Plt Dirjen Bimas Katolik

703
3/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Hari-hari ini, ada pemandangan menarik di kantor Kementerian Agama Republik Indonesia. Direktur Jenderal (Dirjen) Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam, Prof Muhammadyah Amin, relatif sulit ditemui. Penyebabnya, yang bersangkutan kini punya kantor lain. Untunglah, berada di gedung yang sama. Sejak Eusabius Binsasi pensiun sebagai Dirjen Bimas Katolik, yang bersangkutan memang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Bimas Katolik.

Bayangkan, seorang Muslim mengepalai Direktorat Jenderal (Ditjen) Bimas Katolik. Artinya, walau hanya sementara sambil menunggu Dirjen definitif terpilih, yang bersangkutan menjadi komandan dari suatu satuan kerja yang bertugas mengu rusi kemaslahatan masyarakat beragama Katolik se-Indonesia. Para staf pun semuanya Katolik. Ini simbol toleransi atau apa?

Terhadap situasi ini, ada saja umat Katolik yang bersikap sinis. “Kayak enggak ada orang Katolik yang mampu?” kata sementara pihak. Pada kenyataannya memang tidak ada. Untuk mengisi ja batan Plt Dirjen, ternyata persyaratan sesuai UU begitu spesifik : tidak boleh orang luar Kementerian Agama dan tidak boleh diduduki oleh orang dengan eselon lebih rendah (harus diisi oleh sesama pejabat Eselon 1). Mengingat beberapa pejabat Eselon 1 di kementerian tersebut berhalangan (ada yang sedang merangkap Plt. pula), maka pilihannya tinggal Prof. Muhammadyah Amin tersebut.

Dari kasus ini, kita bias belajar tiga hal. Pertama, birokrasi itu impersonal. Apabila birokrasi dianalogikan dengan mesin, maka mesin membutuhkan sekrup untuk membuatnya berfungsi. Sekrup itu, normatifnya, bisa siapa saja sepanjang memenuhi syarat.

Kedua, setiap jabatan memiliki ruang jabatan dan kewenangan. Walau beragama lain sekali pun, maka Plt. Dirjen dibatasi, bahkan dilarang, untuk melakukan hal-hal di luar ruang tersebut. Sebaliknya, ia dituntut melakukan hal-hal yang diperlukan oleh jabatannya, misalnya menegur, betapa pun beragama berbeda.

Ketiga, khusus bagi umat Katolik yang masih alergi dengan kenyataan ini, maka daripada meminta birokrasi melanggar aturannya sendiri (misal, mengangkat pejabat Katolik dengan eselon lebih rendah menjadi Plt. Dirjen), mungkin lebih strategis berpikir tentang keberadaan orang-orang Katolik di sebanyak mungkin jabatan dalam birokrasi. Khususnya apabila telah berada di eselon cukup tinggi, bisa saja seorang Katolik berada pada posisi seperti dialami Prof. Muhammadyah Amin sekarang : ditugaskan di jabatan yang sebetulnya asing baginya.

Tentunya, pengisian jabatan oleh orang Katolik bukanlah pekerjaan satu-dua hari. Juga bukan pekerjaan mudah tanpa kompetisi. Bagi seorang yang berkarier dari awal, dibutuhkan waktu 20 tahunan guna berada di eselon pembuat dan penentu kebijakan. Bagi yang ingin masuk dari jalur “cepat”, yakni melalui jalur eleksi (dipilih melalui pemilu atau pilkada), jalur seleksi (misalnya, guna menjadi Pimpinan KPK), maka kompetensi, profesionalisme, integritas diri dan rekam jejak menjadi ukuran. Demikian juga bagi yang berharap masuk melalui jalur appointment atau penunjukan (misalnya, menjadi duta besar).

Andaikan semua keluarga Katolik meminta anaknya menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), maka dari segi jumlah kita tentu tidak mungkin mendominasi birokrasi. Namun demikian, ini rahasianya, bukan jumlah yang menentukan tetapi kehadiran di posisi-posisi strategis di berbagai instansi. Melalui situasi itu, kita bisa berjejaring dan membuat semacam aliansi imajiner yang diikat oleh semangat Kristiani.

Adrianus Meliala

HIDUP NO.32 2019, 11 Agustus 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here