Merindu Indonesia yang Dulu

174
4/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Di tengah isu terorisme, beberapa umat bertanya, “Romo, rasanya rindu ya Indonesia yang dulu. Dulu kami biasa bermain dengan teman yang berbeda agama, tetapi mengapa sekarang bermasalah?” Mendengar ini, saya menangkap mimpi mereka akan sesuatu yang membebaskan dari masalah saat ini. Pada waktu yang sama saya sadar bahwa kerinduan yang sama dimiliki oleh pelaku teror. Mereka merindukan sesuatu yang memerdekakan, entah dalam bentuk surga atau penerapan hukum agama yang bisa memberi mereka ruang mendapatkan hak yang lebih baik. Kita punya kerinduan yang sama, hanya sayangnya kita belum bisa berbagi dunia yang sama.

Dalam situasi ini, selalu ada kemungkinan untuk melarikan diri dari kenyataan. Ada orang yang melarikan diri dengan bunuh diri, yang lain melarikan diri dengan mengasingkan diri dalam kekayaan, tetapi yang lebih banyak terjadi adalah yang melarikan diri dengan mengatakan bahwa, “Aku bukan bagian dari permasalahan dunia ini.” Orang-orang ini biasa menyebut diri sebagai korban, tanpa keinginan untuk mengubah keadaan. Dalam bahasa lain orang ini disebut penonton yang suka mengomentari situasi, tanpa bertanya, “Apa yang bisa aku lakukan untuk memperbaiki situasi ini?” Yang muncul adalah, “Mengapa aku harus mengalami semua ini?” Bisa jadi para penonton ini senang mencari kambing hitam. Kalau sudah demikian, tidak akan pernah lahir gerakan-gerakan perubahan. Bahkan, sikap diam kita ikut menenggelamkan negeri ini.

Di dalam situasi mencari kambing hitam, tak jarang orang mematikan ingatannya akan sejarah. Kalau orang mengatakan tentang masa lalu, orang lupa kalau pada masa itu kita ada di bawah tekanan penjajahan belanda, atau situasi kemiskinan pada awal-awal kemerdekaan, atau tekanan politik pada era orde baru atau bahkan kemungkinan perpecahan pada awal-awal reformasi. Di dalam ingatannya orang hanya memilih hal-hal yang menyenangkan karena memang itulah yang selalu dirindukannya. Padahal, dengan cara demikian, orang hanya akan jatuh kepada satu kemungkinan: menghindari peran menjadi pahlawan zamannya.

Dalam teori sosial dikenal yang namanya agen perubahan. James Mahoney and Kathleen Thelen dalam buku mereka Explaining Institutional Change, Ambiguity, agency and Power, menerangkan agen sebagai orang yang mengusahakan perubahan yang berarti dalam kehidupan sosial. Orang-orang ini tidak berhenti dengan mengutuk keadaan yang tidak menyenangkan tetapi berusaha membuat perubahan. Mereka tidak melarikan diri dengan kenangan akan masa lampau maupun impian akan masa depan yang tampaknya lebih indah. Kita harus menghadapi masa kini yang memang dipercayakan kepada kita. Dalam ungkapan Paus Fransiskus dikatakan demikian, “Pada masa ini, hidup menghadirkan tantangan-tantangan yang luar biasa besar. Melalui tantangan tersebut, Tuhan memanggil kita untuk membuat sebuah pertobatan yang baru yang memungkinkan rahmat-Nya lebih nyata di dalam hidup kita, ‘supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya’” (Ibrani 12: 10) (Gaudete et Exultate art 17).

Salah satu bentuk perubahan yang bisa dilakukan adalah usaha menghapus prasangka negatif antar warga masyarakat yang menjadi ladang subur tumbuhnya benih-benih radikalisme. Jangan biarkan mereka yang beraliran keras menjelaskan tentang agama kita kepada saudara-saudarinya sehingga terseret dalam pemikiran yang menganggap kita sebagai musuh. Satu-satunya jalan untuk bisa menjelaskan secara langsung adalah dengan perjumpaan. Salah satu keberhasilan teror adalah ketika orang tidak lagi mau bertemu sehingga memudahkan suburnya benih-benih permusuhan. Sayangnya, gejala ini sudah mulai biasa di kalangan umat Katolik: penyelenggaraan acara-acara sosial tidak melibatkan agama lain; anak-anak OMK mengadakan kegiatan hanya intern mereka; atau para pastor tidak mengenal para pemuka agama yang ada di sekitar gerejanya. Di sinilah harus terjadi pertobatan untuk membangun kebersamaan. Sebagai pihak yang tak jarang menjadi korban terror, kita tidak pernah boleh berhenti menjadi korban, melainkan harus menginisiasi perubahan. Meski tak besar, kegiatan-kegiatan yang mempertemukan orang dari berbagai golongan agama memungkinkan kita untuk memperkuat benteng persaudaraan guna mencegah tumbuh suburnya radikalisme dan permusuhan antar anggota masyarakat.

Janganlah kita suka jadi penonton, yang sekedar bisa berkomentar, melainkan jadilah agen perubahan yang meski berkorban tetapi ada kebanggaan boleh berperan sebagai pahlawan bagi zamannya.

M. Joko Lelono

HIDUP NO.28 2019, 14 Juli 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here