Asrama Mahasiswa Katolik Tauboria Jayapura : Rahim Pendidikan Kader

1052
Bangunan Asrama Katolik Tauboria, Jayapura, Papua.
[NN/Dok.Pribadi]
3/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Asrama ini hadir untuk menciptakan kaderisasi sekaligus terlibat dalam pengalaman hidup riil masyarakat Papua.

Samar-samar terdengar lirik lagu “Tanah Papua”, yang dipopulerkan Edo Kondolongit. “Hitam kulit, keriting rambut, aku Papua. Biar nanti langit terbelah, aku Papua…” Namun hari itu, lirik ini dibawakan beberapa mahasiswa yang tinggal di Asrama Katolik Tauboria, Padang Bulan, Abepura, Jayapura.

Beralas rumput, beratap awan, dalam petikkan ukulele, mereka bersenandung soal Papua, “surga kecil di bumi”. Angin malam pun enggan mengubris kebersamaan mereka. Sesekali terlihat asap rokok berbentuk lingkaran kecil mengepul dari mulut si asbak, sebutan khas untuk Albert Yatipai.

Sekitar 20 mahasiswa beriung, mengelilingi binar api yang membakar merah kayu-kayu kering. Malam itu, mereka bersukacita dalam balutan tradisi bakar batu. Sukacita tidak lengkap tanpa bakar batu. Albert bercerita, bakar batu adalah budaya kehidupan di Papua. Di sini mereka bisa makan sambil bercakap-cakap. “Ini salah satu tradisi khas di Asrama Tauboria. Bila ada yang lulus ujian skripsi, kami merayakannya,” ujar Albert.

Kaderisasi Pendidikan
Secara umum, kehangatan bakar batu selalu terjaga dalam kehidupan di Asrama. Tauboria. Sebagai penghuni asrama, para mahasiswa dituntut untuk belajar mandiri mulai dari memimpin doa, memasak hingga membersihkan asrama. Semua itu dilakukan secara bergilir.

Maryus Bendokbiran mengatakan, berdirinya asrama ini menjadi tempat kaderisasi bagi kaum muda di Papua. Bila seminari mendapat julukan jantung keuskupan, asrama-asrama awam adalah lambung Gereja. Menolak kehadiran asrama, bagi Maryus, menolak kaderisasi dalam Gereja.

Asrama Tauboria diharapkan melahirkan jiwa-jiwa visioner yang diharapkan mampu menjadi “garam” bagi masyarakat di Papua. Mereka yang tinggal di asrama ini adalah orang-orang pilihan dari lima Keuskupan Regio Papua. Mereka diformat dan dibekali secara khusus di Tauboria.

Sosok pemimpin yang dihasilkan dari disiplin hidup Tauboria diharapkan mampu berdaya saing di tengah bangsa, juga Gereja. Ini visi yang terasa sangat sulit. Sebab di Papua umumnya ada seloroh, “bertemu sepuluh anak Papua, sebelas anak pasti tidak bisa baca”. Dijuluki “kota pelajar”, Jayapura masih menyisahkan situasi buta aksara di sudut-sudut kota.

Aktivis Papua Pastor John Djonga, saat dihubungi beberapa waktu lalu menjelaskan, salah satu alasannya adalah tidak ada akses dan tenaga pendidik yang bisa membentuk pola pikir anak-anak. Bila pemerintah merasa pendidikan menjadi kunci keberhasilan bangsa, justru anggapan ini tidak mengakar di Papua.

Hal ini diperparah dengan sistem pendidikan nasional yang seringkali tidak membumi dengan konteks hidup orang-orang Papua. Gambaran tentang harimau, gajah, apalagi kereta api, tidak dilihat di Papua. “Mereka kenal perahu, sampan, dan rakit. Binatang pun ada babi, kasuari, cendrawasih atau kanguru. Setidaknya bisa menjelaskan sesuatu yang dekat dengan kehidupan anak-anak,” ungkap Pastor John.

Isi pewartaaan menebar jala teologi kontekstual ini searah dengan Kabar Gembira yang ditawarkan Yesus. Bila pelayan pastoral mewartakan Allah yang transenden di altar, para mahasiswa yang belajar kontekstualitas membawa altar ke pasar. Di sini “mimbar duniawi” bisa menawarkan jalan keluar dari aneka persoalan teologis. “Kita tidak bisa berbicara soal Tritunggal kepada anak-anak yang tiga hari tidak pernah makan, tiga tahun tidak sekolah. Pastoral kontekstual adalah mimbar utama berbicara tentang Allah,” refleksi Pastor John.

Kaderisasi Katolik
Mengutip pernyataan Uskup Jayapura Mgr Leo Laba Ladjar terkait Komunitas Basis Gerejani, kaderisasi dalam asrama Katolik menjadi penentu masa depan Gereja. Pantaslah di Keuskupan Jayapura, terdapat banyak asrama bernafaskan kekatolikan. Sebut saja Asrama SPG Taruna Bahkti, Asrama Caritas di Dok Dua Jayapura, Asrama St Don Bosco di Wamena, Asrama Mahasiswa Katolik Tauboria, dan lainnya.

Dalam Narasi Historis 50 Tahun Terakhir Keuskupan Jayapura, Menjadi Gereja yang Berjalan Bersama Papua, Pastor Eddy Kristiyanto OFM menyinggung juga kehidupan berasrama di Jayapura. Gerak yang paling nyata dapat terlihat dan dirasakan dalam himpunan, persekutuan, dan komunitas gerejawi termasuk hidup berasrama. Di sini, setiap anggota dalam kebersamaan memperlihatkan keyakinan religiusnya.

Asrama Tauboria telah mewujudkan kebutuhan ini. Komunitas basis menjadi spirit di asrama ini. Asrama Tauboria menjadi jawaban nyata. Di asrama ini sikap tubuh dalam arti pembinaan mentalitas menjadi hal utama. Hal ini mau menunjukkan bahwa iman Katolik bukan soal perasaan atau akal budi semata, tetapi soal gerakkan hati untuk keluar menanggapi situasi kehidupan masyarakat.

Secara faktual dan dalam pengalaman hidup harian, kaderisasi ini terbentuk karena jasa misionaris. Era tahun 1960-1990-an, kaderisasi dalam lingkup asrama diawali oleh Uskup Jayapura pertama, Mgr Rudolf Joseph Manfred Staverman OFM. Usaha ini lalu dilanjutkan Mgr Herman Ferdinandus Maria Münninghoff OFM.

Di bidang pendidikan, lahirlah asrama-asrama termasuk Sekolah Tinggi Filsafat Fajar Timur di Papua. Di bidang kesehatan terbentuk rumah sakit misi termasuk di dalamnya berdirinya Associated Mission Aviation (AMA): organisasi nirlaba yang bergerak dibidang transportasi udara. Sektor pertanian, peternakan, pertukangan, dan lainnya adalah pengejawantahan dari mimbar kontekstualisasi di Jayapura.

Rahim Pendidikan
Asrama ini telah menghasilkan ribuan lulusan yang membuat banyak orang angkat topi. Sebut saja Phill Ell yang kini bekerja sebagai pengacara di Jakarta, Sekretaris Daerah Jayapura Frans Pekey, Rektor Universitas Cendrawasih Apolos Safanto, dan banyak orang hebat lainnya seperti dosen, peneliti, dokter, dan lainnya. Ini membuktikan kualitas moral dan spiritual para “jebolan” asrama ini sudah teruji.

Asrama Tauboria menjadi rahimnya pendidikan di Papua. Tetapi, tidak serta-merta, pola pikir hidup asrama menjadi mentalitas hidup di Jayapura. Era 2007, asrama ini dan beberapa basis gerejawi dialihfungsikan. Misal, Wisma II (sekarang Marvin), dialihkan untuk frater-frater tingkat akhir yang sedang menyusun skripsi.

Sejak era itu, Gereja mengalami “krisis kaderisasi”. Orang Katolik tak bergigi di tanah Papua. Pondasi Gereja mulai goyang dan kesannya berubah arah. Gereja sering mengeluh karena pemerintah memperketat bantuan dari luar negeri untuk Gereja. Padahal pemerintah sudah membantu lewat alokasi dana Otonomi Khusus (Otsus).

Bagi mahasiswa dana Otsus miliaran rupiah tidaklah penting. Hasil utama yang penghuni asrama rasakan adalah terbentuknya pola pikir dari masyarakat yang “tertutup ke dalam” ke lebih “terbuka keluar”. Ada perubahan dari ragam hidup yang terpencil, menjadi terbuka. Masyarakat homogen, seragam dalam cara hidup, menjadi heterogen. Tujuan yang paling sederhana di bidang pendidikan, yang awalnya tidak tahu membaca dan menulis, menjadi bisa berkomunikasi secara luas. Asrama Tauboria menjawab kebutuhan itu.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.28 2019, 14 Juli 2019

1 COMMENT

  1. Saya adalah salah satu dari penghuni Asrama Mahasiswa Katolik Tauboria, mengucapkan terimakasih atas perhatiannya melalui media.

Leave a Reply to Franc Cancel reply

Please enter your comment!
Please enter your name here