”Hawa”

127
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Melakukan kesalahan adalah ketakutan terbesar dalam hidupku. Ketakutan ini bukan tanpa alasan. Setiap alasan selalu muncul dua langkah ke depan. Saat itulah aku belajar untuk memilih. Hal tersulit yang pernah kualami adalah ketika dihadapkan dengan pilihan. Apa yang akan dipilih pada saat itu menentukan apa yang akan terjadi saat itu juga dan juga setelahnya. Aku menyadari bahwa setiap hari aku selalu berhadapan dengan keadaan ini. Namun, hanya ada satu pilihan yang terus dikenang hingga saat ini.

Seandainya saat itu, tangan ini tak menerima buah itu, mungkin semuanya tak akan seperti ini. Dalam keheningan, drama inilah yang selalu kubayangkan. Aku sama seperti Hawa. Ya benar! Hawa. Nama wanita pertama yang dianugerahkan Tuhan kepada Adam, seorang pria yang pernah mengalami kesendirian. Nama ini akhirnya terus mengalir dalam diriku bersama aliran darah. Pribadi yang lembut, peramah, penuh kasih sayang, itulah namaku yang lain. Inilah adalah sisi baik dari kehidupan wanita pertama itu. Namun, kebalikan itu bagaikan bunga yang mekar dipagi hari dan akhirnya layu diwaktu sore. Tidak hanya layu, ia bahkan jatuh dan diinjak orang. Kisah indah akhirnya hanya sementara.

Peristiwa singkat itu sepertinya telah membuat mata budaya layaknya menatap debu yang harus dibersihkan. Aku adalah penyebab segalanya. Penggoda. Penjebak. Penipu. Di balik kisah tulang rusuk yang dihembusi nafas, yang sebenarnya ingin menjadikan akusama akhirnya hanyalah narasi yang dikisahkan dari generasi ke generasi. Aku tak sekuat tanah yang dibentuk dengan tangan sehingga menjadi tegar. Aku hanyalah bagian dari tanah itu. Jika mungkin, aku hanyalah debu. Bayangkan bagaimana rasanya jika debu diterpa angin kebencian, pemfitnahan?

Butuh waktu yang cukup lama bagiku untuk merenungkan kisah ini. Aku tahu bahwa aku bukanlah yang pertama mengalami ini. Ada banyak yang telah mengalami atau sedang mengalami peristiwa ini.

Peristiwa ini berawal ketika masa liburan perkuliahanku di tahun yang ke-3. Biasanya ketika liburan perkuliahan, aku memilih untuk berlibur bersama keluarga. Tetapi pada liburan kali ini, aku mengunjungi rumah saudara ibuku. Namanya Om Ramli. Bersama merekalah aku menghabiskan masa SMA. Di tempat ini aku belajar mengenang kembali kisah silam itu.

Sejak aku masih SMA, kami selalu menyempatkan diri untuk makan malam bersama. Saat inilah kami dapat berkumpul dan suasananya akan sangat berbeda dengan makan siang karena pekerjaan kami masing-masing. Walaupun ada kegiatan di wilayah, seperti latihan kor, doa bersama, kami selalu sempat untuk menunggu hingga kegiatan berakhir dan makan bersama. Heningnya malam adalah saat yang tepat untuk berbagi kisah bersama mereka dan dapur menjadi saksi setiap cerita.

Suasana ini sangat berbeda dengan apa yang pernah aku alami ketika berada di tempat perkuliahan. Kami lebih banyak menghabiskan waktu untuk bercerita di dapur. Dapur biasanya di tempatkan terpisah dari bangunan kamar tamu dan kamar tidur atau tidak seatap. Dapur biasanya terbuat dari bambu, mulai dari alas, dinding, tiang, dan bahkan ada yang masih menggunakan atap dari bambu. Hampir semua dapur di kampung kami menggunakan model yang sama.

Setelah aku beberapa hari berada bersama mereka, secara tak sengaja, acara makan malam terasa tak seperti biasanya. Semua orang memilih untuk menikmati makanan tanpa berbicara. Ini sangat berbeda dengan acara makan malam sebelumnya. Ini bukan di rumah kedua orang tuaku. Jadi, mulutku terasa sangat sulit untuk memulai kata-kata. Walaupun aku pernah tinggal bersama mereka, namun itu sudah beberapa tahun yang lalu. Apalagi kedua ponaanku sudah tidur dan hanya kami bertiga di dapur. Jika ada mereka berdua aku akan memulai perbincangan dengan cara mengganggu mereka. Tetapi untuk saat ini sepertinya tidak bisa.

“Nona liburan sampai kapan?” tanya om yang berusaha mengusir keheningan malam, sambil memintaku untuk memindahkan tempat nasi ke arahnya.

“Sampai awal September om”, jawabku sambil memindahkan tempat nasi ke arahnya. Walaupun banyak orang sering menggunakan kata paman tetapi kami lebih suka memanggil dengan sebutan om. Kecuali kalau ada keluarga dari kota yang berlibur ke tempat kami, maka mereka yang selalumemanggilnya paman. Begitupun denganku. Mereka lebih sering memanggilku nona daripada memanggil nama yang biasa digunakan teman-temanku.

“Nona satu kampus dengan Frater Fallen, anaknya Ibu Lady”, tanyanya lanjut.

“Iya”, jawabku singkat.

“Aku bahkan sering bertemu dia ketika ikut kegiatan-kegiatan perkumpulan Orang Muda Katolik dan biasanya dia selalu mengikuti kegiatan-kegiatan itu”, aku melanjutkan.

“Katanya, dia akan berlibur juga karena sudah 2 tahun ia tidak berlibur”, kataku.

Bibi hanya menatapku sejenak. Aku semakin curiga ketika bibi menatapku. Lebih dari itu aku semakin bertanya-tanya dalam hati, kenapa bibi tak bicara sepatah katapun malam ini. Biasanya tidak seperti ini.

Aku mulai bertanya pada diriku sendiri. Apa ada yang salah denganku. Sepertinya dugaanku benar. Aku semakin yakin. Tapi kenapa mereka tidak memberitahukan apa kesalahanku. Aku terus memikirkan hal ini sambil mengangkat piringku dan hendak membersihkannya agar dapat mengakhiri makan malam lebih cepat. Aku tidak bisa berlama-lama berada dalam situasi ini.

“Nona, om dan bibi minta maaf harus mengatakan ini. Kami berdua memang bukan orang tuanya nona tetapi saat ini nona ada bersama kami,” kata om seakan ingin menghentikan tanganku.

Aku refleks menarik kembali tanganku dan meletakan kembali piringnya.

Bibi masih diam.

“Pada waktu latihan kor tadi, ada banyak orang yang berbicara tentang nona. Katanya nona dekat dengan Frater Fallen, anaknya Ibu Lady. Dia juga kuliah di sana bersama nona kan? Katanya mereka sering melihat foto-foto nona dibiaranya bersama teman-temannya. Selama latihan kor, bibi dan om merasa tidak nyaman ketika nama nona dibicarakan oleh mereka,” kata om sambil menatapku. Ada orang yang sudah berpikir yang tidak-tidak tentang nona.

Aku terdiam. Ingin protes tapi kenyataannya memang begitu. Aku memang dekat dengan dia. Tapi bukan hanya aku sendiri. Sebenarnya aku juga sadar siapa aku dan aku tahu berapa usiaku sekarang. Aku bukan lagi anak SMA. Aku tidak hanya tahu, tapi aku sadar tentang statusnya dan posisiku. Aku bertemu dengannya hanya karena aku telah mengenalnya. Apakah aku harus berpura-pura lupa dan berbuat seolah-olah tak mengenal apa-apa. Mungkin ada baiknya jika saya melakukan itu tapi itu tidak lebih daripada menyirami keegoisan diriku agar tetap bertumbuh.

“Kami tahu kalau nona tidak bermaksud apa-apa tetapi sekarang kita berada dalam budaya yang masih mempunyai ketakutan-ketakutan seperti itu. Ketakutan akan pengalaman yang lalu akan terulang lagi,” katanya mencoba menenangkan perasaanku.

“Sekali lagi kami minta maaf kalau kami mengatakan ini pada nona,” katanya.

Bibi juga menatapku yang rasanya ingin tuk menjatuhkan air mata.

“Tidak apa-apa”, jawabku sambil mencoba menyakinkan mereka kalau aku akan biasa-biasa saja.

Memang berat menerima apa yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku atau mungkin sesamaku juga pernah mengalami hal ini. Kesalahan lama masih terlihat jelas dimata dunia. Memang mereka melihat kenyataan luarnya begitu tetapi apa yang tampak tak seutuhnya menampilkan yang sebenarnya. Apalagi tentang pribadi seseorang.

Aku sadar aku adalah Hawa. Aliran darah yang dulu masih mengalir dalam diriku, tapi belum tentu aku sama seperti yang dulu. Sudah terlalu dalam dunia menatapku dengan cara itu.

Memang benar bahwa sudah beberapa tahun terakhir ini, beberapa frater akhirnya memutuskan untuk meninggalkan jalan panggilan hidup membiaranya. Aku menjadi saksi bagaimana mereka menceritakan kekecewaan mereka. Walaupun ada banyak alasan yang mereka berikan, tetapi satu keyakinan yang tak mudah untuk dilepaskan dari memori mereka, kami adalah penyebabnya.

Dalam keheningan kuberbisik pada Dia yang pada saat itu membiarkan jemarinya menjamah rusuk lelaki itu untuk aku, dan mengatakan bahwa semuanya itu baik. Bukankah karena alasan itu kami dipandang sama? Namun, aku sadar bahwa semuanya tak berakhir di situ. Tangan ini. Iya. Potongan-potongan kisah waktu itu masih tersusun dalam benakku. Ketakutan untuk mengatakan tidak, dihadapkan dengan ketidaktahuan akhirnya aku memutuskan untuk mengambilnya. Aku tidak ingin kesalahan itu terulang lagi. Keberaniannku tuk memutuskan dapat menguji seberapa besar kedewasaan yang aku miliki sekarang.

Tapi hatiku terus berkata bahwa aku bukan lagi Hawa yang dulu dan ia ingin aku menceritakannya kepada dunia.

Erson Bani CMF

HIDUP NO.38 2019, 22 September 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here