Misi di Era Teknologi Digital

875
Pastor Johanes Haryatmoko SJ.
[Dokpen KWI/Matius Bramantyo]
2.5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Bila Gereja ingin berperan di dunia virtual, syarat utama adalah kerja dalam tim dan jaringan.

Perayaan 100 tahun Maximum Illud dan Bulan Misi Luar Biasa dikemas dalam bentuk Kongres Misi dengan tema, “Dibaptis dan Diutus Menginjili Dunia”. Gereja yang misioner berarti Gereja yang sungguh-sungguh berusaha mewartakan Injil kepada semua orang. Seperti apa misioner mestinya melestarikan karya itu supaya Gereja berkembang mencapai pasar sesuai dengan zamannya? Berikut ini petikan wawancara HIDUP dengan salah satu panelis dalam Kongres Misi, Pastor Johanes Haryatmoko, SJ, doktor dalam bidang antropologi dan sejarah agama-agama dari Universitas Sorbonne, Paris, dan doktor dalam bidang Ilmu Etika Politik dari Institut Catholique de Paris, Prancis, melalui sambungan telepon, Kamis, 8/8.

Kongres Misi 2019 baru saja digelar. Adakah hal lain yang melatarbelakangi kongres ini selain untuk merayakan 100 tahun Maximum Illud?

Maximum Illud adalah Surat Apostolik tentang misi yang dikeluarkan Paus Benediktus XV tahun 1919. Gereja Indonesia mengambil momen ini untuk mengingatkan kita saat ini apa yang mau kita lakukan untuk karya misi. Kita melihat apa relevansi Maximum Illud dengan pewartaan kita ke depan. Jika 100 tahun lalu, Maximum Illud dianggap sebagai terobosan, maka melalui Kongres Misi ini kita mau melihat apa yang menjadi terobosan kita pada era Revolusi Industri 4.0 ini. Revolusi Industri 4.0 ditandai dengan internet di mana-mana dan sangat mobile, sensor makin kecil, tapi lebih kuat dan lebih murah, dan terutama merebaknya kecerdasan buatan. Ini bukan wacana ilmiah tentang “apa” dan “bagaimana”, tetapi karena mengubah secara radikal banyak segi kehidupan, masalahnya sampai menyentuh “siapa kita”. Dampak dahsyat memporakporandakan sistem yang ada sehingga menggoncang banyak segi kehidupan. Oleh karena itu, Gereja tidak bisa menghindar dari tanggungjawabnya, mereorganisasi diri, melakukan perubahan bukan hanya cara atau prosedur pewartaan tetapi juga mendefinisikan kembali hakikat misi itu sendiri.

Lalu seperti apa makna misi pada era saat ini?

Dokumen Konsili Vatikan II, Ad Gentes no. 6, membantu memahami arti misi, yaitu prakarsa-prakarsa khusus yang ditempuh para pewarta Injil utusan Gereja dengan pergi ke seluruh dunia untuk menunaikan tugas menyiarkan Injil dan menanamkan Gereja di antara para bangsa atau golongan-golongan yang belum beriman akan. Definisi romantis tentang misi di atas menafsirkan secara harafiah teks Injil Matius 28:19 “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus!”. Sedangkan pada periode akhir tahun 1960-an sampai 1980-an, era berkembangnya teologi politik, teologi pembebasan, berkembang pemahaman misi yang dikaitkan dengan keterlibatan dalam perjuangan keadilan sosial, mengatasi kesenjangan ekonomi, penindasan, ketakadilan rasial dan jender atau semua bentuk ketidakberesan sosial lainnya.

Dewasa ini, kita bisa juga memahami keprihatinan Paus Fransiskus akan lingkungan hidup, kemiskinan dan radikalisme agama sebagai fokus misi. Dalam Ensiklik Laudato Si’ dan di kesempatan-kesempatan lain, Paus Fransiskus menekankan pentingnya merawat lingkungan demi rumah bersama. Sedangkan pada Agustus 2018, di hadapan peserta Konferensi Tahunan ke-9 International Catholic Legislators Network, Paus Fransiskus mengingatkan bahaya fundamentalisme dan intoleransi yang mengancam kebebasan beragama.

Pemahaman misi bukan lagi fokus pada masalah teritorial, tetapi bergeser lebih ke arah substansi sosial-teologis. Pergeseran ini memang masih terjadi di dunia riil. Di era teknologi digital dewasa ini, substansi yang menjadi fokus misi itu juga berlangsung di dunia virtual. Misi dewasa ini harus memperhitungkan teritori virtual yang menunggu jawaban mendesak dari Gereja karena di era Post-Truth kebenaran menjadi nomor dua. Padahal kabar gembira adalah desakan untuk menjawab “ya” kepada kebenaran. Era Post-Truth ditandai dengan fenomena hoax yang masif menyeruak, menyebar, dan menghentak akal sehat masyarakat dan dunia politik.

Bagaimana Gereja menjawab pengabaian kebenaran di era Post-Truth ini?

Menjadi misi Gereja Katolik untuk memberitakan kabar baik, kebenaran, tapi di era Post-Truth kebenaran dilecehkan. Maka di era Post-Truth ini, Gereja harus memfasilitasi anggotanya membiasakan diri memberi waktu lebih kepada bentuk komunikasi yang sering dilupakan, yaitu ‘mendengarkan’ agar tertarik persepsi pihak lain. Maka komunikasi bukan hanya transmisi, tetapi juga menerima, inklusif agar kerja kita relevan dengan aspirasi atau keprihatinan masyarakat.

Gereja perlu mendorong media literacy di sekolah, terutama sejak Sekolah Menengah Pertama. Sehingga sejak remaja peserta didik sudah memahami mekanisme, teknik dan trik media sosial agar tidak mudah dimanipulasi. Mulai dari hal sederhana, seperti waspada terhadap headlines karena sering dijadikan alat untuk memancing orang masuk ke dalam wacana yang menjebak: orang akan menjelaskan cerita, komentar artikel, lalu percaya begitu saja terhadap apa yang tidak dibacanya.

Bila Gereja ingin berperan di dunia virtual, syarat utama adalah kerja dalam tim dan jaringan. Pewarta-pewarta yang sudah diterima netizen dan mendapat banyak followers harus didukung oleh tim IT yang kuat dan tim teologi/filsafat yang memiliki kompetensi mumpuni. Akseptabilitas netizen tergantung penampilan yang prima di media sosial. Ini membutuhkan stamina panjang berupa supply refleksi filosofis dan teologis yang berkesinambungan dan tim IT untuk menentukan kapan harus diunggah, dikemas dalam bentuk retorika macam apa, memperhitungkan dampak visual seperti apa, bagaimana menghindari kemungkinan tuntutan netizen. Maka ini juga ajakan bagi awam untuk turut aktif dalam karya misi. Awam menjadi penting bukan lagi menggantungkan pada hierarki.

Karya misi tradisional Gereja yang paling menonjol adalah melalui pendidikan dan kesehatan. Terobosan seperti apa yang perlu kita lakukan dalam model misi ini?

Karya misi pendidikan adalah salah satu cara mengatasi kemiskinan. Apakah karya pendidikan kita sungguh-sungguh mempersiapkan siswa menghadapi industri 4.0? Pusat perhatian di dunia pendidikan juga mengarah ke user experience design : proses menciptakan layanan pendidikan dengan memberi makna dan relevansi terhadap pengalaman peserta didik. Harus ada design seluruh proses untuk memperoleh dan mengintegrasikan layanan pendidikan, termasuk aspek branding, design, penggunaan dan fungsi.

Internet memungkinkan tersedianya banyak informasi bagi peserta didik sehingga mempermudah penelitian dan penulisan karya ilmiah. Teknologi Informasi mengubah lingkungan dan cara belajar sehingga memberdayakan masyarakat berpengetahuan. Jadi informasi menjadi sumber daya, terlebih lagi teknologi menjadi perangkat pribadi untuk terkoneksi satu sama lain. Dengan demikian memungkinkan setiap orang menjadi pengguna sekaligus penghasil dan konsumen pengetahuan. Tantangan utama pendidikan adalah inovasi.

Maka, kurikulum dan pedagogi harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran untuk membawa peserta didik lebih kreatif dan inovatif. Mengajar dan mendorong inovasi bukan sekadar proses pembelajaran yang diajarkan atau ketrampilan yang dilatihkan.

Sementara untuk pelayanan kesehatan, teknologi digital telah berkembang dan mengubah hidup kita serta mengubah model pelayanan kesehatan. Digitalisasi juga mengubah relasi, profesi dan prosedur pelayanan kesehatan: dokter, perawat, rumah sakit, industri farmasi, ilmu pengetahuan kedokteran, instansi pembuat aturan dan terutama terhadap pasien.

Kebijakan antisipatif merupakan satu-satunya cara menjemput bola disrupsi digital dalam pelayanan kesehatan. Bentuknya, memfasilitasi studi-studi penelitian medis yang berorientasi ke sistem dan mendorong penerjemahan penelitian-penelitian itu agar bisa diimplementasikan oleh para profesional klinik. Maka alat platform komunikasi menjadi sangat penting dalam membangun hubungan pasien klinik dengan user interface yang menunjang bagi pengguna. Kebutuhan-kebutuhan untuk praktik medis harus dipenuhi, termasuk penggunaan artificial intelligence karena praktik pengobatan penyakit kronis tidak bisa lagi tanpa perlengkapan teknologi canggih. Dan hal yang mutlak harus diorganisir adalah memfasilitasi pelatihan dan sertifikasi dokter-dokter, tentu perawat dan tenaga medis lainnya.

Dekade ini ditandai pengobatan melalui mikrochip sehingga konsumsi lebih aman.

Hermina Wulohering

HIDUP NO.33 2019, 18 Agustus 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here