Tuhan Yesus, haruskah aku menyembunyikan aib ini. Haruskah aku membawa anakku pergi jauh dari tempat ini. Bahkan bila perlu ku bawa dia ke lereng gunung, di biara tempat bibinya berkarya? Mestinya hal ini tidak sulit, sebab aku tinggal mengarang cerita dan nama baikku tidak akan hancur.

“Ya Yesus, maafkan Ica!”

Aku terhenyak. Lamunanku terbuyarkan oleh suara rintihnya. Ica tidak lagi bersimpuh di depanku. Ia mengatupkan telapak tangannya dan duduk bersimpuh di depan patung Tuhan Yesus. Wajahnya mendelangak, matanya tajam memandang salib Yesus. Aku terpana. Seketika itu suara keluar dari mulutnya. Ia membisik kecil namun dengan jelas terdengar, “Barangsiapa tak berdosa, hendaklah ia yang pertama melempar batu pada perempuan ini.”

Aku menatap wajah putriku. Wajahnya merautkan penyesalan yang mendalam. Putriku memohon ampun di depan Yesus sebab ia gagal mendapatkannya dariku. Aku, ayahnya telah buta hati karena kecewa, telah menolah mengampuninya. Aku malu, aku telah mengecewakan Yesus.

Airmata keluar di pelupuk mataku. Kusadari, betapa dangkalnya pikiranku. Betapa egoisnya diriku. Putriku memang bersalah, namun kesalahannya ini juga merupakan bagian dari kegagalanku untuk menjaganya sebagai seorang ayah.

Kudekati putriku, kuraih pundaknya, kubelai rambutnya dan kupeluk dia. Dia menengadah, kuusap airmata yang berlinang di pipinya. Aku mencoba tersenyum. Wajahnya tenggelam dalam pelukku. Aku mendekap putriku lembut. Bagaimanapun juga sampai kapanpun dialah putriku. Dialah Beatrix Jessica Cynthia Putri, gadis kecilku.

***

Rianda Estu

HIDUP NO.24 2019, 16 Juni 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here