Fransiska Oetami : Membangun Karakter Anak Lewat Game

412
Fransiska Oetami.
[Hermina Wulohering]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Tak hanya ingin anak-anak siap menghadapi abad digital, Siska menyelipkan pembangunan karakter dengan belajar membuat aplikasi game.

Memiliki putra kecil yang saban hari berkarib dengan gawai, tak membuat Fransiska Oetami terlampau khawatir. Saking sukanya bermain game, bocah 10 tahunnya itu bahkan mulai mengulik cara membuat aplikasi game sendiri. Siska pun mulai mencarikan kursus programming untuk anaknya tetapi tidak menemukan. Kala itu keluarga kecilnya baru kembali menetap di Tanah Air untuk membuka perusahaan e-commerce. Siska menemukan anak-anak muda lulusan SMK yang ia pekerjakan, tak hanya cakap soal rekayasa perangkat lunak, tetapi juga mempunyai minat dalam bidang edukasi. Ia pun tergerak untuk membuka sendiri lembaga belajar khusus programming.

Dengan latar belakang pendidikan dalam bidang psikologi konseling dan pengembangan komunitas, gagasan lain ikut muncul. “Saya pikir tempat belajar ini juga bisa menjadi wadah untuk mengembangkan social skillnya,” kata Siska. Ia pun mulai melakukan riset mendalam tentang metode-metode pembelajaran yang membangun anak tetapi mungkin tidak didapatkan di sekolah. Maka didirikanlah Clevio Coder Camp, yang menjadi wadah untuk mengembangkan ketermampilan-keterampilan lain pada anak melalui programming. “Keterampilan-keterampilan yang dikembangkan ini yang mereka butuhkan di abad digital saat ini,” ujarnya.

Dari berbagai keterampilan abad 21 yang Siska pelajari, ia hanya mengambil empat yang terutama untuk diterapkan dalam lembaga belajarnya, yaitu kolaborasi, komunikasi, berpikir kritis, dan kreativitas. Menurut Siska, teknologi telah mengambil sebagian pekerjaan manusia, namun empat hal tadi tak bisa dilakukan oleh mesin.

Ia juga mendalami psikologi positif yang melihat karakter-karakter apa yang dibutuhkan untuk bisa memiliki hidup yang baik. Ia pun mengambil lima di antaranya untuk dikembangkan di Clevio, yaitu pantang menyerah, intelegensi sosial, kesadaran akan diri sendiri, kepemimpinan, dan pengendalian diri. “Mereka harus bisa melihat masalah yang
ada di sekeliling mereka lalu menciptakan solusi untuk itu. Sehingga yang mereka ciptakan bukan sekadar game atau app atau website tetapi punya tujuan,” kata Siska.

Benar saja, ketika mencari Clevio Coder Camp di Play Store Android, muncul berbagai macam produk aplikasi buatan anak-anak yang bernilai edukatif. Ada aplikasi yang mengajarkan kesehatan, keamanan, lingkungan hidup, hingga bahasa isyarat. Siska menambahkan, ada game dalam bentuk CD yang dibuat anak Clevio yang idenya datang dari keprihatinan atas kebiasaan membuang sampah di sungai. Dengan game itu orang bisa melihat efeknya. Kelebihan-kelebihan ini membuat Siska merasa terlalu sederhana apabila lembaga yang ia bentuk ini disebut sekolah coding. Ia lebih suka merujuk Clevio sebagai sekolah technopreneur masa depan. “Jadi di Clevio, anak-anak ini pada akhirnya tak hanya menciptakan produk digital tetapi ada karakter-karakter juga yang ikut dibentuk,” jelas ibu dua putra ini.

Coding memang diakui Siska sangat menarik. Mengutip Bill Gates, ia mengatakan belajar programming itu mengembangkan cara berpikir seseorang menjadi sistematis dan logis. Ini akan terbawa dalam pola kehidupan sehari-hari menjadi lebih terorganisir. Sehingga Siska mengatakan ia tak berusaha mencetak programmer sebanyak-banyaknya dari Clevio Coder Camp. Tujuannya adalah agar anak-anak bisa mengembangkan pola pikir coding yang sistematis dan bisa memecahkan masalah.

Untuk mencapai apa yang ia targetkan pada anak-anak Clevio, Siska menerapkan model ruang kelas yang lingkungannya positif. Ia menjelaskan, ia dan timnya mencari hal-hal positif untuk dikembangkan. Awalnya dimulai dari pelatihan para pengajar Clevio yang disebut coach. Kurikulum yang dipakai juga menjadi penentu. “Kami mempunyai kurikulum teknis dan non-teknis. Untuk teknis berarti coach harus sudah tahu hari ini akan mengerjakan proyek dengan tema, software, tools tertentu,” Siska menjelaskan. Sementara kurikulum nonteknis adalah bagaimana menjalankan kelasnya itu sendiri.

Bagi Siska, kerja tim adalah hal yang sangat penting dalam berjalannya kelas. Para developer cilik ini biasanya bekerja berpasangan dalam tim. Seorang menjadi desainer dan yang lain programmernya, lalu salah satu dari keduanya memegang posisi project manager. “Dari situ mereka belajar tanggung jawab, berbagi tugas, memimpin,” ujarnya. Dalam proses kerja sama sebagai satu tim ini perbedaan pendapat akan terjadi. Di sinilah anak-anak dilatih untuk berani mengomunikasikan ide mereka di awal. “Coach harus bisa menggali itu dari anak-anak, bagaimana dia mengeluarkan ide, lalu ketika idenya keluar bagaimana agar mereka tidak berkonflik,” tambahnya. Karenanya, ia cukup selektif dalam merekrut coach. Meskipun cukup sulit mencari programmer atau orang yang bisa mengajar coding, Siska mengaku tak asal rekrut. Ia tetap memilih para coach yang tak hanya jago, tapi juga punya hati mendampingi murid-muridnya belajar dan mengembangkan karakter. “Karakter positif yang kita bangun ini penting walau mungkin hasilnya tidak bisa langsung kita lihat sekarang,” tambahnya.

Umumnya murid-muridnya berusia di atas enam tahun. Paling banyak berada di usia kelas IV SD sampai SMP. Di usia ini, antusiasme belajar mereka sangat tinggi. Ia mengatakan ini disebabkan usia ini lebih mempunyai keinginan untuk mencapai sesuatu. Dari produk yang diciptakan, usia-usia ini juga ia sebut produk yang paling menarik dan lebih berani dalam ekspresi. “Mungkin karena mereka belum sampai ke remaja yang kadang-kadang agak ja’im, tapi juga sudah melewati masa-masa lower primary.”

Siska mengatakan semua usia bisa mempelajari programming. Pembelajaran programming yang Siska buat ini juga menjangkau anak-anak berkebutuhan khusus, yang memang berasal dari sekolah inklusi dan terbiasa bergabung dengan anak-anak pada umumnya.

Tak ada kesulitan yang berarti baginya menuntun anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) belajar programming. Justru Siska melihat ini menjadi kesempatan belajar baik bagi ABK itu sendiri, teman- temannya, maupun para coach.”Banyak manfaat untuk pengembangan empati dan social skill anak-anak yang lain, tidak hanya ABK,” ujarnya.

Kini enam tahun sudah Clevio berjalan. Siska tak menampik banyak kesusahan yang ia alami, apalagi di masa-masa awal. “Saat Clevio ini dibuka, orang tidak tahu coding itu apa,” kenangnya. Maka, gamelah yang ia jadikan sebagai motivasi bagi anak-anak. Sebab, menurutnya, bila ia merangkul mereka dengan ajakan belajar bahasa pemrograman python anak-anak tentu tak berminat. Namun, beda cerita bila diajak membuat game.

Hingga saat ini pun di tengah masyarakat, game masih menuai banyak konotasi negatif, terutama di kalangan orang tua. Karenanya, Siska ingin mengedukasi masyarakat terutama para orangtua agar berpikir bahwa teknologi tidak harus menjadi musuh untuk ditaklukkan. “Justru bagaimana kita menguasainya dengan belajar bahwa game itu ada yang seperti ini dan itu. Yang seperti apa yang harus kita hindari,” tambahnya.

Sekolah coding dengan pembangunan karakter yang ia dirikan ini pada tahun 2014 meraih penghargaan Pioneer in the Re-imagine Learning Challenge dari LEGO Foundation dan Ashoka Changemakers. Sejak awal, program Clevio Coder Camp bekerjasama dengan sekolah-sekolah. Kini apa yang ia bangun telah berkembang pesat. Ia mengatakan ingin timnya menjadi semakin solid sehingga bisa memberdayakan bangsa ini menjadi penguasa teknologi. “Kita tidak harus menjadi yang paling canggih tapi bagaimana dengan cerdik anak-anak ini nantinya bisa memanfaatkan teknologi itu untuk memberdayakan hidupnya,” ujarnya.

Bila saat ini ia menjadi nakhoda Clevio Coder Camp, ia bermimpi nantinya mendirikan Clevio Coach Camp untuk melatih para pengajarnya sehingga bisa menyebarkan Clevio ke seluruh Nusantara. “Setelah itu, keinginan saya tak muluk-muluk. Saya ingin kembali ke Papua, ingin menjadi guru SD di tanah kelahiran saya,” imbuhnya.

Fransiska Oetami

Lahir : Tembagapura, 20 Maret 1976

Pendidikan :
• Konseling Anak dan Remaja, ACC School of Counselling and Psychology, Singapura (2012)
• Psikologi Konseling, ACC School of Counselling and Psychology, Singapura (2012)
• Pembangunan Ekonomi Komunitas, San Diego State University, Amerika Serikat (2004)
• Teknik Lingkungan, Montana School of Technology, Butte, Montana, Amerika Serikat (1999)

Karier :
Business Developer – International Women’s Kitchen, California, Amerika Serikat Research Assistant – Mississippi River Water Quality Database Project, Tulane University, New Orleans, Amerika Serikat

Hermina Wulohering

HIDUP NO.35 2019, 1 September 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here