Alis Pengantin

143
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Pasrah. Kata itu sangat tepat menggambarkan kondisiku saat ini. “Bagaimana, Ani?” tanya Ibu, calon mertuaku.

“Saya menurut saja,” jawabku.

“Baiklah. Jadi, apa pun yang kami putuskan harus kamu turuti ya,” kata Ibu lagi.

Aku mengangguk. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Kulihat Bunda menatap ke arahku. Aku tersenyum. Perlahan, ada air mata mengalir di pipi Bunda. Maafkan aku, Bunda.

Memilih Mas Pras menjadi calon suamiku adalah pilihanku. Kami tidak perlu waktu lama untuk memutuskan menikah. Hanya enam bulan, kami menjalin hubungan. Lalu, Mas Pras mengajakku ikut kursus perkawinan. Entah kenapa, aku mengikuti ajakan Mas Pras. Aku seperti terbius oleh laki-laki yang baru kukenal tiga bulan yang lalu itu.

Aku mengenal Mas Pras saat akad kredit di sebuah bank. Saat itu, aku memutuskan untuk kredit rumah melalui KPR. Mas Pras pun melakukan hal yang sama. Kebetulan rumah yang kuambil bersebelahan dengan rumah yang diambil Mas Pras. Aku mengambil rumah No. 5 sedangkan Mas Pras mengambil rumah No. 4 di gang yang sama.

“Pras,” katanya saat berkenalan dengan ku.

“Ani,” kataku.

Sejak saat itu, Mas Pras sering menghubungiku untuk hal-hal yang berkaitan dengan rumah kreditan kami. Pemasangan tower air, iuran kerja bakti, dan sebagainya. Saat itu, aku tidak langsung menempati rumah kreditanku. Aku masih mengontrak rumah petak. Maka, Mas Pras kumintai tolong untuk mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan rumah kredit itu.

“Misa Sabtu sore ya,” kata Mas Pras lewat HP.

“Ya,” jawabku.

Kami janjian untuk bertemu usai misa Sabtu sore di Gereja Maria. Kami hendak membicarakan iuran-iuran berkaitan dengan rencana menempati rumah yang kami kredit. Pertemuan demi pertemuan membuat hubungan kami semakin dekat. Apalagi, usai bertemu di Gereja, pertemuan kami lanjutkan di rumah makan atau di kontrakanku.

Saat Mas Pras mengajakku untuk ikut kursus perkawinan, aku terkejut. Tapi, aku mengiyakan. Kebetulan umurku juga sudah sangat terlambat untuk menikah. Apalagi Mas Pras. Dia lebih tua satu tahun dariku. Jadi, ya sudahlah. Kami seiman dan masing-masing sudah punya pekerjaan. Cinta? Witing tresna jalaran saka kulina.

Selepas kursus perkawinan, kami menjalani penyelidikan kanonik. Semua itu dapat kami lewati dengan mudah. Aku rasa semua dilancarakan oleh Tuhan. Sampai akhirnya, tiba saatnya lamaran. Keluarga Mas Pras datang ke rumah melamarku.

“Pesta pernikahan diadakan di rumahku saja. Ibu sudah biasa menangani pesta,” kata Mas Pras.

Tanpa pikir panjang, aku menyetujui usul itu. Maka, uang tabunganku dan uang tabungan Mas Pras dijadikan satu. Seluruh uang itu, Mas Pras serahkan kepada ibunya. Segala sesuatu berkaitan dengan perkawinanku akan diurus oleh keluarga Mas Pras. Aku hanya berpikir saat itu bahwa itu jalan terbaik. Aku tidak terpikir bagaimana dengan Bundaku?

“Bunda juga ingin mengadakan pesta untukmu, Ani,” kata Bundaku usai aku menceritakan semuanya.

“Maafkan Ani, Bunda. Ani hanya berpikir agar Bunda tidak repot,” kataku.

“Jika saja uang itu kamu serahkan kepada Bunda. Maka, Bunda akan bisa menyelenggarakan pesta untukmu, Nak,” kata Bundaku sambil tersedu.

Tidak mungkin bagiku untuk mengambil uang yang sudah kuserahkan kepada keluarga Mas Pras. Aku minta maaf pada Bundaku. Sungguh, aku hanya ingin Bundaku yang menderita kanker dan sangat lemah itu tidak direpotkan oleh tetek bengek yang berkaitan dengan pestaku. Ternyata, Bundaku berharap bisa mengadakan pesta untuk satu-satunya anak perempuan yang dia punya.

“Semua sudah terjadi. Namun, Bunda hanya ingatkan agar kamu tidak mencukur alismu. Jangan biarkan juga orang lain mencukur alismu meski hanya sedikit,” kata Bunda.

“Ani akan selalu ingat itu, Bunda,” ucapku.

Alisku memang istimewa. Tebal dan bentuknya cukup indah. Menurut Bunda, aku mewarisi alis Ayahku. Setiap kali melihat alisku, bunda teringat pada Ayah. Ya… Ayahku yang sudah tiada.

Satu hari menjelang hari H, aku diminta untuk mencoba baju pengantin. Aku juga dikenalkan dengan perias pengantin yang akan mendandani aku saat hari H nanti.

“Mbak, besok jangan cukur alis saya ya,” kataku pada perias pengantin.

“Lha … Tidak bisa. Alis ini harus dicukur. Saya tidak bisa kalau tidak mencukur alis. Kalau memang tidak boleh, cari perias lain saja,” kata perias itu dengan nada tinggi.

“Maaf, alis asli tidak usah dicukur rasanya bisa kok Mbak,” kataku.

“Saya mohon maaf juga. Kalau Anda tidak mau ikut aturan saya, lebih baik cari perias lain saja,” kata perias itu.

Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Perias itu pun menelepon calon mertuaku. Tidak berapa lama, calon mertua dan adik iparku datang ke salon.

“Kamu bisa diatur atau tidak. Kalau tidak bisa, batalkan saja pestanya. Segala sesuatu terima beres, kok ngeyel,” kata calon adik iparku.

“Apa artinya alis dibanding dengan semua persiapan yang sudah kami lakukan. Katanya mau menurut kok ngeyel,” kata calon mertuaku.

Mas Pras pun membela adik dan ibunya. Aku sendirian.

“Bagaimana?” tanya perias itu.

“Sudahlah. Dia mau kok. Jeng Heni jangan marah ya. Rias dia sesuai kebiasaan Jeng Heni. Jeng kan yang terbaik di kota ini,” kata adik iparku merayu perias yang sudah marah itu.

***

Aku tidak berani menceritakan hal ini kepada Bundaku. Aku tahu Bunda pasti akan bersedih kalau tahu alisku akan dicukur untuk keperluan rias pengantin.

Akhirnya, alisku dicukur sesuai keinginan perias itu. Aku menangis dalam hati. Seharusnya, tanpa dicukur pun alisku sudah bagus. Beberapa kali saat aku dirias, aku selalu minta agar alisku tidak dicukur. Semua perias yang pernah meriasku menuruti keinginanku. Tapi tidak untuk kali ini. Bunda… Maafkan aku.

“Cantik sekali pengantinnya,” ucap para tamu.

“Luar biasa periasnya,” kata tamu yang lain.

“Kasih kontak periasnya dong,” kata para kenalan keluarga suamiku.

Semua orang memuji penampilanku, terutama riasanku. Sang perias tampak sangat bangga.

Saat di pelaminan, aku didampingi Bunda dan kakakku yang pertama. Kulihat Bundaku memang tersenyum kepada para tamu. Tapi, aku tahu jika itu senyum yang dipaksakan. Bunda minta pamit sebelum pesta usai. Bunda minta maaf karena tidak mungkin untuk mengikuti pesta sampai selesai. Bunda merasa tidak kuat dan takut merepotkan banyak orang.

Malam itu, aku menginap di rumah mertuaku. Menurut adat, aku tidak boleh kembali ke rumah Bunda. Tapi, esok harinya, aku mengunjungi Bundaku.

“Bunda… Bunda…,” ucapku sambil terisak saat melihat Bunda terbaring di tempat tidur.

“Bunda masih bisa terima tidak menyelenggarakan pesta pernikahanmu. Seandainya mampu, Bunda akan menyelenggarakan pesta untukmu, Nak. Seharusnya, pihak perempuan yang mengadakan pesta. Tapi, Bunda sungguh tidak terima dan sangat kecewa karena kamu mencukur alismu. Bunda tidak terima, Nak. Bunda sangat kecewa,” ucap Bundaku sambil terisak.

“Ani minta maaf, Bunda. Ani tidak bisa berbuat apa-apa,” kataku.

“Lihatlah, alismu yang indah hilang. Kenangan akan Ayah juga sirna bersama alismu yang hilang,” kata Bunda.

“Alis ini akan tumbuh lagi, Bunda,” kataku.

“Tapi, tidak akan seperti alismu yang dulu,” kata Bunda lagi. Ada nada kecewa yang teramat sangat dari suara Bunda.

Sebentar kemudian, Bunda terbatuk-batuk. Aku coba untuk menenangkannya. Tapi, batuk Bunda makin menjadi. Segera, aku teriak memanggil kakakku.

“Tolong ambil alat bantu napas itu!” teriak kakakku.

Tiba-tiba batuk Bunda terhenti. Kakakku meletakkan kepala Bunda di atas bantal. Aku pun merasa lega.

“Selamat jalan, Bunda. Selamat menuju keabadian. Bunda tidak perlu menderita lagi,” kata kakakku.

Kupeluk Bundaku. Kuguncang-guncang tubuhnya. Tapi, Bunda sudah tidak bergerak lagi.

“Maafkan Ani, Bunda! Maafkan, Ani!” teriakku sambil terisak.

***

Fransisca Tining Akasiani

HIDUP NO.25 2019, 23 Juni 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here